Sungguh, hari-hari ini akan terdengar kabar merdu bagi jutaan rakyat Indonesia, dan nada dering manis buat nasib ribuan pemilik warung tegal, warung indomie, bubur kacang ijo, warung bakso dan usaha makanan rakyat sebangsanya, mereka akan senasib dengan jutaan warga lainnya, harus mencicil utang pemerintah yang di korup berjamaah.
Sebuah kebijakan energi teranyar pemerintah yang nada deringnya memekakkan telinga jutaan warga Indonesia yang seolah bocah tanpa bela di tangan ayah tiri yang kasar dan kejam.
Per April 2012, pemerintah mengharamkan semua pemilik mobil berplat hitam menggunakan bensin bersubsidi. Pilihan satu-satunya bagi mereka nantinya adalah bensin Pertamax atau sejenisnya – yang notabene jauh lebih mahal. Satu kabar buruk bagi jutaan warga negara Indonesia yang membayar pajak. Kado sedap bagi gergasi pom bensin asing, termasuk Shell, Petronas dan Total, yang menawarkan bensin di kisaran yang beda tipis dengan harga Pertamax.
Di Koran Kompas, Rabu, 11 Januari 2012, pemerintah bilang kalau pembatasan BBM hemat Rp 40 triliun. "Pembatasan subsidi BBM bukan hal yang merugikan negara. Pasalnya jika satu tahun pembatasan subsidi BBM dilaksanakan, negara telah menghemat Rp 40 triliun." Jelas Wakil Menteri ESDM.
Di situs Okezone, pemerintah begitu familiar menyiapkan berton-ton kata-kata dan konsep-konsep abstrak melegalkan kebijakan haram ini; "Pemerintah mengklaim pilihan kebijakan pembatasan merupakan yang paling ideal dalam konteks pengendalian inflasi dan keadilan (tepat sasaran). Pembatasan disampaikan akan memberikan dampak inflasi yang lebih kecil dibandingkan dengan menaikkan harga BBM. Sedangkan dalam konteks keadilan, kebijakan pembatasan mendorong subsidi BBM lebih tepat sasaran karena dinikmati oleh masyarakat yang belum berdaya beli."
Tapi error logika pemerintah ini oleh banyak kalangan ahli mudah terbaca dan kedepan tak akan ada yang membeli argumen trial ini. Mereka bilang tekanan terbesar anggaran negara justru dari besarnya utang negara dan keinginan pemerintah untuk selalu menjadi anak emas kreditur swasta dan asing.
Tragisnya, utang dan "hibah" itu, kini menjerat leher jutaan rakyat Indonesia. Utang negara ini terus menggunung, bahkan sudah mencapai Rp 1.768 triliun. Sementara pada sepuluh tahun lalu, utang negeri ini masih sekitar Rp 1.273 triliun. Itu berarti, tiap tahun jumlah utang pemerintah naik rata-rata sekitar Rp 50 triliun. Dan beban utang itu jika dibagi rata kepada seluruh penduduk Indonesia yang mencapai 237 juta orang, maka tiap rakyat termasuk bayi memikul utang Rp 7,4 juta. Fantastis bukan? Angka kecil jika dibandingkan dengan setiap warga AS yang menanggung dosa utang pemerintah sebesar USD 50.149.
Karena itulah, kebijakan haram ini, kata mereka, yang menerangkan kenapa pemerintah selalu mendahulukan pembayaran cicilan utang ketimbang mengembalikan uang pajak rakyat lewat pemberian subsidi, untuk meringankan beban rakyat, di bidang pendidikan, kesehatan, transportasi dan fasilitas publik vital lainnya.
Padahal, per 2011 kemarin, pemerintah kerap berjanji kalau harga bensin bersubsidi tetap pada tahun ini. Tapi ‘pembatasan’ itu jelas bakal berdampak jauh; memicu ‘perburuan’ bensin bersubsidi di seluruh dan antrian berhari-hari di pom bensin seperti yang terjadi hari-hari ini di banyak provinsi, termasuk di kawasan lumbung minyak seperti Riau. Ini belum menghitung dampak lanjutan kebijakan ‘pembatasan’ pada utamanya lonjakan harga-harga di semua sektor kehidupan.
Dan, entah seperti apa kelak nasib ribuan pemilik warung tegal, warung indomie, bubur kacang ijo, warung bakso dan usaha makanan rakyat kecil sebangsanya. Menyedihkan!
Tapi, mau diapakan juga rakyat, tetaplah objek tertindas. Mereka tetaplah tumbal keangkuhan pemerintah yang memuji puja pengemplang pajak, sementara pada saat yang sama, hari-hari ini pemerintah memberikan harapan pada kebahagiaan pom bensin asing, utamanya perusahaan AS.
Untuk ini, tabik buat pemerintah Indonesia yang mati-matian berusaha menyelamatkan ekonomi AS yang kolaps lewat perusahaan pom bensin. . .
Tentang Ide "Gila" Nasionalisasi
Di beberapa forum, orang banyak memberikan rumusan pemecahan persoalan diatas. Mereka umumnya menggunakan slogan “nasionalisasi”. Ide bagus sebenarnya, tapi ini ide "gila, sebab ada banyak persoalan yang harus diselesaikan sebelum berangkat pada penerapan "kata" nasionalisasi. Ide "gila" itu terangkum dalam dua konsep nasionalisasi itu sendiri.
Pertama, nasionalisasi ala kapitalis. Dengan model ini kita bisa melakukan nasionalisasi kapitalistis, dengan membeli saham tambang-tambang dan BUMN yang kadung dimiliki sahamnya oleh asing. Tapi model ini akan menimbulkan masalah, setidaknya ada dua permasalahan.
a. Tekanan terhadap rupiah. Dalam hal ini nilai rupiah siap digoyang setiap saat. Ini kalau kita lihat pada apa yang terjadi di Venezuela, Kuba, Korut dan Republik Islam Iran. Hingga sampai masalah embargo dari negara-negara kasta wahid yang dipelopori AS.
b. Dikelola oleh pemerintah. Apakah ada jaminan pengelola ini akan bersih melihat mereka adalah ikon partai dan poli-Tikus yang hanya mementingkan partainya?
Kedua, sosialis ala kapitalis. Solusinya adalah saham yang diakuisisi, dibagikan ke entitas-entitas korporasi rakyat yang lebih kecil. Kemudian dibeli oleh seluruh rakyat Indonesia. Tentu dengan dijamin oleh cadangan devisa negara, sehingga setiap KUD memiliki hak saham, dan memiliki hak dividen, dan memiliki hak suara atas manajemen.
Tapi persoalannya bukan hanya disini saja. Tapi ini menyoal tentang mentalitas. Karena masalah awal bangsa ini adalah tentang mentalitas bangsa yang sudah kronis.
Dan sepanjang pemerintah masih memiliki konflik kepentingan-kepentingan individu, golongan yang amat besar, maka sulit pula menangani masalah mentaliatas tersebut, kecuali mereka dihukum dengan HUKUMAN MATI. Terus berapa ribu leher mereka yang akan dipenggal?
Bagaimana dengan perbaikan privatisasi? Ini mungkin hak pak Dahlan Iskan yang berhak menjawab. Mau dibawa kemana kira-kira nasib jutaan rakyat Indonesia yang hidupnya tetap nelangsa ini. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H