Perjalanan politik Joko Widodo, yang lebih dikenal sebagai Jokowi, adalah salah satu fenomena yang paling menarik dalam sejarah politik Indonesia. Seorang pengusaha mebel sederhana dari Solo, Jokowi meniti karier politik yang luar biasa, mulai dari Walikota Solo hingga menjadi Presiden Indonesia selama dua periode. Dalam lebih dari satu dekade, ia telah mencetak berbagai pencapaian yang mengesankan sekaligus menghadapi sejumlah tantangan serius. Kepemimpinan Jokowi, yang awalnya dianggap sebagai angin segar dalam politik Indonesia, kini berubah menjadi topik perdebatan, terutama mengenai apakah dia masih menjadi "pemimpin wong cilik" atau sudah sepenuhnya menjadi bagian dari elit politik yang dia janjikan untuk lawan. "Saya datang dari kampung, bukan dari lingkungan elite," begitu tegas Joko Widodo, memperkuat citranya sebagai pemimpin yang sederhana dan merakyat. Namun, di tengah langkah politiknya yang semakin strategis, muncul pertanyaan: apakah Jokowi yang sekarang masih sama dengan Jokowi yang dulu? Kebijakan-kebijakan kontroversial yang didukungnya sering kali dianggap lebih menguntungkan kaum elite daripada rakyat kecil. Apakah narasi kesederhanaan itu masih relevan, ataukah telah menjadi sekadar retorika di tengah politik kekuasaan?
Awal Karier Politik dan Blusukan sebagai Identitas
Karier politik Jokowi dimulai pada tahun 2005 ketika dia pertama kali mencalonkan diri sebagai Walikota Solo. Didukung oleh PDI-P, dia memimpin dengan pendekatan yang berbeda dari kebanyakan politisi di Indonesia. Jokowi dikenal dengan gaya blusukan, yaitu turun langsung ke lapangan untuk melihat permasalahan masyarakat. Ini membedakan dirinya dari banyak politisi lain yang dianggap menjaga jarak dari rakyat. Pendekatan ini membuatnya mendapatkan julukan sebagai pemimpin merakyat, yang dengan cepat memperbesar popularitasnya tidak hanya di Solo tetapi juga di kancah nasional.
Keberhasilan Jokowi di Solo tidak hanya diukur dari pendekatan merakyatnya, tetapi juga dari hasil nyata yang dia bawa untuk kota tersebut. Selama menjabat sebagai Walikota, Jokowi berhasil memperbaiki infrastruktur kota, merevitalisasi pasar tradisional, serta menciptakan ruang publik yang lebih layak. Rebranding Solo sebagai "The Spirit of Java" juga menjadi salah satu keberhasilan Jokowi dalam menarik lebih banyak perhatian pada potensi pariwisata dan ekonomi kota tersebut.
Menjadi Gubernur Jakarta: Langkah ke Panggung Nasional
Kesuksesan di Solo menarik perhatian partai politik besar yang melihat potensi Jokowi sebagai calon kuat untuk posisi yang lebih tinggi. Pada tahun 2012, dia mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta, kali ini bersama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai wakilnya. Kemenangan Jokowi di Jakarta semakin memperkuat citra dirinya sebagai pemimpin yang bersih dan peduli terhadap rakyat. Dengan melanjutkan gaya blusukan di ibu kota, Jokowi menunjukkan kesederhanaan dan ketulusan yang membuatnya begitu populer di kalangan masyarakat.
Dalam waktu singkat, Jokowi menghadapi berbagai tantangan di Jakarta, terutama masalah banjir, kemacetan, dan tata kelola kota yang kompleks. Salah satu momen ikonik dalam kepemimpinannya adalah ketika dia turun langsung ke dalam gorong-gorong untuk memeriksa sistem saluran air di tengah banjir Jakarta. Tindakan ini memperkuat citra dirinya sebagai pemimpin yang tidak takut kotor dan siap bekerja keras untuk mengatasi masalah yang dihadapi rakyatnya.
Kepresidenan: Dari Harapan Baru Hingga Kompromi Politik
Pada Pemilu 2014, Jokowi maju sebagai calon presiden dengan dukungan penuh dari PDI-P. Kemenangan Jokowi di Pemilu 2014 disambut sebagai kemenangan rakyat atas politik elitis yang telah lama mendominasi Indonesia. Di awal masa jabatannya, Jokowi berfokus pada pembangunan infrastruktur, dengan janji untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan merata di seluruh negeri.
Jokowi memperkenalkan proyek-proyek strategis nasional (PSN) yang berfokus pada pembangunan jalan tol, pelabuhan, bandara, serta infrastruktur desa melalui Dana Desa. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kebijakan ini membantu menurunkan tingkat kemiskinan dari 28,51 juta pada 2015 menjadi 25,9 juta pada 2020. Jalan tol yang dibangun selama masa kepemimpinan Jokowi mencapai lebih dari 1700 km, yang merupakan prestasi besar dalam bidang infrastruktur.
Namun, pembangunan yang masif ini juga menghadapi berbagai kritik. Banyak proyek infrastruktur yang dianggap belum memberikan dampak ekonomi yang signifikan. Bandara Kertajati, misalnya, dibangun dengan investasi besar tetapi sepi penumpang sejak mulai beroperasi pada 2018. Kritik lainnya datang dari laporan yang menunjukkan bahwa proyek-proyek infrastruktur masih terfokus di Pulau Jawa dan Sumatera, sementara daerah-daerah lain seperti Papua dan Sulawesi mendapatkan porsi yang jauh lebih kecil.
Kontroversi Kebijakan: UU Cipta Kerja dan Revisi UU KPK
Selain pencapaian di bidang infrastruktur, masa kepresidenan Jokowi juga ditandai dengan sejumlah kebijakan kontroversial. Salah satu yang paling banyak menuai protes adalah pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja pada tahun 2020. UU ini dinilai merugikan kaum pekerja karena mempermudah masuknya tenaga kerja asing, menambah jam kerja, dan menghapuskan upah minimum kota. Proses penyusunan UU ini juga mendapat kritik karena dianggap kurang transparan dan tergesa-gesa.
Selain itu, revisi UU KPK pada tahun 2019 menjadi titik balik besar dalam citra Jokowi sebagai pemimpin yang antikorupsi. Revisi ini dianggap melemahkan posisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang selama ini menjadi lembaga penting dalam memberantas korupsi di Indonesia. Hasilnya, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2022 merosot ke titik terendah dalam 10 tahun terakhir.
Warisan Politik: Antara Meritokrasi dan Oligarki
Salah satu teori yang relevan dalam membahas perjalanan Jokowi adalah teori oligarki oleh Jeffrey Winters dalam bukunya Oligarchy and Democracy in Indonesia. Winters berargumen bahwa kekuatan oligarki masih sangat berpengaruh dalam politik Indonesia, dan Jokowi tidak kebal dari pengaruh tersebut. Meskipun citranya adalah pemimpin rakyat kecil, Jokowi tetap harus berkompromi dengan kepentingan-kepentingan elit politik dan ekonomi yang membantunya mencapai kekuasaan.
Hal ini terlihat dalam kebijakan-kebijakan yang dianggap lebih menguntungkan para oligarki daripada masyarakat luas. Revisi UU KPK dan UU ITE adalah dua contoh di mana kepentingan elit lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat. Bahkan, pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur juga dianggap sebagai langkah ambisius yang lebih menguntungkan investor asing daripada rakyat lokal yang terkena dampak proyek tersebut.
Jokowi Hari Ini: Merakyat atau Bagian dari Elit?
Seiring berjalannya waktu, citra Jokowi sebagai pemimpin merakyat mulai memudar. Kritikus menilai bahwa Jokowi telah menjadi bagian dari elit politik yang sebelumnya dia lawan. Terlebih lagi, upaya Jokowi untuk membangun dinasti politik dengan mempromosikan anaknya, Gibran Rakabuming, sebagai Wakil Presiden yang dinilai menerabas konstitusi menambah persepsi bahwa dia telah beralih dari wong cilik menjadi bagian dari oligarki yang berkuasa.
Namun, satu hal yang tidak bisa disangkal adalah Jokowi adalah seorang politisi cerdas yang mampu merangkul berbagai kekuatan politik, termasuk mantan rivalnya, Prabowo Subianto. Dengan membangun koalisi yang kuat, Jokowi memastikan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintahannya berjalan dengan relatif sedikit hambatan di DPR. Hal ini memberinya kemampuan untuk menjalankan program-program ambisius seperti pemindahan ibu kota, meskipun menghadapi banyak tentangan dari publik.
Perjalanan Jokowi dari pengusaha mebel hingga menjadi presiden adalah kisah yang penuh dengan dinamika dan kontradiksi. Di satu sisi, dia berhasil membangun citra sebagai pemimpin merakyat yang berhasil mencetak prestasi di bidang infrastruktur dan mengurangi kemiskinan. Namun, di sisi lain, kebijakan-kebijakan kontroversial dan keterlibatannya dengan oligarki menimbulkan pertanyaan tentang apakah dia masih menjadi simbol perubahan atau sudah menjadi bagian dari sistem yang dia janjikan untuk reformasi.
Di tengah kritik dan pujian, satu hal yang pasti: kepemimpinan Jokowi telah membawa perubahan besar bagi Indonesia, baik dari segi fisik maupun politik. Namun, apakah warisan yang dia tinggalkan akan dikenang sebagai warisan merakyat atau elit, hanya waktu yang akan menjawab.
Okza Hendrian., M.A
Researcher di Sygma Research and Consulting
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H