Dengan kata lain : orang yang miskin wawasan dan minim info, justru akan merasa sudah menguasai semuanya (sebab dirinya tidak sadar betapa rumitnya penelitian-penelitian ilmiah dalam topik yang dia komentari).
Sebaliknya Dunning & Kruger menulis : orang yang benar-benar pakar dan memahami begitu banyak wawasan, akan merasa rendah hati dan tidak merasa opininya paling benar. Kenapa? Sebab dia sudah banyak baca kajian ilmiah tentangnya, dan sadar betapa rumitnya topik yang dia bicarakan.
Fenomena Dunning-Krugger ini persis banget dengan peribahasa Tong Kosong, Bunyinya Paling Nyaring.
Justru karena pikirannya masih kosong (karena sekali lagi malas baca buku-buku serius), maka komentarnya yang paling nyolot, paling kencang dan paling nyaring bunyinya, meski salah.
Kenapa fenomena the death of expertise dan dunning-krugger effect terjadi? Ada beberapa faktor yang mungkin memicunya.
Kemungkinan pertama adalah karena minat membaca yang makin rapuh. Orang makin malas membaca buku-buku yang tebal dan membutuhkan deep thinking. Sebaliknya, sekarang banyak orang yang lebih suka membaca kalimat-kalimat pendek yang dangkal dan banyak muncul di media sosial dan media online. Kebiasaan ini lama-lama membuat pikiran banyak orang menjadi makin dangkal dan rentan terjebak dalam the death of expertise.
Sebab kedua mungkin karena sistem pendidikan kita yang sejak dini kurang mengajarkan tradisi literasi dan “critical thinking skills” (atau mengajarkan peserta didik untuk menggunakan logika dan wawasannya demi mampu berpikir secara mandiri). Sebaliknya, sistem pengajaran lebih banyak fokus pada hafalan dan gaya ceramah satu arah yang monoton; dan tidak memicu budaya dialog serta pola berpikir mandiri yang kreatif.
Sebab ketiga terjadinya fenonema kelam the death of expertise adalah ini : makin meledaknya konten-konten dangkal (yang tidak membutuhkan deep thinking) baik di media sosial dan media online (lengkap dengan click bait dan isi berita yang sama sekali tidak mendalam). Banjir informasi yang sebagian berkadar sampah ini tak pelak juga ikut membuat wawasan berpikir para pembacanya menjadi makin rapuh.
Apa yang menjadi konsumsi pikiran kita, itulah juga yang akan menentukan corak pikiran kita. Saat pikiran kita makin banyak diterjang ledakan konten yang tidak berkualitas, maka pikiran kita pelan-pelan juga makin bebal dan tidak tercerahkan.
Lalu bagaimana solusinya? Apa yang kudu dilakoni agar kita bisa terhindar dari jebakan the death of expertise? Ada tiga langkah yang bisa mulai dijalankan (dan sebagian juga disarankan dalam buku The Death of Expertise).
Yang pertama, barangkali makin penting untuk menumbuhkan budaya baca yang kuat bahkan sejak usia dini sekali (misal sejak masa TK dan SD). Iqra – demikian ayat pertama yang lahir. Sejatinya, tradisi membaca yang kokoh merupakan pilar bagi tumbuhnya respek kepada kepakaran.