Mohon tunggu...
olga nirmala
olga nirmala Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

membaca

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Yuk, Mengenal Warisan Pecinan Jakarta

22 November 2024   18:42 Diperbarui: 22 November 2024   19:01 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kawasan Glodok Pancoran, Chinatown, Jakarta Barat (18/11/2024)/Dokpri

Jakarta - Glodok, yang terletak di Jakarta Barat, dikenal sebagai salah satu kawasan pecinan terbesar dan paling bersejarah di Indonesia. Kawasan ini menjadi pusat aktivitas masyarakat Tionghoa sejak dulu, terutama dengan keberadaan spot-spot kuliner legendaris seperti Gang Gloria dan Petak Enam.

Sejarah Glodok bermula pada abad ke-17, ketika VOC Belanda menjadikannya sebagai area khusus untuk masyarakat Tionghoa. Mereka diisolasi di kawasan ini agar lebih mudah diawasi dan demi kepentingan keamanan Belanda saat itu. Namun, masyarakat Tionghoa yang tinggal di Glodok dikenal memiliki kemampuan bisnis yang luar biasa. Tak heran, mereka dijuluki sebagai "urat nadi" perekonomian Jakarta.

Ternyata, nama "Glodok" berasal dari bahasa Sunda, yaitu "golodok," yang berarti pintu masuk ke sebuah rumah. Nama ini memiliki keterkaitan erat dengan sejarah Jakarta yang dulunya merupakan pintu gerbang Kerajaan Sunda Kuno.
Di masa itu, etnis Tionghoa mulai memasuki wilayah tersebut dan menetap di kawasan yang kini dikenal sebagai Glodok. Seiring waktu, daerah ini tumbuh menjadi pusat komunitas Tionghoa terbesar di Indonesia, menjadikannya Chinatown yang penuh sejarah dan budaya hingga saat ini. Mahasiswa diajak berkunjung ke beberapa tempat bersejarah di kawasan Glodok, seperti tempat beribadah dan tempat kuliner. Berikut destinasi yang dikunjungi :

1. Vihara Dharma Jaya Toasebio

Vihara Dharma Jaya Toasebio, yang terletak di kawasan Glodok, Jakarta Barat, adalah salah satu vihara yang memiliki sejarah panjang dan menjadi pusat kegiatan keagamaan serta budaya bagi umat Buddha, khususnya komunitas Tionghoa di Jakarta. Didirikan pada awal abad ke-20, vihara ini telah berperan penting dalam mempertahankan tradisi ajaran Buddha di Indonesia dan memainkan peranannya sebagai pusat spiritual, pendidikan, serta kegiatan sosial.
 
Arsitektur Vihara Dharma Jaya Toasebio sangat khas dengan pengaruh budaya Tionghoa, di mana di dalamnya terdapat berbagai patung Buddha, dewa-dewi dalam ajaran Mahayana, serta hiasan-hiasan tradisional seperti naga dan singa yang menghiasi gerbang dan area sekitar vihara. Suasana yang tenang dan sakral di dalam vihara menciptakan tempat yang nyaman bagi umat untuk beribadah, bermeditasi, atau sekadar mencari kedamaian dalam aktivitas sehari-hari.
 
Selain sebagai tempat ibadah, vihara ini juga aktif mengadakan berbagai kegiatan keagamaan, seperti perayaan Waisak, Imlek, dan hari-hari besar Buddha lainnya. Kegiatan rutin lainnya meliputi sembahyang harian, meditasi, dan kelas pengajaran dharma, di mana umat Buddha dapat memperdalam pemahaman mereka tentang ajaran Sang Buddha. Vihara Dharma Jaya Toasebio juga sering mengadakan seminar dan lokakarya untuk membagikan pengetahuan tentang ajaran Buddha kepada generasi muda dan umat secara umum.
 
Vihara ini juga dikenal dengan komitmennya terhadap kegiatan sosial dan kemanusiaan. Setiap tahunnya, vihara ini menyelenggarakan berbagai program amal, seperti pembagian makanan untuk orang miskin, bantuan untuk yang membutuhkan, dan kegiatan bakti sosial lainnya. Ini menunjukkan bahwa selain sebagai tempat ibadah, vihara ini juga berfungsi sebagai pusat pemberdayaan sosial bagi masyarakat sekitar.
 
Sebagai tempat yang menggabungkan nilai-nilai spiritualitas dan budaya, Vihara Dharma Jaya Toasebio menjadi simbol penting dalam keberagaman dan toleransi antarumat beragama di Jakarta. Vihara ini tidak hanya berperan dalam kehidupan rohani umat Buddha, tetapi juga dalam melestarikan warisan budaya Tionghoa yang telah lama menjadi bagian integral dari sejarah Indonesia. Bagi banyak orang, Vihara Dharma Jaya Toasebio adalah tempat untuk menemukan kedamaian batin dan memperkuat ikatan persaudaraan.

2. . Gereja Katolik ST. Maria De Fatima

Jakarta - Gereja ST. Maria De Fatima Glodok merupakan salah satu tempat ibadah penting bagi umat Katholik di wilayah Jakarta Barat yang memiliki sejarah panjang dan bermakna. Berdiri di tengah kompleks pemukiman yang padat, gereja ini telah menjadi pusat spiritual bagi warga setempat sejak didirikannya pada pertengahan abad ke-20. Lokasi strategisnya di kawasan Glodok, yang merupakan pusat perkampungan etnis Tionghoa, membuat gereja ini memiliki keunikan tersendiri dalam konteks keberagaman Jakarta. Para pendiri gereja ini memiliki visi untuk menciptakan ruang ibadah yang inklusif dan terbuka bagi seluruh umat tanpa memandang latar belakang etnis. Tidak hanya sebagai tempat peribadatan, Gereja ST. Maria De Fatima Glodok juga telah menjadi wadah penting bagi berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan.
 
Pembangunan gereja ini tidak terlepas dari sejarah perjuangan umat Katholik di Jakarta yang mengalami berbagai tantangan pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Para pendiri gereja harus melewati berbagai proses perizinan dan membangun komunikasi yang baik dengan pemerintah setempat untuk dapat mendirikan rumah ibadah ini. Arsitek yang merancang bangunan gereja memperhatikan karakteristik arsitektur lokal dengan menggabungkan elemen-elemen desain tradisional dan modern. Struktur bangunan gereja menampilkan sentuhan arsitektur kolonial dengan ornamen-ornamen yang mencerminkan budaya Indonesia dan Catholic. Pembangunan gereja ini mendapat dukungan penuh dari tokoh-tokoh masyarakat setempat yang melihat pentingnya keberadaan tempat ibadah sebagai pusat pembinaan spiritual.
 
Aktivitas pastoral Gereja ST. Maria De Fatima Glodok sangat beragam dan komprehensif dalam melayani umatnya. Setiap minggunya, gereja menyelenggarakan berbagai misa dengan bahasa dan jadwal yang berbeda untuk mengakomodasi kebutuhan jemaat dari berbagai latar belakang. Selain kegiatan ibadah rutin, gereja aktif menyelenggarakan program pembinaan iman seperti katekisasi, retret, dan kursus persiapan sakramen. Pelayanan sosial menjadi salah satu fokus utama gereja, dengan berbagai kegiatan yang ditujukan untuk membantu masyarakat kurang mampu di sekitar wilayah Glodok. Program pendidikan dan pemberdayaan masyarakat juga secara rutin dilaksanakan, menunjukkan komitmen gereja dalam memberdayakan potensi umat. Tim pastoral gereja senantiasa berupaya mengembangkan program-program yang responsif terhadap kebutuhan kongregasi dan masyarakat sekitar.
 
Sepanjang perjalanannya, Gereja ST. Maria De Fatima Glodok telah mengalami berbagai fase perkembangan yang signifikan. Pada dekade-dekade awal, gereja lebih fokus pada pelayanan spiritual bagi komunitas Tionghoa yang mayoritas berada di wilayah tersebut. Seiring berjalannya waktu, komposisi jemaat semakin beragam dengan masuknya berbagai etnis dan latar belakang sosial yang berbeda. Para imam dan pengurus gereja terus berupaya mengembangkan model pelayanan yang inklusif dan adaptif terhadap perubahan demografis. Renovasi dan pembaruan infrastruktur gereja dilakukan secara berkala untuk memastikan fasilitas selalu dalam kondisi optimal. Dokumentasi sejarah gereja telah dengan baik didokumentasikan oleh para pengurus, mencatat setiap tonggak penting dalam perjalanan spiritual komunitas.
 
Keberadaan Gereja ST. Maria De Fatima Glodok tidak sekadar menjadi tempat ibadah, melainkan juga simbol toleransi dan kerukunan antarumat beragama di Jakarta. Gereja secara aktif terlibat dalam dialog dan kerja sama dengan pemuka agama lain, menunjukkan komitmen untuk membangun harmonisasi sosial. Para pengurus gereja senantiasa mendorong sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan melalui berbagai kegiatan lintas iman. Kontribusi gereja dalam bidang sosial, pendidikan, dan kemanusiaan telah diakui oleh berbagai kalangan masyarakat.

3. Gedung Chandra Naya

Jakarta - Di tengah hiruk-pikuk kawasan Glodok, Jakarta Barat, berdiri sebuah bangunan bersejarah yang menjadi saksi bisu perjalanan waktu. Gedung Chandra Naya, dengan arsitektur khas Tionghoa, adalah salah satu peninggalan budaya yang masih bertahan di tengah modernisasi ibu kota. Gedung ini merupakan simbol sejarah dan bukti kontribusi komunitas Tionghoa dalam pembangunan Jakarta.
 
Gedung Chandra Naya dibangun pada abad ke-19 dan awalnya merupakan kediaman pribadi Khouw Kim An, seorang Majoor der Chinezen (pemimpin komunitas Tionghoa di Batavia) pada masa kolonial Belanda. Khouw Kim An adalah anggota keluarga Khouw dari Tamboen, sebuah keluarga Tionghoa peranakan terkemuka di Hindia Belanda yang memiliki peran penting dalam perdagangan, sosial, dan budaya.
 
Bangunan ini dulunya menjadi pusat aktivitas sosial dan budaya komunitas Tionghoa di Batavia. Dalam desainnya, gedung ini mencerminkan gaya arsitektur tradisional Tionghoa, dengan halaman luas, pintu gerbang megah, dan atap melengkung yang dihiasi ornamen naga. Kombinasi arsitektur ini mencerminkan kedudukan sosial pemiliknya serta pengaruh budaya Tionghoa di Hindia Belanda.
 
Setelah masa kolonial, Gedung Chandra Naya mengalami berbagai perubahan. Pada pertengahan abad ke-20, gedung ini tidak lagi menjadi kediaman pribadi dan sempat digunakan sebagai rumah sakit dan klinik. Namun, pada era modernisasi Jakarta, keberadaannya terancam oleh pembangunan gedung-gedung tinggi.
 
Pada tahun 1990-an, kawasan tempat Gedung Chandra Naya berdiri diambil alih untuk pembangunan kompleks apartemen dan pusat perbelanjaan. Namun, berkat upaya pelestarian, bangunan utama gedung ini tetap dipertahankan sebagai situs bersejarah.
 
Saat ini, Gedung Chandra Naya berada di tengah kompleks modern bernama Novotel Gajah Mada. Meskipun dikelilingi oleh gedung-gedung tinggi, gedung ini tetap menjadi daya tarik utama bagi wisatawan dan sejarawan. Gedung ini digunakan untuk berbagai acara budaya dan menjadi simbol penting dalam pelestarian warisan Tionghoa di Jakarta.
 
Gedung Chandra Naya tidak hanya menjadi pengingat akan masa kejayaan komunitas Tionghoa di Batavia, tetapi juga bukti nyata pentingnya menjaga keseimbangan antara modernisasi dan pelestarian sejarah. Kehadirannya mengingatkan akan keragaman dan kontribusi budaya yang telah membentuk Jakarta sebagai kota multikultural.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun