Mohon tunggu...
Olga Maisha
Olga Maisha Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar SMA

(ノ◕ヮ◕)ノ*:・゚✧

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Analisis Mimetik Novel "Bumi Manusia" Karya Pramoedya Ananta Toer

28 Februari 2022   20:11 Diperbarui: 28 Februari 2022   20:25 12389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

I.  PENDAHULUAN

I.1.     Latar Belakang

Bumi Manusia merupakan novel pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang terbit pertama kali pada pertengahan tahun 1980. Bersama dengan 50 karya sastra fenomenal lainnya, Bumi Manusia lahir semasa pengasingan Pramoedya di Pulau Buru. Dengan kecakapan menulis yang dimilikinya, Pramoedya berhasil menyindir kehidupan sosial dan humanisme di tengah masa kolonial Belanda melalui cerita yang berporos pada nasib Minke sebagai seorang pribumi. Jurang pemisah kelas sosial berhias roman masa lampau menjadi fokus utamanya dalam menulis Bumi Manusia. Lantas, kemiripan data yang dimuat di dalam karya dengan realitas kehidupan dahulu kala membuat penulis tertarik untuk mengkaji hubungan keduanya lebih lanjut dalam analisis yang akan dijabarkan pada bagian berikutnya.

I.2.     Sinopsis

Bumi Manusia menempatkan Minke si pelajar H.B.S. sebagai tokoh utama dari serangkaian cerita yang mengalir di sepanjang karya. Berkat pemikiran kritis serta pendidikan erosentris yang diperolehnya semasa bersekolah, Minke mampu menjadi remaja revolusioner yang semakin kehilangan jati dirinya sebagai seorang pribumi Jawa. Antipati Minke terhadap kekalahan pun membawanya pada suatu taruhan yang melibatkan pemuda pribumi itu dengan Annelies, dara keturunan seorang gundik bernama Nyai Ontosoroh. Minke yang piawai dalam berkata dan Annelies yang lugu dalam bercinta lantas saling menaruh hati pada satu sama lain. Cinta keduanya pun disetujui oleh Nyai Ontosoroh yang kemudian banyak menunjukkan afeksi layaknya seorang ibu kepada pemuda pribumi yang baru dikenalnya itu.

Lama menetap di Wonokromo membuat Minke mengenal seluk-beluk keluarga Mellema yang menempati kediaman tersebut. Nyai Ontosoroh memperoleh kepandaiannya dari pengajaran yang dilakukan oleh Tuan Herman Mellema sebelum pria itu menderita sakit jiwa dan meninggalkan keluarganya. Wanita proletar yang mendendam para aristokrat tersebut berhasil mendidik Annelies sebagai gadis mandiri yang bersedia membantunya merawat perusahaan serta kebun milik Tuan Mellema. Di lain sisi, Robert Mellema-kakak laki-laki Annelies-memiliki perilaku yang semakin menyerupai sang ayah yang gemar berfoya-foya dan sering mengunjungi lokalisasi milik Babah Ah Tjong.

Kehadirannya di Wonokromo serta relasi yang dijalinnya dengan keluarga Mellema pun menimbulkan sejumlah isu di kemudian hari. Kedekatan sang adik dengan Minke membuat Robert cemburu dan berkeinginan untuk membunuh pemuda pribumi tersebut. Nasib malang kembali menimpa Minke yang nyaris dikeluarkan dari sekolah usai desas-desus keliru mengenai dirinya beredar. Konflik pun mencapai klimaks setelah mayat Tuan Mellema ditemukan di cakela milik tetangga mereka. Sebagai pribumi yang berkedudukan rendah di hadapan pengadilan, Minke dan Nyai Ontosoroh harus  berupaya keras dalam menyanggah fitnah publik yang ditujukan pada keduanya.

Jerih payah yang dikerahkan oleh Minke dan Nyai Ontosoroh pun mendatangkan nasib baik. Minke kembali diterima sebagai murid tahun terakhir di sekolahnya berkat pembelaan Tuan Asisten Residen Herbert de la Croix yang dikenalnya semenjak upacara pengangkatan sang ayah sebagai bupati. Pelajar pribumi tersebut pun lulus secara terhormat dan berhasil menikahi Annelies. Kehidupan Minke pun dihias dengan canda tawa dan roman dewasa hingga Maurits Mellema datang menghendaki hak waris mendiang ayahnya serta hak perwalian atas Annelies.

Kehadiran Maurits Mellema terasa bagai halilintar yang menyambar kebahagiaan serta nasib baik Minke dan Nyai Ontosoroh kala itu. Tidak banyak upaya yang dapat mereka lakukan mengingat posisi keduanya yang tidak berdaya di hadapan pengadilan Belanda. Pernikahan Minke dan hak asuh Nyai Ontosoroh pun dianggap tidak sah. Nasib malang kembali mendatangi keduanya usai mengalami kekalahan dalam pengadilan. Minke dan Nyai Ontosoroh hanya dapat merelakan kepergian gadis jelita kesayangan mereka menuju Amsterdam dengan bulir air mata menggenang di pelupuk.

I.3.     Kajian Teori

Menurut Wellek (1990), keselarasan antara suatu karya sastra dengan fakta dan pengalaman yang ada dapat dikategorikan sebagai nilai estetis dari karya itu sendiri. Kritik yang mengaitkan karya sastra dengan realita yang tecermin di dalamnya disebut sebagai kriteria realisme atau mimesis (Luxemburg, 1989). Kritik ini ditonjolkan apabila kritikus hendak memperjelas kenyataan yang secara tidak langsung dipantulkan melalui suatu karya sastra (Asriningsari & Umaya, 2016, hal. 85). Sementara itu, Plato menyatakan bahwa karya sastra tidak mampu merefleksikan realita yang sebenarnya, melainkan hanya berupa imitasi dari kenyataan yang ada (Ratna, 2010, hal. 70).


II. PEMBAHASAN

Ketidakjelasan nama asli Minke pada novel Bumi Manusia mengundang interpretasi sejumlah ahli yang berpendapat bahwa tokoh tersebut merupakan representasi dari seorang perintis surat kabar dan kewartawanan nasional Indonesia bernama R. M. Tirto Adhi Soerjo. Hasil analisis penulis menunjukkan bahwa keduanya memiliki latar belakang serupa. Menyerupai karakter Minke di dalam cerita, Tirto Adhi Soerjo yang bergelar raden mas merupakan cucu Bupati Bojonegoro yang merantau ke Betawi guna bersekolah di H.B.S. (Raditya, 2018). Status priyayi yang menyertai kedua tokoh tersebut membuat keduanya mampu menempuh pendidikan di sekolah yang kala itu tidak dapat diakses oleh sembarang orang (Artika et al., 2021, hal. 167). Hal itu merupakan suatu hak istimewa bagi Minke dan Tirto Adhi Soerjo sebab hanya 8-10% pelajar wanita dan sekitar 30% pelajar pria yang berhasil menyelesaikan pendidikannya semasa itu (Rahim et al., 2020, hal. 70). Analisis mengenai keterkaitan tokoh Minke dan Tirto Adhi Soerjo pun diperkuat dengan bukti kalimat berikut yang menyatakan bahwa tahun kelahiran Minke sama dengan milik Ratu Wilhelmina, dimana hal tersebut berlaku pula bagi Tirto Adhi Soerjo yang lahir di Blora pada tahun 1880:


Dara kekasih para dewa ini seumur denganku: delapanbelas. Kami berdua dilahirkan pada tahun yang sama: 1880. Hanya satu angka berbentuk batang, tiga lainnya bulat-bulat seperti kelereng salah cetak. Hari dan bulannya juga sama: 31 Agustus. (Toer, 1980, hal. 15).


Kehidupan Minke yang diceritakan dalam Bumi Manusia pun berlatar pada tahun 1898-an, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi tengah mengalami perkembangan yang cukup signifikan di seluruh dunia. Sejumlah penemuan yang berdampak pada kemajuan teknologi dewasa ini pun turut ditemukan. Kala itu, ilmu pengetahuan digambarkan sebagai suatu hal yang indah dan berharga bagi segenap umat manusia (Rahim et al., 2020, hal. 69), sebagaimana berhasil ditunjukkan Pramoedya pada kutipan berikut:


Ilmu dan pengetahuan, yang kudapatkan dari sekolah dan kusaksikan sendiri pernyataannya dalam hidup, telah membikin pribadiku menjadi agak berbeda dari sebangsaku pada umumnya (Toer, 1980, hal. 12). 


Salah satu hasil ilmu-pengetahuan yang tak habis-habis kukagumi adalah percetakan, terutama zincografi. Coba, orang sudah dapat memperbanyak potret berpuluh ribu lembar dalam sehari. Gambar pemandangan, orang besar dan penting, mesin baru, gedung-gedung pencakar langit Amerika, semua dan dari seluruh dunia-kini dapat aku saksikan sendiri dari lembaran-lembaran kertas cetak. Sungguh merugi generasi sebelum aku-generasi yang sudah puas dengan banyaknya jejak-langkah sendiri di lorong-lorong kampungnya itu. Betapa aku berterima kasih pada semua dan setiap orang yang telah berjerih-payah untuk melahirkan keajaiban baru itu. Lima tahun yang lalu belum lagi ada gambar tercetak beredar dalam lingkungan hidupku. Memang ada cetakan cukilan kayu atau batu, namun belum lagi dapat mewakili kenyataan sesungguhnya. (Toer, 1980, hal. 12).


Kutipan tersebut juga melambangkan peran ilmu pengetahuan terhadap kehidupan pribadi Minke sebagai pelajar terdidik di Nusantara (Rahim et al., 2020, hal. 69). Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi pada masanya pun dapat Minke rasakan pada kesehariannya, dimana salah satunya ialah pemanfaatan zincografi di bidang percetakan yang mampu memfasilitasi kegemarannya dalam menulis karya-karya yang ia terbitkan di surat kabar.

Penyelenggaraan pendidikan semasa kolonial Belanda pun dianggap diskriminatif karena memperlakukan peserta didik sesuai dengan etnis masing-masing. Pendidikan yang berlaku dibagi menjadi tiga jenjang, yaitu pendidikan rendah (setara dengan sekolah dasar), pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (Rahim et al., 2020, hal. 71). Namun, terlihat jelas bahwa pemerintah Hindia Belanda menerapkan sistem pendidikan yang membedakan kesempatan bagi etnis Eropa, Cina, maupun pribumi, untuk menempuh pendidikan di sekolah tertentu (Rahim et al., 2020, hal. 71). Regulasi yang memberatkan dan biaya yang tidak terjangkau sengaja diaplikasikan oleh pemerintah supaya rakyat Bumiputera kalangan bawah tidak dapat mengakses pendidikan yang lebih tinggi (Rahim et al., 2020, hal. 72). Eksklusivitas dalam memperoleh pendidikan dicerminkan Pramoedya melalui percakapan yang terjadi di antara Minke dan Nyai Ontosoroh berikut:


"Betul pelajar H.B.S.?" tanyanya, tersenyum ramah.

"Betul, ..." (Toer, 1980, hal. 33)


"Kalau Sinyo pelajar H.B.S. tentu Sinyo putra bupati. Bupati mana itu, Nyo?" (Toer, 1980, hal. 34)

"Bukan putra bupati mana pun, Mama," dan dengan memulai sebutan baru itu, kekikukanku, perbedaan antara diriku dengannya, bahkan juga keasingannya, mendadak lenyap. (Toer, 1980, hal. 34)

"Kalau begitu tentu putra patih," Nyai Ontosoroh meneruskan. (Toer, 1980, hal. 34)

"Putra patih pun bukan, Mama." (Toer, 1980, hal. 34)


Kebijakan yang berlaku di sekolah-sekolah semasa kolonial Belanda pun disusun secara hierarkis berdasarkan usia dan status tertentu yang selaras dengan kepentingan pemerintah (Rahim et al., 2020, hal. 67). Analisis tersebut diperkuat dengan adanya bukti kalimat yang menggambarkannya di dalam novel Bumi Manusia pada kutipan berikut:


"Minke, juga aku sebagai pribadi dan wakil semua guru dan siswa, mengucapkan selamat atas kemenanganmu di Pengadilan. Secara pribadi aku ucapkan selamat atas kegigihanmu dalam membela diri terhadap serangan umum. Aku dan kami semua bangga punya siswa berbakat seperti kau. Sidang Pengadilan telah diikuti oleh para guru dan siswa. Tentu kau sudah tahu juga. Minke memang mendapat perhatian besar dari kami, karena memang siswa sekolah ini. Sekarang dengarkan keputusan Dewan Guru dalam pertemuan-pertemuannya dan perbincangan yang tidak mudah tentang dirimu seorang. Berdasarkan jawaban-jawabanmu di depan Pengadilan, maksudku dalam hubunganmu dengan Annelies Mellema, Dewan Guru memutuskan, sebagai siswa kau sudah terlalu dewasa untuk bergaul dengan teman-teman sekolahmu, dan terutama sekali dianggap berbahaya bagi para siswi. Sidang Dewan Guru tak berani bertanggung jawab atas keselamatan para siswi pada orangtua atau wali mereka. Kau mengerti?" (Toer, 1980, hal. 423-424).


Melalui kutipan tersebut, ditunjukkan bahwa keputusan yang pada akhirnya ditetapkan oleh Direktur Sekolah H.B.S. Surabaya dibuat berdasarkan hasil rapat Dewan Guru dan telah melewati proses diskusi sebelumnya. Adapun salah satu ciri umum politik pendidikan kolonial adalah kontrol pusat yang kuat, dimana segala kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan diatur oleh Gubernur Jenderal maupun Direktur Pendidikan yang berbuat atas nama petingginya (Rahim et al., 2020, hal. 68). Ciri umum tersebut telah diterapkan dalam sistem pendidikan kolonial Belanda sejak awal kemunculan pendidikan erosentris di Indonesia hingga akhir kolonialisme (Rahim et al., 2020, hal. 68).

Masa kolonial Belanda juga dihias dengan ragam tindakan penghinaan kaum borjuis terhadap golongan proletar di Nusantara. Berkat segala kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, bangsa Eropa cenderung menganggap kaumnya lebih berkuasa terhadap pribumi sehingga mereka merasa pantas untuk menghina dan mencaci para pribumi di Nusantara (Aflahah & RM, 2019, hal. 15). Tindakan merendahkan tersebut Pramoedya tuliskan melalui olokan berikut yang ditujukan Robert Suurhof kepada Minke:


Ia terbahak, diri menggerabak dan tersipu. Lebih kurangajar lagi justru seruannya:

"Ahoi, si philogynik, mata kranjang kita, buaya kita! Bulan mana pula sedang kau rindukan?" (Toer, 1980, hal. 16).


Berdasarkan kutipan tersebut, terlihat jelas bahwa kaum borjuis memiliki kuasa yang lebih tinggi ketimbang bangsa pribumi. Kalimat yang dilontarkan Robert Suurhof pun sesungguhnya tidak pantas diucapkan, tidak terkecuali pada teman dekat sekalipun, sehingga tindakannya dapat dikategorikan sebagai pelecehan terhadap pribumi. 


III. SIMPULAN

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan oleh penulis dengan kajian mimetik, novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer banyak mengandung fenomena sosial dan humanisme semasa kolonial Belanda. Karya sastra tersebut cenderung berporos pada sistem pendidikan diskriminatif yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda serta jurang pemisah kelas sosial antara kaum Eropa dengan kaum pribumi di Nusantara. Mayoritas data pada karya yang diduga merupakan fakta memang benar adanya, tetapi Bumi Manusia tetaplah sebuah karya sastra fiktif yang ditulis berdasarkan data riset yang akurat. Kombinasi yang seimbang antara fakta dan fiksi dalam Bumi Manusia menambah daya tarik novel tersebut sehingga pembaca dapat menikmati kisah roman berbumbu sejarah yang dikemas dengan apik hingga menyerupai realita masa lampau. Mari mengenang sejarah yang menjadi bagian dari identitas bangsa masa kini, salah satunya dengan menyajikannya dalam bentuk karya sastra seperti Pramoedya Ananta Toer melalui novelnya, Bumi Manusia.


DAFTAR PUSTAKA

Aflahah, & RM, F. F. (2019). Kolonialisme dan Nasionalisme dalam Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer. Ghancaran: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 1(1), 15.

Artika, I. W., Paramarta, I. K., & Wiratama, I. W. A. (2021). Benang Merah Pandangan Tirto Adhi Soerjo dan Minke Mengenai Feminisme dalam Bumi Manusia. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Bahasa Indonesia, 10(2), 167. https://doi.org/10.23887/jurnal_bahasa.v10i2.664

Asriningsari, A., & Umaya, N. M. (2016). Jendela Kritik Sastra. Percetakan Lontar Media.

Luxemburg, J. V., & Mieke Bal, W. G. W. (1989). Pengantar Ilmu Sastra. (D. Hartoko, Trans.). PT Gramedia.

Raditya, I. N. (2018, 7 Desember). Sejarah Hidup Tirto Adhi Soerjo, Sang Pemula Pers Bumiputra. Tirto.id. https://tirto.id/sejarah-hidup-tirto-adhi-soerjo-sang-pemula-pers-bumiputra-dbb7 

Rahim, A., Sahidin, L. O., & Saud, I. (2020). Aspek-Aspek Sejarah Dalam Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer. Jurnal Pendidikan Bahasa, 9(1), 67-72.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun