Mohon tunggu...
Oky Nugraha Putra
Oky Nugraha Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Seorang manusia yang terus belajar, belajar, belajar pada siapapun.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Orang Sunda dan Bahasanya

13 September 2018   17:01 Diperbarui: 15 September 2018   12:22 2221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam suatu obrolan sore hari bertempat di Rumah Baca Buku Sunda beberapa waktu lalu, ketika penulis sengaja berkunjung ke sana untuk mencari literatur yang berkaitan dengan sumber penulisan skripsi, Mamat Sasmita yang merupakan pengelola sekaligus pemilik tempat memberikan pendapatnya mengenai upaya pemerintah yang dianggap kurang signifikan dalam upaya pengadaan buku berbahasa Sunda di masyarakat.

Mamat menilai, pemerintah provinsi khususnya kurang berinisiatif dalam mengapresiasi karya sastra Sunda yang banyak dihasilkan oleh para penulis.

Kebiasaan membaca buku berbahasa ibu di lingkungan masyarakat Jawa Barat yang sebagian besar berbahasa Sunda tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan bertutur bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari.

Bagaimana para penutur ini mempraktikkannya di kelompok sosial yang paling kecil, keluarga, lalu beralih ke pergaulan sosial yang lebih luas mulai dari tetangga, sekolah, hingga instansi pemerintahan.

Proses percakapan dalam bahasa ibu ini akan mengundang rasa penasaran bila ada kata yang satu pihak kurang memahaminya.

Di sanalah mereka akan mulai mencari baik secara verbal dengan bertanya atau secara literal dengan menelusurinya lewat buku.

Mental berbahasa Sunda 

Menurut Mikihiro Moriyama dalam bukunya Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad 19 (2005) bahasa Sunda yang digunakan sekarang oleh penuturnya merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Bahkan sebelumnya pemerintah kolonial sampai tahun 1820-an beranggapan tidak ada yang namanya bahasa Sunda seperti yang kita kenal sekarang.

Mereka menganggap yang ada adalah bahasa "Jawa Gunung". Karena memang secara geografis bahasa Sunda kala itu digunakan oleh orang-orang di pedalaman yang jauh dari pesisir pantai. Ditambah, kontur alam Priangan bagian selatan didominasi oleh pegunungan.

Menariknya, meskipun pemerintah Belanda yang menginisiasi penelitian tentang bahasa Sunda, tetapi pembukuan pertama dalam bentuk kamus dua bahasa dilakukan seorang pemilik perkebunan berkebangsaan Inggris di wilayah Bogor, Jonathan Rigg. Kamusnya terbit pada tahun 1862.

Semenjak itu, pemerintah kolonial giat menerbitkan buku berbahasa Sunda untuk menjadi bahan bacaan para murid di Sekolah Desa.

Kegiatan penerbitan buku berbahasa Sunda semakin intensif ketika pemerintah mendirikan Balai Pustaka. Tidak hanya buku berbahasa Sunda, buku berbahasa ibu yang lain, yakni Jawa pun diterbitkan.

Upaya ini sengaja dilakukan oleh pemerintah kolonial sebagai upaya pemberadaban rakyat jajahannya melalui bidang literasi.

Apalagi di Belanda, kala itu, kaum liberal sedang giat-giatnya mengupayakan balas budi kepada wilayah jajahan yang nantinya akan melahirkan kebijakan Politik Etis.

Menilik secara historis seharusnya pemerintah provinsi Jawa Barat harus lebih berhasil dalam upaya pengadaan buku-buku berbahasa Sunda di masyarakat.

Hal ini bisa dimulai terlebih dahulu melalui sekolah dasar, di mana para murid mulai belajar mengeja, membaca, dan menulis. Jika ditanamkan sedari dini, mereka akan mulai terbiasa menggunakan bahasa ibunya.

Di tingkat sekolah menengah pertama, para murid mulai dikenalkan pada karya sastra Sunda. Guru mata pelajaran muatan lokal setiap minggunya menugaskan kepada mereka untuk membaca minimal satu karya sastra Sunda baik itu novel maupun antologi cerpen.

Hal ini akan mengasah nalar mereka untuk berpikir secara kritis dan sistematis. Sehingga ketika di tingkat sekolah menengah atas, mereka akan dapat menghasilkan suatu karya sastra Sunda.

Cara mengapresiasi karya mereka salah satunya melalui ajang perlombaan yang diadakan pemerintah bekerja sama dengan pihak swasta. Dari sana para penulis karya sastra Sunda akan termotivasi untuk tetap berkarya. Sangat disayangkan apabila semangat untuk berkarya tinggi namun minim apresiasi dari masyarakat.

Selain permasalahan pengadaan buku, penulis pun melihat ada masalah lain dalam penggunaan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu di Jawa Barat. Yakni, masalah mental berbahasa.

Para orang tua terkadang tidak mau berbicara dalam bahasa Sunda kepada anaknya. Mereka beranggapan bahasa Sunda itu cenderung rumit dengan adanya undak-usuk basa.

Khusus untuk hal ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi wilayah Priangan yang dahulu pernah dijajah oleh Kesultanan Mataram.

Ketika memberikan upeti ke Kartasura, para bupati wilayah Priangan diharuskan tinggal selama beberapa bulan di sana. Mereka mempelajari budaya feodal Jawa yang kemudian mereka terapkan ketika kembali. Salah satunya, bahasa.

Pernah suatu ketika teman penulis yang berasal dari Jawa Timur bertanya mengenai undak-usuk basa ini. Terkadang dia mengatakan "Aing nuju emam pak", kepada bapak pemilik kosnya ketika ditanya sedang melakukan kegiatan apa.

Dia bertanya apakah itu salah atau tidak. Bagi kita yang mengerti bahwa kalimat tersebut salah menurut aturan undak-usuk basa pasti akan tersenyum. Seharusnya dia menjawab, "Abdi nuju neda pak".

Kesalahan seperti ini yang akhirnya membuat orang enggan untuk menggunakan bahasa Sunda dalam percakapan.

Ajip Rosidi dalam bukunya Urang Sunda Jeung Basa Sunda (2007) cenderung tidak setuju dengan penggunaan undak-usuk basa.

Menurutnya, sistem hierarki bahasa tersebut merupakan warisan budaya feodalisme yang tidak cocok lagi diterapkan pada masa reformasi seperti sekarang.

Hal tersebut yang menjadi penyebab orang-orang di luar lingkungan budaya Sunda, bahkan orang Sunda sendiri tidak mau menggunakan bahasa Sunda. Khususnya dalam kehidupan sehari-hari secara verbal. Karena dikhawatirkan disebut sebagai "heunteu nyakola", dan "urang kampung manyang-munyung".

Solusinya, selain dari kata yang diucapkan, penutur suatu bahasa pasti akan menyertai apa yang diucapkannya dengan raut muka, bahasa tubuh, dan intonasi yang sesuai dengan maksud ucapannya.

Meskipun dianggap suatu kalimat mengandung kata kasar, namun kalau ketiga hal tersebut menunjukkan hal yang sebaliknya, bisa jadi orang yang menanggapinya pun akan memaklumi.

Selanjutnya adalah tugas utama dari para ahli bahasa Sunda untuk membuat suatu kesepakatan umum tentang aturan undak-usuk basa ini.

Semoga bahasa Sunda tetap terjaga di ibu pertiwi.

*Penulis, mahasiswa Ilmu Sejarah FIB Universitas Padjadjaran 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun