Mohon tunggu...
Oky Nugraha Putra
Oky Nugraha Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Seorang manusia yang terus belajar, belajar, belajar pada siapapun.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Napak Tilas dan Diskusi Perang Konvoi Tjiandjoer-Tjirandjang dalam Perspektif Sejarah

16 November 2017   10:20 Diperbarui: 16 November 2017   23:25 3601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari masih pagi ketika saya berangkat terburu-buru dari rumah menuju Gedung DPRD Kabupaten Cianjur. Karena tidur terlalu lelap saya terbangun pada pukul 05.35 WIB. Hari itu saya berencana akan mengikuti kegiatan dan acara yang diselenggarakan Komunitas Historika Indonesia dengan disokong oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI berjudul "Napak Tilas dan Diskusi Sejarah: Perang Konvoi Tjiandjoer-Tjirandjang 1945-1946 Dalam Perspektif Sejarah". Matahari mulai menaiki ufuk ketika saya berjalan tidak terlalu santai menuju shelter angkutan kota. Pukul 06.05 WIB.

Sebelum berangkat dari rumah karena saya secara sadar telah menyadari bahwa saya akan terlambat, saya menghubungi pihak panitia yang tercantum di soft-poster informasi. Tono nama kontak personnya. Saya menyatakan bahwa saya baru akan berangkat, di jalan menaiki angkutan kota pukul 06.00 WIB lebih. Mas Tono menjawab tidak apa-apa. Percakapan itu dilakukan di media sosial WhatsApp.

Saya tiba di gedung 'wakil rakyat' DPRD Kabupaten Cianjur kurang lebih pukul setengah 7. Peserta belum banyak yang hadir untuk melakukan registrasi ulang. Entah kebetulan atau bagaimana, pada hari Sabtu tersebut di halaman gedung DPRD pun sedang berlangsung acara perlombaan mobil pribadi. Saya tidak terlalu memerhatikan hal tersebut. Disana tanpa disangka ternyata adik tingkat saya ketika di SMA yang sekarang menjadi mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Siliwangi, Tasikmalaya bernama Jembar mengikuti pula acara ini.

Pertemuan yang tidak disangka ini membuat kami mengobrol kesana-kemari membicarakan beraneka permasalahan berkaitan dengan disiplin ilmu yang sedang kami pelajari saat ini. Bagaimana adanya perbedaan kurikulum serta pengajaran antara jurusan sejarah dan jurusan pendidikan sejarah. Buku-buku pegangan sampai kemudahan akses mendapatkan literatur kesejarahan. Saya sangat bersyukur bahwa domisili kampus saya tidak terlalu jauh dari pusat-pusat perbukuan maupun perpustakaan. Kondisi yang harus diperbaiki untuk ke depannya bagi pengambil kebijakan untuk masalah perguruan tinggi maupun dalam masalah pusat-pusat literatur di daerah.

Setelah berbincang-bincang selama kurang lebih 30 menit dengannya, panitia akhirnya mengumpulkan peserta napak tilas untuk diberi pengarahan dalam memulai kegiatan napak tilas. Semua peserta napak tilas termasuk saya dan Jembar langsung naik ke bus yang telah disediakan oleh panitia. Kami mengambil tempat duduk di bagian tengah bus. Tepat sekitar pukul 7 bus berangkat dari Gedung DPRD di Jl. KH. Abdullah bin Nuh menuju Jl. Raya Cianjur-Bandung. Tujuan kami ialah menuju jembatan Cisokan Lama.

Bus melaju dengan kecepatan sedang. Salah seorang panitia membuka kegiatan napak tilas. Sepatah dua patah kalimat dia sampaikan. Setelah itu dia memberikan microphone kepada narator napak tilas bernama Hendi Jo. Jurnalis sejarah majalah Historia. Hendi memulai narasi perang konvoi ini dengan mengatakan bahwa dahulu pada masa Revolusi Fisik 1945-1949 khususnya di rentang 1945-1946 di lokus Cianjur khususnya terjadi perang yang cukup membuat Inggris kewalahan sebagai pemenang Perang Dunia ke-II.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Bus menyusuri Jl. KH. Abdullah bin Nuh lalu masuk ke jalan by pass. By passini menurut Hendi bukan jalan yang dilalui tentara Inggris yang datang dari Bogor lalu masuk ke Sukabumi untuk kemudian memasuki Cianjur. Pasukan Inggris tepatnya melewati daerah Sukabumi, Sukaraja, Gekbrong, Pasir Hayam, Cikaret, lalu Cianjur Kota. Baru setelah jalur by passhabis, Hendi memulai narasi sesungguhnya mengenai perang konvoi ini. Dimulai di wilayah tegaknya tugu tauco sekarang.

Hendi menuturkan pasukan Inggris yang datang ke Indonesia bertujuan melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan serta internirannya, dan mengembalikan Indonesia kepada kolonialisnya yakni Belanda. Hal ini merupakan konsekuensi dari Perjanjian Postdam antara pihak Sekutu dengan pihak yang kalah perang dalam Perang Dunia ke-II salah satunya Jepang. 

Sebenarnya pemerintah pusat dalam konteks ini bertindak kooperatif dalam menerima kedatangan Sekutu di Indonesia. Namun karena pada zaman itu koordinasi antara pusat dengan daerah belum terbangun dengan baik, maka keinginan politis pusat tidak dapat diterjemahkan oleh para Republikan di daerah.

Selama berkonvoi dari Gekbrong ke Ciranjang tersebut, pasukan Inggris terutama Gurkha Riffle, pasukan Inggris yang diambil dari orang-orang Nepal bisa dikatakan kewalahan menghadapi taktik hit and rundan siasat perang kotanya para Republikan. Bahkan di daerah Cikaret tepatnya di jembatan Cikaret, sebuah tank Inggris sempat terperosok karena melalui jalur yang ditanam bom batok di bawahnya. Seorang tentara berpangkat kolonel terluka parah hingga akhirnya tewas. Hendi mengatakan hal tersebut dinarasikan jelas dalam buku The Fighting Cock 23rd Indian Division.

Bus melewati Jl. Muka lalu berbelok ke kanan memasuki Jl. Raya Cianjur-Bandung. Dulu, papar Hendi, jalan raya Cianjur-Bandung ini belum seperti sekarang yang sudah tidak ada pepohonan mahoni lebat di kanan-kirinya. Dia mengatakan bahwa orang-orang yang kelahiran tahun 1980 kebawah seperti dirinya dan pernah melewati jalan raya ini relatif masih mengingat bahwa dulu jalan raya ini di kanan-kirinya terdapat deretan pepohonan mahoni. Kondisi jalan raya seperti itu kurang lebih sama dengan masa perang konvoi ketika tentara Inggris melewati jalur tersebut.

Selama perjalanan mulai dari Jl. Raya Cianjur-Bandung sampai ke jembatan Cisokan Lama Hendi bercerita beberapa pejuang lokal yang turut serta dalam perang konvoi dari pihak republik. Beberapa nama seperti Suroso, Asmin Soetjipta, merupakan para Republikan yang berjuang melawan Inggris di masa itu. Suroso merupakan anggota BBRI (Barisan Banteng Republik Indonesia) Bogor yang diperbantukan di Cianjur. 

Dia melatih para pemuda Cianjur di daerah Jl. Barisan Banteng sekarang. Sekutu kewalahan dengan 'banteng' yang satu ini hingga suatu ketika Suroso sedang berjalan di daerah Salakopi tepatnya di sekitaran Wisma Tedja, satu butir peluru menembus kepalanya hingga sang 'banteng' pun perlaya. Namanya sekarang diabadikan menjadi salah satu nama jalan di wilayah kota Cianjur.

Berbeda kisahnya dengan guru sekolah di wilayah Bojong Koneng, Asmin Soetjipta. Hendi menuturkan bahwa Asmin ini geram dengan sikap arogan dan semena-mena dari tentara Inggris yang selalu meresahkan warga di kampungnya. Bermodalkan kenekatan Asmin pergi dari desa menuju wilayah sekitaran SMPN 4 Cianjur sekarang untuk melucuti senjata tentara Inggris. Dengan berpura-pura menjadi orang gila Asmin berhasil merampas satu pucuk senjata jenis Lee Envilledari seorang serdadu Inggris yang berjalan paling belakang. Setelah itu Asmin langsung kembali ke desanya dengan menyusuri jalur rel dari kota Cianjur menuju ke Warungkondang.

Meminta bantuan pasokan peluru dari para Republikan lain, Asmin berlatih menembak secara otodidak. Luar biasanya dia menjadi ahli dalam menembak jarak jauh. Lebih tepatnya sebagai seorang penembak runduk, sniper ! Penembak runduk dari Desa Cisarandi ini menamai Lee Enville-nya dengan nama "Si Dukun". Sepak terjangnya dalam memuntahkan timah panas menuju tubuh pasukan Inggris ini dilakukannya di daerah operasinya, Warungkondang. 

