Khusus untuk hal ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi wilayah Priangan yang dahulu pernah dijajah oleh Kesultanan Mataram.
Ketika memberikan upeti ke Kartasura, para bupati wilayah Priangan diharuskan tinggal selama beberapa bulan di sana. Mereka mempelajari budaya feodal Jawa yang kemudian mereka terapkan ketika kembali. Salah satunya, bahasa.
Pernah suatu ketika teman penulis yang berasal dari Jawa Timur bertanya mengenai undak-usuk basa ini. Terkadang dia mengatakan "Aing nuju emam pak", kepada bapak pemilik kosnya ketika ditanya sedang melakukan kegiatan apa.
Dia bertanya apakah itu salah atau tidak. Bagi kita yang mengerti bahwa kalimat tersebut salah menurut aturan undak-usuk basa pasti akan tersenyum. Seharusnya dia menjawab, "Abdi nuju neda pak".
Kesalahan seperti ini yang akhirnya membuat orang enggan untuk menggunakan bahasa Sunda dalam percakapan.
Ajip Rosidi dalam bukunya Urang Sunda Jeung Basa Sunda (2007) cenderung tidak setuju dengan penggunaan undak-usuk basa.
Menurutnya, sistem hierarki bahasa tersebut merupakan warisan budaya feodalisme yang tidak cocok lagi diterapkan pada masa reformasi seperti sekarang.
Hal tersebut yang menjadi penyebab orang-orang di luar lingkungan budaya Sunda, bahkan orang Sunda sendiri tidak mau menggunakan bahasa Sunda. Khususnya dalam kehidupan sehari-hari secara verbal. Karena dikhawatirkan disebut sebagai "heunteu nyakola", dan "urang kampung manyang-munyung".
Solusinya, selain dari kata yang diucapkan, penutur suatu bahasa pasti akan menyertai apa yang diucapkannya dengan raut muka, bahasa tubuh, dan intonasi yang sesuai dengan maksud ucapannya.
Meskipun dianggap suatu kalimat mengandung kata kasar, namun kalau ketiga hal tersebut menunjukkan hal yang sebaliknya, bisa jadi orang yang menanggapinya pun akan memaklumi.
Selanjutnya adalah tugas utama dari para ahli bahasa Sunda untuk membuat suatu kesepakatan umum tentang aturan undak-usuk basa ini.