Pilkada Serentak 2024 di Indonesia kembali diwarnai oleh fenomena 'calon tunggal' melawan 'kotak kosong', situasi yang terjadi di 41 daerah dari total 270 daerah yang menyelenggarakan Pilkada. Meski secara legal diperbolehkan dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, fenomena ini menimbulkan perdebatan mengenai dampaknya terhadap kualitas demokrasi di Indonesia. Pertanyaan yang muncul adalah apakah ini mencerminkan perkembangan demokrasi yang sehat atau justru sebaliknya, memperlihatkan kelemahan struktural dalam sistem politik yang ada.
Secara teori, 'kotak kosong' dalam pilkada memberikan alternatif bagi pemilih yang tidak setuju dengan calon tunggal yang ada. Dengan mencoblos kotak kosong, masyarakat menunjukkan ketidakpuasan terhadap calon yang tersedia, dan jika kotak kosong menang, pilkada harus diulang dengan syarat calon yang sebelumnya diajukan tidak dapat mencalonkan diri kembali. Namun, di balik mekanisme demokrasi ini, muncul pertanyaan lebih mendasar mengenai kegagalan partai politik dalam menciptakan kompetisi politik yang sehat.
Kurangnya Kompetisi: Kegagalan Sistem Politik?
Fenomena calon tunggal sering kali dikaitkan dengan kegagalan partai politik dalam melakukan kaderisasi dan seleksi kandidat yang berkualitas. Masalah ini sebagian besar berakar dari peran partai politik yang tidak mampu mengusung lebih dari satu pasangan calon. Dalam banyak kasus, partai politik memilih untuk berkoalisi dan menghindari kompetisi ketat, karena lebih mudah menjamin kemenangan jika tidak ada pesaing yang signifikan. Akibatnya, pilihan politik masyarakat menjadi terbatas, yang bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi yang mengutamakan kompetisi sebagai sarana untuk memilih pemimpin terbaik.
Partai politik juga tampak lebih mengutamakan kepentingan pragmatisme politik daripada menghadirkan calon yang berkualitas. Koalisi besar yang dibentuk oleh partai-partai di banyak daerah untuk mendukung satu pasangan calon sering kali dilakukan bukan karena alasan ideologis, melainkan untuk menjaga kepentingan jangka pendek dan mengamankan posisi politik mereka. Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa demokrasi Indonesia sedang menuju ke arah oligarki politik, di mana kompetisi politik dirancang untuk dihindari demi mempertahankan status quo kekuasaan.
Demokrasi Prosedural tanpa Substansi
Samuel Huntington dalam bukunya The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (1991) menjelaskan bahwa salah satu ancaman terbesar bagi demokrasi adalah ketika sistem politik hanya menjadi prosedural dan kehilangan esensinya sebagai arena kompetisi yang sehat. Demokrasi yang sehat menuntut adanya pilihan nyata bagi pemilih, di mana partai politik dan kandidat saling bersaing menawarkan visi dan kebijakan yang berbeda. Namun, dalam banyak kasus Pilkada dengan calon tunggal, pemilih tidak memiliki pilihan selain mendukung calon yang sudah pasti atau memilih kotak kosong sebagai bentuk protes.
Larry Diamond dalam bukunya The Spirit of Democracy (2008) menekankan pentingnya kompetisi politik dalam mempertahankan legitimasi demokrasi. Menurutnya, ketika masyarakat tidak diberi pilihan yang memadai, legitimasi pemerintah yang terpilih dapat dipertanyakan. Dalam konteks Pilkada 2024, meskipun pemilihan dengan calon tunggal tetap sah secara hukum, absennya kompetisi yang sehat dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi itu sendiri. Fenomena ini memperlihatkan bahwa sistem demokrasi Indonesia masih belum mampu sepenuhnya menghadirkan kompetisi politik yang merata di seluruh daerah.
Kotak Kosong sebagai Simbol Protes
Dalam beberapa kasus, kemenangan kotak kosong dalam pilkada dianggap sebagai bentuk protes terhadap kandidat yang dianggap tidak mewakili aspirasi masyarakat. Namun, hal ini juga menunjukkan bahwa masyarakat mulai kehilangan kepercayaan pada proses politik, di mana calon tunggal sering kali muncul karena dominasi partai politik besar atau ketidakmampuan partai-partai lain untuk mencalonkan kandidat yang kompetitif. Sebagai contoh, Pilkada Kota Makassar 2018 menjadi salah satu bukti nyata di mana kotak kosong berhasil menang melawan calon tunggal, menunjukkan ketidakpuasan yang luas terhadap calon yang diusung.
Kemenangan kotak kosong juga memunculkan pertanyaan mengenai apakah pilkada semacam ini benar-benar mencerminkan kehendak rakyat atau justru memperlihatkan kelemahan dalam sistem politik. Dalam konteks demokrasi yang lebih luas, partai politik seharusnya berperan sebagai agen perubahan yang mampu mengakomodasi berbagai aspirasi dan menghasilkan kandidat yang berkualitas. Namun, ketika partai politik gagal dalam melakukan kaderisasi, maka yang terjadi adalah munculnya calon tunggal yang minim kompetisi, dan kotak kosong menjadi satu-satunya alternatif bagi pemilih.
Partai Politik dan Tanggung Jawab Kaderisasi
Salah satu alasan utama mengapa fenomena calon tunggal semakin marak adalah karena partai politik lebih memilih jalan aman dengan mengusung satu calon yang dipastikan menang, ketimbang mengambil risiko dengan mengajukan lebih dari satu kandidat. Hal ini disebabkan oleh lemahnya proses kaderisasi di internal partai. Banyak partai yang tidak mampu mempersiapkan kader-kader terbaiknya untuk maju dalam pilkada, sehingga memilih berkoalisi dengan partai lain demi menghindari perpecahan suara.
Menurut pandangan akademisi, partai politik harus mengambil tanggung jawab lebih besar dalam memperbaiki proses kaderisasi mereka. Sebagai lembaga yang bertugas menyeleksi dan mencalonkan pemimpin, partai politik seharusnya mendorong kompetisi sehat di internal mereka, bukan justru membentuk koalisi besar untuk mendukung satu pasangan calon. Dalam bukunya Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy (1911), Robert Michels menjelaskan bahwa partai politik cenderung mengalami oligarki internal, di mana keputusan-keputusan penting hanya dibuat oleh segelintir elite partai. Fenomena calon tunggal dan kotak kosong di Indonesia dapat dilihat sebagai manifestasi dari oligarki ini.
Membangun Demokrasi yang Lebih Sehat
Fenomena calon tunggal dan kotak kosong dalam Pilkada 2024 menimbulkan pertanyaan mendalam tentang kualitas demokrasi di Indonesia. Meskipun fenomena ini legal, absennya kompetisi yang sehat menunjukkan bahwa demokrasi di tingkat lokal masih rentan terhadap manipulasi politik dan dominasi partai besar. Untuk memperbaiki situasi ini, partai politik harus lebih serius dalam melakukan kaderisasi dan menciptakan kompetisi yang lebih sehat.
Partai-partai politik perlu melihat fenomena ini sebagai peringatan untuk tidak mengabaikan pentingnya kompetisi dalam demokrasi. Dalam jangka panjang, kegagalan untuk menciptakan kompetisi yang sehat akan menurunkan legitimasi pemerintah terpilih dan kepercayaan publik terhadap sistem politik secara keseluruhan. Fenomena kotak kosong bukan hanya tentang absennya lawan dalam pemilihan, tetapi juga tentang kegagalan sistem politik dalam menyediakan pilihan yang memadai bagi rakyat.
Jika demokrasi Indonesia ingin terus berkembang, diperlukan reformasi dalam tubuh partai politik yang mampu menciptakan kader-kader berkualitas dan menawarkan pilihan nyata bagi pemilih. Hanya dengan begitu, demokrasi Indonesia dapat kembali pada esensinya sebagai sarana untuk mewujudkan kehendak rakyat, bukan sekadar prosedur formal tanpa substansi.
Okza Hendrian., M.A
Penulis adalah Researcher dan Analyst di Sygma Research and Consulting dengan bidang expertise prilaku pemilih, Demokrasi dan Politik lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H