Dalam dunia politik, figur seorang pemimpin sering kali dianggap memiliki aura atau karisma tertentu yang dapat mempengaruhi opini publik. Karisma ini bukan hanya terbentuk karena kebijakan yang diambil, tetapi juga karena cara pemimpin tersebut mengelola citra dirinya di hadapan publik. Salah satu contoh fenomenal dalam hal ini adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang sejak awal masa kepresidenannya, dikenal dengan gaya kepemimpinan yang sederhana dan dekat dengan rakyat. Namun, menjelang berakhirnya masa jabatannya pada 2024, banyak yang mempertanyakan apakah aura kebintangan Jokowi masih akan tetap bertahan, atau justru mulai memudar, terutama setelah 20 Oktober 2024, yang menandai akhir dari masa kepemimpinannya.
Fenomena ini menjadi menarik untuk dianalisis lebih lanjut karena menggambarkan bagaimana persepsi publik terhadap seorang pemimpin bisa berubah seiring berjalannya waktu.Â
Karisma Pemimpin
Sebelum membahas lebih jauh, penting untuk memahami konsep "kharisma" dalam konteks kepemimpinan. Karisma adalah salah satu elemen penting dalam kepemimpinan yang tidak hanya mencakup kekuatan pribadi tetapi juga kemampuan untuk mempengaruhi dan menginspirasi orang lain.Â
Dalam teori kepemimpinan yang dikemukakan oleh Max Weber (1922), karisma dianggap sebagai salah satu sumber otoritas, yang berbeda dari otoritas tradisional dan legal-rasional. Pemimpin yang memiliki karisma seringkali dianggap sebagai sosok yang istimewa, bahkan mampu melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh orang biasa.
Dalam konteks Jokowi, kharisma yang dimilikinya terbentuk melalui beberapa faktor. Pertama, gaya komunikasi Jokowi yang sederhana dan bersahaja berhasil menciptakan kedekatan dengan masyarakat.Â
Kedua, kebijakan-kebijakan populis yang diambilnya, seperti pembangunan infrastruktur besar-besaran dan pemberantasan kemiskinan, turut memperkuat citra positifnya di mata publik. Karisma Jokowi, terutama pada periode awal pemerintahannya, diperkuat oleh persepsi bahwa dia adalah sosok yang merakyat dan terbebas dari stigma elit politik yang biasa melekat pada politisi senior.
Namun, seiring berjalannya waktu, faktor-faktor ini bisa mengalami perubahan yang mempengaruhi persepsi publik terhadap Jokowi. Misalnya, kebijakan ekonomi yang tidak selalu memberikan hasil yang langsung dirasakan oleh masyarakat bawah, atau kontroversi politik yang muncul di akhir masa jabatan. Inilah yang menjadi tantangan bagi Jokowi dalam mempertahankan "aura kebintangan" tersebut.
Pergeseran Persepsi Publik Menjelang Akhir Masa Jabatan
Salah satu hal yang patut dicermati adalah bagaimana dinamika politik akan berubah menjelang akhir masa jabatan Jokowi pada 2024. Dalam politik, ada fenomena yang sering disebut sebagai "lame-duck syndrome", di mana seorang pemimpin yang telah dipastikan tidak akan mencalonkan diri kembali cenderung kehilangan pengaruh dan kemampuan untuk menggerakkan kebijakan. Ini terjadi karena loyalitas politik lebih sering terarah pada kandidat pengganti, dan bukan pada pemimpin yang segera pergi.
Pergeseran ini juga tercermin dalam opini publik yang lebih kritis terhadap kepemimpinan Jokowi menjelang akhir masa jabatan. Misalnya, meskipun Jokowi telah berhasil melakukan banyak pembangunan infrastruktur, banyak kalangan mengkritik ketimpangan ekonomi yang masih terjadi, dan bahkan peningkatan utang negara yang terus membengkak. Ketidakpuasan ini bisa menyebabkan penurunan aura kebintangan Jokowi, yang sebelumnya didorong oleh citra sebagai sosok yang membawa perubahan positif.
Teori sosial-politik yang relevan untuk menganalisis fenomena ini adalah teori "Public Opinion" dari Walter Lippmann (1922) yang menyatakan bahwa opini publik sangat dipengaruhi oleh persepsi, informasi yang diterima masyarakat, dan bagaimana informasi tersebut diproses melalui media massa. Di era digital dan media sosial seperti sekarang, informasi bisa dengan cepat tersebar dan membentuk opini yang lebih terfragmentasi. Masyarakat yang sebelumnya mendukung Jokowi karena citra positifnya kini bisa lebih kritis dan lebih mudah terpengaruh oleh isu-isu yang beredar menjelang 20 Oktober.
Dinamika Politik dan Pengaruh Pasca-Jokowi
Setelah 20 Oktober 2024, kita akan memasuki periode transisi politik yang krusial, dengan calon pemimpin baru yang akan memimpin Indonesia. Salah satu faktor yang berpotensi mempengaruhi aura kebintangan Jokowi adalah peranannya dalam mendukung atau memilih calon presiden berikutnya.Â
Jika Jokowi memilih untuk terlibat aktif dalam mendukung salah satu calon presiden, maka pengaruhnya dalam politik Indonesia bisa tetap bertahan, meskipun karismanya mungkin tidak sekuat saat dia masih menjabat sebagai presiden.
Namun, jika Jokowi memilih untuk tidak terlibat dalam politik pasca-presidensi, maka kemungkinan besar pengaruhnya akan berkurang dengan cepat. Pengaruh politik setelah menjabat presiden sangat tergantung pada kemampuan seorang pemimpin untuk tetap relevan dalam wacana politik yang sedang berkembang.Â
Dalam hal ini, teori "political legacy" yang dikemukakan oleh David R. Mayhew dalam bukunya "Congress: The Electoral Connection" (1974) menunjukkan bahwa pengaruh politik seorang pemimpin tidak hanya bergantung pada pencapaian selama menjabat, tetapi juga pada kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan setelah masa jabatannya berakhir. Jika Jokowi mampu menjaga relevansi pasca-jabatannya, misalnya dengan menjadi mentor politik bagi generasi pemimpin selanjutnya, maka aura kebintangan tersebut bisa bertahan lebih lama.
Kharisma Jokowi yang mulai luntur pasca-20 Oktober 2024 tidak sepenuhnya mengindikasikan kegagalan kepemimpinan. Namun, ini mencerminkan dinamika politik yang alami dalam setiap transisi kekuasaan.Â
Ketika seorang pemimpin mendekati akhir masa jabatannya, persepsi publik dan loyalitas politik cenderung berubah, dengan masyarakat mulai lebih kritis terhadap kebijakan dan capaian yang telah dibuat. Ini adalah tantangan besar bagi Jokowi untuk memastikan bahwa warisan kepemimpinannya tetap dihargai meskipun ia tidak lagi berkuasa.
Penting untuk diingat bahwa karisma dalam kepemimpinan bersifat sementara dan bergantung pada situasi politik serta persepsi masyarakat. Oleh karena itu, untuk menjaga relevansi, seorang pemimpin pasca-masa jabatan harus dapat memanfaatkan pengaruhnya secara bijaksana dan tetap terlibat dalam proses politik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, aura kebintangan Jokowi mungkin bisa luntur, namun warisan kepemimpinan dan kontribusinya terhadap Indonesia tetap akan dikenang.
Okza Hendrian., M.A
Peneliti di Sygma Research and ConsultingÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H