Perempuan di ujung senja itu tertatih menyeret langkah ke sudut gubuknya. Derit pintu reot dan desah resahnya memecah pagi yang senyap. Rindunya teramat dalam, sedalam sepi yang menemani perjalanan panjangnya. Dia yang tercerabut secara paksa dari akarnya, meradang bergelut asa. Meski matanya sudah rabun, namun kepekaan rasanya belumlah susut.
Monolog Cut Nyak Dien oleh Sha Ine Febriyanti (dok. koleksi pribadi)
Terduduk dalam gelap pandangan, hatinya merintih, rindunya bergelora pada tanah negerinya. Perempuan perkasa yang keras hati itu, tergugu tanpa daya.
Bau tanah basah itu
Bau udara pagi itu
Pepohonan yang tampak semakin tua ketika senja
suara anak-anak melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran
Semua itu mengingatkanku pada tanahku
Nanggroeeeeee … Nanggroeee …
Perempuan Berhati Baja, pantang luruh meski nyawa di ujung tanduk, masih terus memikirkan anak bangsanya meski jiwa sendiri terjepit.
Selama ini kita lebih banyak mengenal Cut Nyak Dien dari sisi maskulinnya, sebagai seorang perempuan pejuang dari Aceh yang pantang menyerah. Cut Nyak bangkit untuk meneruskan jejak dan semangat juang bergerilya bersama pasukannya setelah kepergian sang suami, Teuku Umar. Tak ditunjukkannya perih hati, duka lara dari jiwa yang ditinggal pergi oleh kekasih tercinta. Sebagai seorang Ibu, Cut Nyak harus tetap terlihat tegar di depan anak dan mereka yang membutuhkan tuntunan dan kepemimpinannya.
Sebagai seorang perempuan dan anak negeri yang tercerabut dari tanah kelahirannya; dirinya tetaplah manusia biasa. Dirinya didera sedih yang tiada terkatakan, namun asanya tetap membara, semangatnya kan abadi memerciki jiwa generasinya.
… Aku Ibumu …
Potongan kisah kehidupan Cut Nyak Dien menjalani keterasingan selama berada di Sumedang, Jawa Barat yang dibawakan secara monolog oleh Sha Ine Febriyanti menghanyutkan rasa. Tampil total dalam balutan busana hitam-hitam, tuturannya sesekali disela desahan gesekan cello yang dibawakan oleh Yasin Burhan; memukau dan menghanyutkan penikmat seni yang memenuhi Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jumat (16/01/2015) malam sepanjang penampilannya.
Ditemui usai pementasan, Ine yang mengaku belum pernah menginjakkan kaki di Nanggroe sengaja meminta kawannya yang orang Aceh untuk berbicara di depannya untuk mempelajari cara bertutur dengan lidah Aceh. Penggalan dua babak Monolog Cut Nyak Dien, menjadi bagian dari pementasan perjalanan Amoroso Katamsi di dunia panggung, Meniti 77: Mengalir dalam Kehidupan.
Pementasan yang membuat merinding, menggetarkan rasa, mata basah dan bangkitkan rindu pada Nanggroe. Kesenian adalah salah satu alternatif yang baik untuk mengenang, mengapresiasi dan memperkenalkan jejak mereka yang pernah ada dalam catatan perjalanan sejarah negeri kepada generasi penerus, saleum [oli3ve].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H