Namun, selihai apapun Asmin dan "Si Dukun" bersembunyi serta mengantarkan butir-butir peluru kepada pasukan musuh, akhirnya tertangkap juga. Setelah diproses,  Asmin akhirnya menemui ajal di depan regu tembak pasukan Sekutu di Bogor. Kisah Suroso dan Asmin yang disampaikan Hendi tercatat pula dalam buku Zaman Perang Orang Biasa dalam Sejarah Luar Biasa.

Dua hal menarik disampaikan oleh Hendi dalam peristiwa perang konvoi ini. Perang Konvoi yang terjadi dua kali, yakni pada 9-12 Desember 1945 di daerah Bojongkokosan, Sukabumi serta pada bulan Maret 1946 di wilayah sepanjang Gekbrong-Ciranjang dengan medan tempur paling berat di area Jembatan Cisokan Lama, Ciranjang ternyata tidak hanya melibatkan satu golongan saja. 

Berbagai golongan dengan latar belakang ras, agama, dan ideologi yang berbeda bahu-membahu melawan pasukan Inggris. Golongan yang merupakan kelaskaran rakyat tersebut yakni BBRI (Barisan Banteng Republik Indonesia), Hizbullah, Sabilillah, dan Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia). Bahkan kenyataan di lapangan menunjukan bahwa perbedaan agama tidak menghalangi seorang Yotam Markasan yang Krsiten untuk masuk kompi Hizbullah yang notabene merupakan kelaskaran dengan latar belakang Islam. Suatu kombinasi unik para pendahulu kita dalam mempertahankan kemerdekaan negara ini. 

Sekarang makam Yotam Markasan berada di daerah Gunung Halu, Ciranjang. Latar belakang etnis pun tidak menghalangi etnis Tionghoa untuk membantu para Republikan. Menurut Hendi ketika konvoi pasukan Inggris memasuki wilayah kota Cianjur tepatnya di Jl. HOS Cokroaminoto sekarang, toko-toko Tionghoa dijadikan tempat untuk menembakan peluru ke arah pasukan konvoi Sekutu tersebut. Satu hal unik yang lain.

Medan tempur berat di Jembatan Cisokan Lama sampai membuat militer Inggris harus mencatatnya dalam dokumentasi kelembagaannya. Sampai-sampai hal ini melahirkan "Seruan Nehru" serta mengubah kebijakan Inggris sekaligus juga nantinya akan mengubah jalannya perang yang menurut parlemen Inggris sangat tidak berguna karena mereka dalam hal ini membonceng NICA (Nederlands Indies Civil Administration) sehingga harus mengorbankan ribuan prajuritnya di Hindia-Belanda. The Battle of Ciranjang Gorgeini disebut Inggris sebagai "Neraka Bandung-Jakarta". Karena pasukan mereka yang dari Jakarta maupun sebaliknya hampir pasti akan selalu diserang oleh para Republikan yang bersembunyi di ketinggian tebing-tebing di pinggiran aliran sungai Cisokan. 

Kehebatan Gurkha Riffleyang teruji di medan pertempuran El-Emin, Mesir seakan-akan mati kutu disini. Menurut Hendi, hal ini bisa terjadi karena mereka tidak mengenal medan pertempuran yang dihadapi. Selain faktor kejenuhan karena harus terus bertempur pasca Perang Dunia ke-II. Bahkan tutur Hendi lagi ada sebagian pasukan Gurkha Inggris yang membelot keluar dari kesatuan untuk menjadi warga setempat di Ciranjang. Salah satunya dalam rentang waktu yang belum lama ini seorang eks-prajurit Gurkha Inggris bernama Bashrin baru saja meninggal.

Bus tiba di kawasan jembatan Cisokan. Setelah menepi ke sebelah kiri jalan raya, peserta napak tilas mulai turun dari bus. Saya dan Jembar serta peserta yang lain langsung dipandu menuju monumen peringatan pertempuran Ciranjang. Selama saya hidup di Cianjur sampai sekarang harus sering bolak-balik Cianjur-Sumedang baru kali ini saya tahu bahwa di sebelah kiri Jl. Raya Cianjur-Bandung di area jembatan Cisokan ternyata ada sebuah tiang batu yang dibuat untuk memperingati pertempuran Ciranjang 1946 tersebut. 

Tiang batu itu di bawahnya berisikan tentang pertempuran yang melibatkan pihak Republikan dan pasukan Inggris pada April 1946. Bukan Maret 1946 seperti yang dituturkan Hendi Jo. Kebenaran waktunya harus dicek ulang. Peserta napak tilas berfoto disana sekadar mengabadikan momen langka ini. Setelah itu peserta napak tilas diarahkan menuju ke jembatan Cisokan Lama. Ternyata sebelum ada jembatan Cisokan yang sekarang digunakan sebagai jalan utama dari Cianjur menuju Bandung dan sebaliknya, di masa kolonial telah ada sebuah jembatan aspal berkerangka besi yang mana merupakan medan tempur tersulit dalam rangkaian Perang Konvoi jilid II 1946 itu. Hendi menjelaskan bahwa rombongan konvoi pasukan Inggris itu tidak hanya terdiri dari pasukan infanteri atau pejalan kaki. 

Namun, terdiri pula dari pasukan kavaleri yang membawa kendaraan berat perang dalam hal ini tank baja. Karena lebar jalan di jembatan Cisokan Lama tidak sampai 3 meter, pasukan Inggris membuat tambahan konstruksi jembatan yang sering disebut dengan 'jembatan beli' agar bisa dilewati oleh tank baja mereka. Nah, disinilah para Republikan menembak musuhnya lewat semak-semak hutan yang dulu katanya masih sangat lebat. Pertempuran Ciranjang ini terekam pula dalam rol film "Pedjoeang" yang terbit pada tahun 1960-an.

Tugu peringatan Pertempuran Ciranjang 1946. Koleksi pribadi
Tugu peringatan Pertempuran Ciranjang 1946. Koleksi pribadi
Dalam Pertempuran Ciranjang 1946 rombongan konvoi pasukan Inggris sempat melakukan aksi friends-fire. Ceritanya menurut Hendi ketika pasukan infanteri Inggris mengirimkan koordinat lokasi Republikan yang menyerang mereka kepada pilot-pilot pesawat Dakota dan Thunderbolt, pasukan infanteri Inggris menuju lokasi para Republikan sambil terus terjadi tembak-menembak. 

Republikan yang mengetahui ada pesawat tempur musuh yang sedang menuju ke arahnya segera saja melarikan diri. Sebagian dari mereka ada yang meloncat dari ketinggian tebing masuk ke sungai Cisokan yang saat itu sedang naik volume airnya. Sontak, sebagian dari mereka yang masuk ke sungai tewas terseret air sungai sampai tidak ditemukan jasadnya. 

Setelah semua Republikan meninggalkan koordinat lokasi yang dikirimkan pasukan infanteri Inggris kepada para pilot pesawat tempur, dan pasukan infanteri Inggris menempati sendiri koordinat lokasi yang sebelumnya ditempati oleh para Republikan, maka terjadilah aksi teman bunuh teman. Pilot pesawat tempur tidak mengetahui bahwa musuhnya telah meninggalkan koordinat lokasi yang dikirimkan oleh teman-teman infanteri mereka. Tragis.

Lanjut Hendi, di sebelah kanan dari jembatan Cisokan Lama terdapat jembatan yang dibangun di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels. Jembatan tersebut bernama jembatan Leuwi Jenderal. Namun sayang, rombongan napak tilas tidak sempat mengunjunginya. Jembatan tersebut menyisakan puing-puingnya saja. 

Di sekitaran jembatan Cisokan Lama ketika DI/TII atau 'gerombolan' sedang gencar-gencarnya beraksi lokasi tersebut dijadikan tempat pengeksekusian mereka yang tidak setuju dengan gerakan DI/TII. Hendi juga berucap dia memiliki sumber sejarah yang menginformasikan bahwa pada tahun 1937 tebing-tebing di sekitaran sungai Cisokan itu dijadikan tempat latihan oleh pasukan KNIL (Koninklijke Nederlandsche Indische Leger).

Kami berada di kawasan jembatan Cisokan Lama sekitar 1 jam. Pukul 10.00 WIB rombongan napak tilas kembali ke bus dan bersiap untuk menuju tempat selanjutnya yakni ke Gedung Papak di wilayah Cijoho, Warungkondang. Disana terdapat bangunan bekas markas tentara Inggris pada 1945-1946. Bangunannya sekitar 25 meter ke arah kanan dari bangunan Koramil Warungkondang. Perjalanan menempuh jarak sekitar 20 kilometer ini oleh Hendi selaku narator napak tilas diisi dengan sesi tanya jawab.   

Pukul 10.30 WIB rombongan napak tilas sampai di depan Gedung Papak. Mengapa bangunan ini disebut Gedung Papak ? Karena atap bangunan ini rupanya rata. Tidak seperti kebanyakan bangunan yang berbentuk prisma segitiga atapnya. Bangunan bersejarah ini sudah tidak digunakan lagi sejak tahun 1990-an awal. 

Menurut desas-desus yang beredar (tentunya harus dibuktikan kebenaran informasinya) sekarang pemilik bangunan ini adalah warga lokal. Entah akan dijadikan apa bangunan ini di tangan pemilik yang sekarang. Namun menurut salah seorang peserta napak tilas sebaiknya Gedung Papak ini diakuisisi oleh pemerintah daerah setempat untuk dialih fungsikan menjadi tempat wisata sejarah sama seperti jembatan Cisokan Lama yang sebelumnya kami datangi. Buat sebuah diorama agar lebih menarik minat pengunjung untuk datang kesana. 

Gedung Papak merupakan markas tentara Inggris yang diambil alih dari pemilik sebelumnya yang merupakan orang India di masa kolonial. Bentuk bangunan yang sekarang menurut Hendi masih asli seperti awalnya. Oleh para Republikan tempat ini sempat dibombardir dengan menggunakan senjata seadanya namun tidak pernah bisa berhasil ditembus.

Sekitar pukul 11.00 WIB rombongan napak tilas kembali ke bus. Kali ini kami akan kembali ke titik awal keberangkatan, yakni gedung DPRD Kabupaten Cianjur. Setelah supir mulai menancap gas Hendi selaku narator napak tilas kembali membuka pembicaraan. Dia tidak bercerita namun melontarkan beberapa pertanyaan kepada peserta napak tilas. 

Saya orang pertama yang menjawab pertanyaannya. Pertanyaan berhadiah ini membuat saya mendapatkan sebuah buku berjudul Kronik TNI: Tentara Nasional Indonesia 1945-1949 yang ditulis oleh Aan Ratmanto. Bersyukur sekali ! Karena kalau harus membeli sendiri, pasti harus merogoh kocek yang sedang paceklik. Maklum, mahasiswa yang kuliahnya dibiayai negara. Hehehe.

Selama perjalanan menuju kembali ke titik awal Hendi melontarkan berbagai macam pertanyaan kesejarahan baik yang menyangkut napak tilas itu sendiri maupun pertanyaan kesejarahan yang umum. Peserta napak tilas sangat antusias dalam mengikuti sesi pertanyaan berhadiah ini. Kalau saya pikir-pikir, dengan uang pendaftaran sebesar Rp. 75.000,00 kami sebagai peserta, khususnya saya sudah sangat beruntung. 

Kami surplus fasilitas. Dengan uang sebesar itu kami sudah mendapatkan sebuah kaos, makanan ringan, sebuah totebag, satu buah buku berjudul Perang Konvoi Sukabumi-Cianjur 1945-1946, makanan berat, dan sertifikat. Belum lagi peserta yang mendapatkan hadiah buku karena berhasil menjawab pertanyaan. Sangat memuaskan dan menggembirakan !

Rombongan peserta napak tilas sampai di gedung DPRD Kabupaten Cianjur sekitar pukul 11.30 WIB. Selama 1,5 jam kami diberi waktu untuk beristirahat terlebih dahulu sebelum masuk ke acara diskusi pada pukul 13.00 WIB. Waktu 1,5 jam itu saya manfaatkan bersama Jembar untuk sembahyang, dan makan batagor serta siomay. 

Saya dan Jembar tidak mengira ketika kembali ke ruangan Badan Musyawarah DPRD yang dijadikan tempat diskusi telah disediakan makanan berat ! Jadilah kami makan untuk yang kedua kalinya. Sembari menyantap makanan peserta napak tilas disuguhi tontonan seputar masa Revolusi Fisik 1945-1949 yang naratornya tak lain adalah Hendi Jo dan 'dokter' sejarawan Rusdi Hoesein. Mulai dari peristiwa di Tambun Angke, Bekasi sampai Pertempuran Ciranjang ditampilkan oleh proyektor. Sejarah akan lebih menarik bila ditampilkan dalam bentuk audio-visual.

Tidak terasa waktu menunjukan pukul 13.30 WIB. Acara diskusi molor setengah jam dari waktu yang ditentukan panitia. Para pembicara telah hadir di ruangan. Hendi Jo dan Rusdi Hoesein. Ternyata panitia pun mengundang para veteran untuk hadir dalam acara diskusi ini. Mereka adalah anggota LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia) cabang Cianjur. Jumlah mereka tiga orang. Salah satunya bernama Zuhdi berumur 93 tahun. Sebelum acara diskusi dimulai kami semua menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya 3 stanza. Jujur, saya baru pertama kali melantunkan Indonesia Raya dalam 3 stanza.

Diskusi lalu dimulai dengan pembicara pertama Rusdi Hoesein. Dia memaparkan secara garis besar kedatangan pasukan Sekutu ke Indonesia pasca Perang Dunia ke-II khususnya tentara Inggris. Mereka terdiri dari 3 divisi. Divisi India ke-23 dibawah pimpinan Mayjen D.C. Hawthorn ditugaskan di Jawa Barat. Divisi India ke-5 dibawah pimpinan Mayjen J.E.C. Marsergh ditugaskan di Jawa Timur. Merekalah yang akan terlibat dalam Pertempuran Surabaya kelak. Serta Divisi India ke-26 dibawah pimpinan Mayjen H.M. Ambers ditugaskan di Sumatera. Menarik bila memerhatikan pasukan Inggris yang datang ke Indonesia saat itu. 

Mereka merupakan kesatuan pasukan yang terdiri dari berbagai macam bangsa. India, Nepal, dan Pakistan. Tidak sedikit dari mereka yang membelot kepada kesatuannya. Selain karena faktor jenuh akan pertempuran, penyebab lain mereka membelot adalah faktor agama. Kebanyakan pasukan Inggris yang berasal dari Pakistan adalah Muslim. Setelah mengetahui bahwa sebagian musuh mereka adalah muslim juga, mereka melakukan desersi untuk bergabung bersama Republikan.

Selanjutnya diskusi berjalan lancar. Obrolan ringan dalam konteks tahun 1945-1949. Sesi tanya jawab dibagi ke dalam dua termin. Satu termin untuk tiga orang penanya. Jembar salah satu yang bertanya. Kelompok penanya beragam. Mulai dari SMP sampai perwakilan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat. Yang paling menarik perhatian saya adalah ketika ada seorang penanya yang mempertanyakan peranan pemerintah daerah dalam melestarikan situs-situs bersejarah di Cianjur. 

Karena dia merasa pemerintah daerah abai dalam memerhatikan, merawat, serta melestarikan situs-situs tersebut. Ini suatu hal menyedihkan bagi saya sekaligus mengesalkan. Di satu sisi saya sedih melihat situs-situs bersejarah yang seakan-akan dibiarkan mati begitu saja. Di sisi lain saya kesal karena pemerintah daerah seperti tidak ada kemajuan tindakan dalam memerhatikan situs-situs tersebut. Apalagi memerhatikan para pahlawan lokalnya ! Semoga kedepannya tidak seperti ini.

Difoto bersama Rusdi Hoesein di Gedung DPRD Kab. Cianjur. Koleksi pribadi
Difoto bersama Rusdi Hoesein di Gedung DPRD Kab. Cianjur. Koleksi pribadi
Diskusi ditutup dengan kegiatan foto bersama antara peserta dengan pembicara, veteran, dan panitia. Saya sendiri meminta kesediaan Rusdi Hoesein untuk difoto bersama saya. Beliau mengamini. Jembar memotret kami berdua. Hari itu saya sangat gembira. Pertama, karena di Cianjur jarang diadakan kegiatan kesejarahan seperti ini. Kedua, saya bertemu mahasiswa yang juga adik tingkat ketika SMA yang sekarang mempelajari disiplin ilmu yang sama. Ketiga, saya senang sekali dapat berfoto bersama salah satu sejarawan Indonesia, Rusdi Hoesein. Acara diskusi berakhir pada pukul 17.00 WIB. GoedeHistorika Indonesia !

Selesai ditulis di Jatinangor, Rabu 15 November 2017.

Oky Nugraha Putra, Mahasiswa Ilmu Sejarah FIB Universitas Padjadjaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun