Harapan kalangan intelijen agar Rancangan Undang-Undang Intelijen Negara lolos di Senayan, sudah lama terdengar seperti desah rindu seruling kembali ke dekapan rumpun bambu. Tapi situasi dalam lima bulan terakhir, khususnya sejak draft memasuki pembahasan serius di DPR per Maret 2011, memaksa mereka menggali lubang pertahanan yang dalam.
Banyaknya pihak yang ingin membunuh draft tersebut.
Spektrumnya lebar, dari orang asing seperti Sydney Jones hingga pejabat senior negara macam Arsyad Mbai, bos besar Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Keberatan mereka utamanya tertuju pada rancangan pasal-pasal yang bisa memberi ‘kewenangan ekstra’ pada intelijen negara, semisal dalam soal penyadapan, penangkapan, pemeriksaan dan penahanan ‘musuh negara’.
Bila isi pers Jakarta bisa dipercaya, para penentang sekubu dalam memproyeksikan kewewenang ekstra itu ibarat ‘payudara ketiga’ di tubuh Ibu Pertiwi.
Indonesia ‘negara hukum’, kata mereka. Cukup polisi yang punya wewenang menangkap, menahan dan memeriksa.
Suara penentangan macam ini, dalam berbagai versinya, sejatinya bukan barang baru dan kalangan intelijen pun sudah cukup akrab. Draft yang digodok DPR saat ini adalah versi kesekian, sebagian kalangan bahkan menyebutnya versi ‘lebih lembut’, dari draft awal yang maju mundur di Senayan sejak hampir satu dekade silam.
Yang jadi soal sekarang, dan ini yang kemungkinan memaksa kalangan intelijen menggali lubang pertahanan yang dalam belakangan ini, adalah mereka tak pernah menyangka bakal kehilangan dukungan dari satu-satunya klien, tuan sekaligus atasan mereka dalam tujuh tahun terakhir: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Ini bukan rahasia lagi. Di pekan yang lewat, dalam sebuah wawancara di Radio Republik Indonesia, presiden angkat suara untuk pertama kalinya soal pasal-pasal kontroversial dalam draft intelijen. Intinya dia mengendurkan dukungan, bilang pasal yang sifatnya di luar ‘kepatutan’ dan berpotensi membuka pintu pelanggaran ‘Hak Asasi Manusia’ dan karenanya ‘keresahan’ masyarakat sipil, tak perlu masuk dalam draft.
‘Hak asasi’ dan ‘kepatutan’ bagi satuan intelijen negara adalah samudera ambiguitas yang menulikan dan presiden, sayangnya, tak menyebut rinci pasal yang tak dia suka. Tapi pernyataannya itu, bagaimanapun, telah menyuntikkan angin segar ke kalangan penentang adanya ‘kewenangan ekstra’ pada satuan intelijen negara.
Apa pasal hingga presiden memutuskan melepas layang-layang dukungannya? Kenapa dia seperti ‘balik gagang’ di saat semua bawahannya, termasuk bos besar intelijen dan Menteri Pertahanan, telah berbulan-bulan berjibaku meyakinkan publik luas demi lolosnya keseluruhan pasal dalam draft intelijen?
Analisa atas poin-poin keberatan para penentang draf intelijen mengisyaratkan kalau ada sesuatu yang anyir di balik keberatan mereka pada ‘wewenang ekstra’ intelijen:
Pertama, penyadapan, penangkapan, penahanan dan pemeriksaan pihak yang diduga ‘musuh’ negara hanya bagian kecil dari draft intelijen.
Kedua, mereka tahu dan telah mendengar penegasan berulang dari bos besar intelijen negara kalau penyadapan hanyalah bagian dari prosedur standar, bukan tujuan akhir. Sementara soal penangkapan, penahanan dan pemeriksaan, ini pun tak ubahnya pintu darurat di pesawat udara; hanya digunakan jika keadaan sangat memaksa.
Ketiga, semua mereka sadar kalau penyadapan, penangkapan, dan pemeriksaan oleh satuan intelijen negara adalah hal lumrah di hampir semua organisasi intelijen dunia.
Keempat, dalam satu dekade terakhir, kalangan penentang umumnya memilih memperkecil desibel suaranya – untuk tak menyebut tutup mulut – setiap kali terdengar kabar penyadapan, penyiksaan, dan bahkan extra judicial killing oleh Datasemen Khusus 88, kawanan polisi super, mitra Amerika dan Australia dalam proyek besar Perang Melawan Terorisme di Indonesia.
Elemen terakhir ini mengantar kita pada sebuah pertanyaan penting: kenapa? Kenapa begitu banyak peluru tertuju ke draft intelijen? Kenapa para penentang berpikiran kalau pintu neraka otoriterianisme bakal terbuka jika intelijen dapat wewenang ekstra penangkapan namun adem ayam saat semua yang mereka cemaskan telah dilakukan secara berulang oleh Densus 88?
Pemeriksaan mendalam atas isi draft intelijen mengisyaratkan kalau penentangan sebagian kalangan pada wewenang ekstra intelijen negara tak lebih dari gincu untuk menutup penentangan mereka yang lebih besar pada keseluruhan isi draft intelijen.
Bila naskah akademik draft intelijen – disebut-sebut sebagai perasan undang-undang intelijen di berbagai negara, termasuk Amerika, Rusia dan Republik Islam Iran – yang beredar di Internet bisa dipegang, para perancang draft sejatinya sedang mempersiapkan pondasi dan lengan kokoh bagi sebuah lembaga intelijen negara yang mumpuni untuk menjadi ‘lini pertama’ pertahanan, termasuk dalam menghadapi Perang Asimetris yang berpotensi melumat bangsa dan negara. Poin ini, untuk menyebut satu di antaranya, mengirim pesan kalau intelijen kita bakal hadir dengan daya tolak yang besar dan ini berat konsekuensinya bagi mesin-mesin hegemoni dan imperialistik, siapapun mereka.
Di masa datang, jika draft lolos di Senayan, apapun proyek mereka di Indonesia tak bakal lagi semudah piknik dua hari tiga malam di Uluwatu, Bali.
Bagian pertimbangan dalam draft intelijen menyebutkan fungsi ‘deteksi dini’ pada badan intelijen negara – diproyeksikan sebagai lembaga intelijen tertinggi dan mengkoordinir semua kegiatan intelijen oleh alat negara, termasuk militer, polisi dan kejaksaan – lahir dengan mempertimbangkan: (a) “terwujudnya tujuan nasional yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial sebagaimana diamanatkan di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, (b) mengantisipasi berbagai bentuk dan sifat ancaman baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang bersifat kompleks, serta memiliki spektrum yang sangat luas;
Pasal 5 menyebutkan: “tujuan Intelijen Negara adalah mendeteksi, mengidentifikasi, menilai, menganalisis, menafsirkan, dan menyajikan Intelijen dalam rangka memberikan peringatan dini untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan bentuk dan sifat ancaman yang potensial dan nyata terhadap keselamatan dan eksistensi bangsa dan negara serta peluang yang ada bagi kesejahteraan nasional.
Pasal 12: Badan Intelijen Negara bertugas: (a) melakukan pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang intelijen; (b) menyampaikan produk intelijen sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan pemerintah; (c) melakukan perencanaan dan pelaksanaan operasi intelijen; (d) mengatur dan mengoordinasikan intelijen pengamanan pimpinan nasional; (e) membuat rekomendasi yang berkaitan dengan orang asing; dan (f) memberikan pertimbangan, saran, dan rekomendasi tentang pengamanan penyelenggaraan pemerintahan.
Pasal 14: BIN memiliki wewenang melakukan intersepsi komunikasi dan/atau dokumen elektronik, serta pemeriksaan aliran dana yang diduga kuat terkait dengan kegiatan terorisme, separatisme, spionase, subversi, sabotase, dan atau kegiatan yang mengancam keamanan nasional.
Pasal 15: BIN juga memiliki wewenang:(1) melakukan pencegahan dan penangkalan dini serta pemeriksaan intensif. (2) Pencegahan dan penangkalan dini serta pemeriksaan intensif sebagaimana dimaksud dilakukan terhadap orang yang diduga kuat terkait dengan terorisme, separatisme, spionase, subversi, sabotase, dan kegiatan atau tindakan yang mengancam keamanan nasional. (3) Pemeriksaan intensif dilakukan dalam waktu paling lama 7 x 24 jam dan dikoordinasikan dengan penegak hukum terkait.
Para penentang tahu draft intelijen punya pijakan kukuh namun sadar pula kalau kewenangan tambahan intelijen negara adalah satu-satunya pintu masuk mereka guna mengerem gerak maju draft di Senayan. Di media, penentangan mereka terdengar layaknya tawaran secawan madu. Tapi mereka – dan presiden yang mengamini penentangan mereka – lupa kalau mulut yang berbicara madu tak otomatis manis.
Negara ini perlu intelijen yang kuat dan disegani. Tak lebih tak kurang. []
Silahkan download, DIM RUU Intelijen Negara, Pemerintah dan DPR
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H