Pembangunan infrastruktur yang masif selama pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) telah membawa perubahan besar bagi Indonesia. Dengan slogan Indonesia-sentris, Jokowi berupaya mengubah narasi pembangunan yang sebelumnya terpusat di Pulau Jawa menjadi lebih merata ke seluruh pelosok negeri. Namun, apakah klaim Indonesia-sentris ini benar-benar terealisasi, ataukah Indonesia masih berpegang pada model Jawa-sentris yang telah berlangsung selama beberapa dekade?
Jawa Sentris: Akar Sejarah dan Ketidaksetaraan Pembangunan
Untuk memahami dinamika Jawa-sentris, kita harus melihat sejarah Indonesia yang panjang. Sejak era kolonial, Jawa telah menjadi pusat kekuasaan politik dan ekonomi. Infrastruktur, fasilitas pendidikan, dan layanan publik paling banyak terkonsentrasi di Pulau Jawa, yang pada gilirannya memperkuat peran Jawa sebagai pusat ekonomi Indonesia. Pemerintahan setelah kemerdekaan, terutama di bawah Soeharto, tidak mengubah arah pembangunan ini, bahkan semakin memperkuat dominasi Jawa.
James C. Scott dalam Seeing Like a State menjelaskan bahwa negara sering kali melakukan pembangunan yang terpusat pada wilayah-wilayah strategis sebagai cara untuk mengontrol dan memfasilitasi administrasi. Dalam konteks Indonesia, wilayah Jawa yang lebih berkembang infrastruktur dan aksesibilitasnya secara alami menjadi pusat kekuasaan, ekonomi, dan pembangunan. Namun, hal ini menciptakan kesenjangan yang signifikan antara wilayah Jawa dan luar Jawa, di mana wilayah-wilayah seperti Kalimantan, Papua, dan Nusa Tenggara sering kali tertinggal dalam hal infrastruktur, pendidikan, dan layanan dasar lainnya.
Ketidaksetaraan ini juga memperkuat ketergantungan ekonomi daerah-daerah luar Jawa terhadap Pulau Jawa. Jawa memproduksi sebagian besar produk industri, sementara wilayah-wilayah lain berperan sebagai pemasok bahan mentah. Ketimpangan ekonomi ini semakin memperdalam jurang antara Jawa dan luar Jawa.
Indonesia-Sentris ala Jokowi: Sebuah Perubahan Paradigma?
Salah satu upaya terbesar Jokowi untuk membalikkan tren Jawa-sentris adalah melalui program pembangunan infrastruktur besar-besaran yang dimulai pada masa awal kepemimpinannya. Slogan Indonesia-sentris mengandung janji untuk menciptakan pembangunan yang lebih merata, di mana daerah-daerah luar Jawa tidak lagi terpinggirkan dalam hal investasi dan pembangunan infrastruktur.
Proyek-proyek seperti Trans-Papua, tol Sumatera, dan pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) di perbatasan adalah contoh dari upaya Jokowi untuk memperluas jaringan infrastruktur ke daerah-daerah yang selama ini kurang mendapat perhatian. Selain itu, proyek Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan juga dipromosikan sebagai langkah simbolis dan konkret untuk memindahkan pusat kekuasaan dari Jawa ke luar Jawa.Â
Menurut Jeffrey Winters, seorang ilmuwan politik, langkah Jokowi ini merupakan upaya untuk memindahkan beban ekonomi dan ekologi dari Pulau Jawa yang sudah sangat padat, sembari memberikan dorongan pembangunan yang signifikan bagi wilayah luar Jawa. Namun, meskipun terlihat sebagai perubahan besar, Winters juga mengingatkan bahwa tantangan logistik, birokrasi, dan resistensi lokal bisa menghambat realisasi penuh dari gagasan Indonesia-sentris ini.
Realita: Jawa Masih Kunci Pembangunan
Meski ada langkah-langkah yang signifikan menuju pembangunan Indonesia-sentris, realita di lapangan menunjukkan bahwa dominasi Jawa dalam ekonomi dan infrastruktur nasional masih sangat kuat. Proyek-proyek besar infrastruktur di Jawa, seperti jalan tol, bandara, dan pelabuhan, tetap menjadi prioritas utama. Banyak daerah luar Jawa, meskipun mendapatkan proyek infrastruktur, tetap menghadapi masalah aksesibilitas, kesenjangan ekonomi, dan minimnya fasilitas publik yang layak.
Laporan dari Kementerian PPN/Bappenas menunjukkan bahwa meskipun ada peningkatan investasi infrastruktur di luar Jawa, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan tetap terkonsentrasi di Jawa. Misalnya, Pulau Jawa masih menyumbang lebih dari 58% dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, sementara wilayah-wilayah seperti Papua dan Maluku masih jauh tertinggal. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pembangunan fisik infrastruktur sedang berlangsung di luar Jawa, hasil ekonominya belum sepenuhnya merata.
Dalam buku Development as Freedom oleh Amartya Sen, dijelaskan bahwa pembangunan yang sesungguhnya bukan hanya tentang infrastruktur fisik, tetapi juga mencakup peningkatan kebebasan dan kesejahteraan manusia. Pembangunan yang berkelanjutan harus memberikan manfaat nyata bagi seluruh rakyat, termasuk peningkatan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja. Namun, di Indonesia, wilayah luar Jawa sering kali masih tertinggal dalam hal akses terhadap layanan dasar ini.
Selain itu, pembangunan besar-besaran yang dipusatkan di Jawa menciptakan ketimpangan regional. Misalnya, dalam proyek Trans-Jawa, jaringan jalan tol yang baru dibangun memperkuat posisi ekonomi Jawa, sementara proyek serupa di luar Jawa seperti Trans-Sumatera masih dalam tahap awal pengembangan dan menghadapi berbagai hambatan teknis dan finansial.
Hambatan Menuju Indonesia-Sentris
Ada beberapa faktor yang menghambat terwujudnya visi Indonesia-sentris. Pertama, kesenjangan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa telah terbentuk selama beberapa dekade, dan tidak dapat diatasi hanya dengan pembangunan infrastruktur fisik. Pembangunan ekonomi yang lebih luas memerlukan perbaikan dalam akses pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja di wilayah luar Jawa.
Kedua, kendala geografis dan logistik di luar Jawa sering kali menghambat percepatan pembangunan. Misalnya, di Papua, tantangan geografis berupa pegunungan yang sulit diakses membuat pembangunan infrastruktur seperti jalan dan listrik menjadi lebih mahal dan lambat dibandingkan wilayah lain. Sementara itu, masalah birokrasi, seperti perizinan dan korupsi, juga memperlambat pelaksanaan proyek di luar Jawa.
Ketiga, resistensi lokal terhadap proyek-proyek besar juga merupakan tantangan. Beberapa daerah menolak proyek-proyek pemerintah karena khawatir akan kehilangan lahan, sumber daya alam, atau dampak lingkungan. Contoh terbaru adalah penolakan terhadap tambang di Wadas dan pembangunan Rempang Eco-City yang memicu protes dari masyarakat lokal.
Apa yang Harus Dilakukan?
Untuk benar-benar mencapai pembangunan yang Indonesia-sentris, beberapa langkah perlu diambil: Meskipun pembangunan fisik sudah dimulai, kualitas infrastruktur di luar Jawa, seperti jalan, pelabuhan, dan bandara, harus ditingkatkan agar setara dengan standar di Jawa. kedua adalah, fokus pada Pengembangan Manusia. Pembangunan bukan hanya tentang infrastruktur fisik. Investasi yang lebih besar diperlukan dalam pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja di luar Jawa. Ini akan membantu mempercepat pembangunan ekonomi dan mengurangi ketimpangan regional. Ketiga, perbaikan Birokrasi dan Pengawasan Korupsi: Pemerintah perlu memperbaiki birokrasi dan menekan korupsi agar proyek-proyek infrastruktur di luar Jawa dapat dilaksanakan lebih efisien dan transparan. Keempat, menghormati Hak-Hak Lokal dan Lingkungan: Pemerintah harus memastikan bahwa pembangunan tidak mengorbankan hak-hak masyarakat lokal dan lingkungan. Proyek-proyek harus dirancang dengan mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan, serta melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Indonesia-Sentris Mimpi atau Kenyataan?
Meskipun Jokowi telah membawa perubahan besar dengan mengusung konsep Indonesia-sentris, realita di lapangan menunjukkan bahwa dominasi Jawa dalam ekonomi dan pembangunan masih sangat kuat. Untuk mewujudkan visi pembangunan yang benar-benar merata, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah lebih lanjut dalam meningkatkan kualitas infrastruktur, pengembangan manusia, dan perbaikan birokrasi. Jika tidak, Indonesia-sentris mungkin hanya akan menjadi mimpi yang belum sepenuhnya terwujud.
Okza Hendrian., M.A
Peneliti di Sygma Research and Consulting
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H