Pada 1983, perwira menengah Susilo Bambang Yudhoyono masih segar keluar dari barak sekolah militer Fort Benning, Amerika Serikat, saat Jakarta meminta dia melanjutkan jungle warfare school, sekolah seni perang hutan, di sebuah fasilitas pendidikan militer milik Amerika Serikat yang lain di Panama. Dua dekade lebih setelahnya, lepas dia menjadi orang nomer satu di Indonesia, seseorang yang menjadi bendahara di partai yang mendudukkan dia ke kursi presiden, jadi buron kakap dan kabur ke luar negeri dengan mengambil destinasi berbeda dari koruptor yang sudah-sudah. Muhammad Nazaruddin bersembunyi di negara tetangga tempat presiden dulunya belajar seni perang hutan: Kolumbia.
Bagaimana ceritanya hingga Nazaruddin bisa sampai ke Kolumbia, yang jaraknya hampir 20.000 kilometer dari Singapura, tempat dia kabur kali pertama pada pekan terakhir Mei 2011?
Ada dua ‘versi resmi’ yang saling ‘membunuh’ sejauh ini:
Versi pertama adalah keterangan perwira senior polisi Indonesia dan ini sempat tercantum di situs interpol Indonesia. Kata mereka, Nazaruddin sempat bersembunyi di Singapura, Vietnam, lalu sebuah negara di Eropa, sebelum akhirnya masuk Kolumbia.
Versi kedua adalah versi bos besar polisi Kolombia, Jenderal Carlos Mena, seperti dilansir The Associated Press. Saat mempertontonkan Nazaruddin ke kalangan wartawan di Bogota dalam sebuah konferensi pers pada 9 Agustus, Mena bilang kalau sang buron tertangkap pada “Sabtu malam (6 Agustus) saat mendarat di Cartegena dengan sebuah pesawat carter yang terbang langsung dari Washington DC, Amerika Serikat”.
Mena juga bilang kalau imigrasi Cartagena jadi curiga sebab Nazaruddin membawa paspor yang fotonya berbeda. Foto yang dilansir sebuah teve swasta Jakarta belakangan menunjukkan kalau Nazaruddin, kala tertangkap, membawa paspor atas nama Muhammad Syarifuddin. Yang terakhir adalah keluarga dekatnya di Medan. Wajah mereka sekilas memang bermiripan.
Imigrasi Cartegana jelas telah melakukan tugas dengan baik. Yang jadi pertanyaan sekarang adalah ada apa dengan imigrasi negara lainnya – jika penjelasan versi polisi dan Interpol Indonesia harus dipercaya? Kenapa imigrasi Singapura atau Vietnam misalnya, seperti ‘kompak’ gagal mendeteksi kejanggalan dalam paspor yang digunakan Nazaruddin? Kenapa pula, jika kita membeli keterangan polisi Kolumbia, Amerika memberi ruang gerak yang leluasa pada Nazaruddin? Tidakkah dia buron Komisi Pemberatasan Korupsi, lembaga super pemberatasan korupsi yang dalam beberapa tahun terakhir mendapat banjir dukungan dan komitmen dari Kedutaan Amerika di Jakarta?
Wartawan di Bogota mungkin tak tahu dengan hubungan mesra Amerika dan KPK dan, tentu saja, dengan hampir seluruh institusi penegak hukum negara. Tapi di media Jakarta, anehnya, ‘sisi Amerika’ dalam pelarian Nazaruddin, yang notabene terang benderang dalam penjelasan Jenderal Mena, belakangan seperti seperti kena senggol jin dan masuk ‘lumpur hidup probabilitas’.
Ini utamanya setelah seorang diplomat Amerika di Jakarta menyiramkan aki keraguan atas pertanyaan sebuah situs ternama ihwal ‘koneksi Washington’ dalam pelarian Nazaruddin, seperti keterangan Jenderal Mena.
“Kami tidak bisa mengatakan apa-apa soal siapa yang dapat atau tidak dapat visa, karena aturan-aturan soal hak privasi,” kata juru bicara Kedutaan Amerika, Troy Pederson, seperti dikutip Detik.com, Rabu. Sebuah jawaban yang praktis mendaur-ulang ucapan Duta Besar Amerika Serikat, Scot Alan Marciel, saat kalangan jurnalis Jakarta bertanya soal benarnya tidaknya John Gerome Greece – buron dalam skandal pembuatan paspor palsu Gayus Tambunan – adalah seorang agen Dinas Intelejen Amerika, CIA, seperti yang diklaim Gayus, beberapa bulan yang lewat.
Cerita versi Jenderal Mena kemudian kian terpojok lepas muncul pernyataan Duta Besar Indonesia di Washington, Dino Patti Jalal, juga di Detik.com, yang bilang: “Kami sampai saat ini masih terus koordinasi dengan KBRI Bogota untuk cek paspor atas nama Syarifuddin, apakah ada US visanya dan apakah ada cap imigrasi AS.”