Mohon tunggu...
Okza Hendrian
Okza Hendrian Mohon Tunggu... Dosen - Electoral Analyst di Sygma Research and Consulting

Membaca dan sebagai coloumnis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Relevansi Adaptasi Kebijakan Deng Xiaoping untuk Indonesia

12 Oktober 2024   16:49 Diperbarui: 12 Oktober 2024   16:50 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: DetikFinance

Pernyataan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo menyebut Prabowo akan meniru gaya kepemimpinan Deng Xiaoping di China. 

Hal ini menuai diskusi publik yang mendalam berkaitan dengan kebijakan yang akan diambil oleh pemegang estafet kepemimpinan Pasca Jokowi ini ke depannya. 

Mantan Jendral Kopassus itu telah menyatakan kekagumannya terhadap Deng Xiaoping, pemimpin Tiongkok yang dianggap sebagai arsitek utama reformasi ekonomi besar-besaran di negara tersebut. Prabowo, ingin mengadopsi gaya kepemimpinan pragmatis Deng dalam mengatasi tantangan ekonomi Indonesia. 

Pendekatan Deng, yang berhasil mengubah Tiongkok dari negara agraris menjadi salah satu kekuatan ekonomi global, menawarkan banyak pelajaran. Namun, apakah kebijakan Deng dapat secara efektif diterapkan di Indonesia? 

Tulisan ini akan mengeksplorasi relevansi kebijakan Deng Xiaoping bagi Indonesia, apakah adaptasi ini sesuai dengan konteks sosial-ekonomi negara, atau justru menghadirkan tantangan yang berbeda.

Deng Xiaoping: Arsitek Reformasi Ekonomi Tiongkok

Deng Xiaoping menjadi pemimpin Tiongkok setelah Revolusi Kebudayaan yang dipimpin oleh Mao Zedong, yang meninggalkan ekonomi negara dalam kondisi terpuruk. Deng berusaha membawa perubahan radikal melalui pendekatan yang dikenal sebagai "sosialis dengan karakteristik Tiongkok" yang menggabungkan unsur-unsur kapitalisme dalam kerangka sistem sosialis. Deng terkenal dengan kebijakan pragmatisnya yang dijuluki "tidak peduli apakah kucing itu hitam atau putih, yang penting dapat menangkap tikus," yang menegaskan bahwa efisiensi dan hasil lebih penting daripada ideologi.

Beberapa kebijakan utama yang diterapkan Deng adalah liberalisasi pasar melalui penciptaan Zona Ekonomi Khusus (SEZ), di mana Shenzhen menjadi salah satu contoh keberhasilan. 

Melalui reformasi ini, Deng membuka pintu bagi investasi asing dan mendorong pertumbuhan sektor swasta yang pesat, yang membawa Tiongkok pada jalur transformasi ekonomi global. Hasil dari kebijakan ini luar biasa: dalam beberapa dekade, Tiongkok menjadi ekonomi terbesar kedua di dunia, dengan tingkat pertumbuhan yang konsisten di atas 6% selama bertahun-tahun.

Relevansi untuk Indonesia: Kebutuhan Adaptasi atau Tantangan?

Prabowo Subianto melihat pengalaman Tiongkok sebagai model yang dapat diadaptasi untuk Indonesia. Namun, terdapat beberapa perbedaan signifikan antara konteks Tiongkok dan Indonesia yang harus diperhatikan.

Perbedaan Konteks Politik dan Sosial

Deng Xiaoping beroperasi dalam konteks politik yang sangat berbeda. Tiongkok adalah negara satu partai di mana pemerintah memiliki kontrol yang sangat ketat terhadap masyarakat dan ekonomi. 

Dengan stabilitas politik yang kuat dan keputusan yang tidak terlalu banyak dipengaruhi oleh oposisi politik, Deng mampu menerapkan kebijakan yang berkelanjutan tanpa gangguan politik yang berarti. Sebaliknya, Indonesia adalah demokrasi multipartai dengan dinamika politik yang lebih kompleks, di mana pengambilan keputusan kebijakan seringkali lambat karena adanya negosiasi antarpartai dan kelompok kepentinga.

Pragmatismenya Deng dapat lebih mudah diterapkan di Tiongkok, di mana kebijakan top-down dapat diimplementasikan tanpa banyak hambatan. Di Indonesia, tantangan politik dan desentralisasi kekuasaan menuntut lebih banyak konsultasi dan pendekatan kolaboratif, yang mungkin menghambat penerapan reformasi ekonomi yang berskala besar dan cepat seperti di Tiongkok.

Struktur Ekonomi yang Berbeda

Ekonomi Tiongkok pada era Deng sebagian besar berbasis agraris dengan dominasi negara atas sektor industri. Reformasi yang dilakukan Deng melibatkan liberalisasi sektor swasta dan pembukaan ekonomi terhadap investasi asing, yang kemudian mendorong perkembangan industri manufaktur besar-besaran. Indonesia, di sisi lain, sudah memiliki sektor swasta yang lebih berkembang dan lebih terbuka terhadap pasar internasional dibandingkan Tiongkok pada 1970-an. 

Oleh karena itu, reformasi yang diperlukan di Indonesia mungkin tidak sepenuhnya selaras dengan model Deng, yang lebih berfokus pada liberalisasi awal ekonomi yang terisolasi.

Indonesia juga memiliki sektor informal yang besar, serta ketergantungan pada sumber daya alam yang berbeda dengan fokus Tiongkok pada manufaktur. Perlu adanya kebijakan yang lebih spesifik untuk mengatasi ketergantungan ekonomi pada komoditas, yang dalam konteks Indonesia tidak dapat diselesaikan hanya dengan membuka investasi asing.

Kebijakan Investasi dan Infrastruktur

Salah satu aspek penting dari kesuksesan reformasi Deng adalah investasi besar-besaran dalam infrastruktur, yang didukung oleh investasi asing langsung (FDI). Shenzhen dan kota-kota lainnya berkembang menjadi pusat teknologi dan manufaktur yang didorong oleh pembangunan infrastruktur yang masif. Di Indonesia, infrastruktur masih menjadi tantangan besar, terutama di luar pulau Jawa. Meskipun pemerintah telah mendorong pembangunan infrastruktur dalam beberapa tahun terakhir, investasi dalam teknologi dan inovasi belum sekuat yang diperlukan untuk menghasilkan transformasi ekonomi seperti yang dialami Tiongkok.

Prabowo menyadari pentingnya infrastruktur dan berencana untuk melanjutkan pembangunan yang masif, terutama dalam menciptakan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang mirip dengan SEZ di Tiongkok. Namun, ada tantangan lain yang harus diatasi, termasuk birokrasi yang berbelit-belit dan korupsi yang merusak efisiensi kebijakan publik di Indonesia.

Peran Swasta dalam Perekonomian

Salah satu pelajaran utama dari Deng adalah bagaimana sektor swasta memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Deng membuka pintu bagi perusahaan asing untuk berinvestasi dan berkolaborasi dengan perusahaan lokal. Indonesia telah memiliki sektor swasta yang berkembang, namun peran pemerintah dalam mengelola investasi asing masih menghadapi tantangan yang sama, seperti peraturan yang sering berubah dan kurangnya jaminan hukum bagi investor. 

Menurut World Bank, meski Indonesia memiliki tingkat investasi asing yang signifikan, masalah birokrasi dan ketidakpastian hukum masih menjadi penghambat utama bagi pertumbuhan investasi. Prabowo harus berhadapan dengan tantangan ini jika ia ingin mereplikasi model Deng yang berhasil menciptakan lingkungan yang ramah bagi investasi asing.

Pendekatan Prabowo: Kombinasi Sosialisme dan Kapitalisme

Dalam pernyataannya, Prabowo menunjukkan niatnya untuk memadukan sosialisme dan kapitalisme demi meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ini mengingatkan pada pendekatan Deng, yang berhasil menggabungkan unsur kapitalisme dalam kerangka ekonomi sosialis. Namun, pendekatan ini harus disesuaikan dengan konteks Indonesia, di mana redistribusi kekayaan dan kebijakan populis masih menjadi isu yang sensitif. 

Prabowo menyatakan bahwa ia ingin meningkatkan kesejahteraan rakyat tanpa terlalu memedulikan apakah kebijakan tersebut berasal dari kapitalisme atau sosialisme, selama kebijakan tersebut efektif. Pendekatan ini sesuai dengan pragmatisme Deng, tetapi dalam penerapannya, kebijakan tersebut harus mempertimbangkan struktur sosial-ekonomi Indonesia yang lebih kompleks dan beragam.

Kebijakan Deng Xiaoping, Pragmatisme yang Bisa Diadaptasi?

Secara keseluruhan, adaptasi kebijakan Deng Xiaoping di Indonesia mungkin memiliki relevansi tertentu, terutama dalam hal pragmatisme dalam kebijakan ekonomi. Namun, ada tantangan besar yang harus dihadapi, termasuk perbedaan dalam struktur politik, sosial, dan ekonomi antara kedua negara. Prabowo dapat mengambil inspirasi dari keberhasilan Deng dalam memadukan kapitalisme dan sosialisme, tetapi adaptasi tersebut harus disesuaikan dengan realitas Indonesia. 

Keberhasilan kebijakan ini akan sangat tergantung pada bagaimana Prabowo mampu menghadapi tantangan politik dalam negeri, memperbaiki birokrasi yang rumit, dan menciptakan lingkungan yang lebih ramah bagi investasi, sambil tetap memprioritaskan kesejahteraan rakyat. Apakah ini akan berhasil? Hanya waktu yang akan menjawab. Namun, seperti yang Deng Xiaoping katakan, yang terpenting adalah hasil akhirnya: kesejahteraan rakyat.

Okza Hendrian., M.A

Researcher di Sygma Research and Consulting

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun