Selama perjalanan mulai dari Jl. Raya Cianjur-Bandung sampai ke jembatan Cisokan Lama Hendi bercerita beberapa pejuang lokal yang turut serta dalam perang konvoi dari pihak republik. Beberapa nama seperti Suroso, Asmin Soetjipta, merupakan para Republikan yang berjuang melawan Inggris di masa itu. Suroso merupakan anggota BBRI (Barisan Banteng Republik Indonesia) Bogor yang diperbantukan di Cianjur.Â
Dia melatih para pemuda Cianjur di daerah Jl. Barisan Banteng sekarang. Sekutu kewalahan dengan 'banteng' yang satu ini hingga suatu ketika Suroso sedang berjalan di daerah Salakopi tepatnya di sekitaran Wisma Tedja, satu butir peluru menembus kepalanya hingga sang 'banteng' pun perlaya. Namanya sekarang diabadikan menjadi salah satu nama jalan di wilayah kota Cianjur.
Berbeda kisahnya dengan guru sekolah di wilayah Bojong Koneng, Asmin Soetjipta. Hendi menuturkan bahwa Asmin ini geram dengan sikap arogan dan semena-mena dari tentara Inggris yang selalu meresahkan warga di kampungnya. Bermodalkan kenekatan Asmin pergi dari desa menuju wilayah sekitaran SMPN 4 Cianjur sekarang untuk melucuti senjata tentara Inggris. Dengan berpura-pura menjadi orang gila Asmin berhasil merampas satu pucuk senjata jenis Lee Envilledari seorang serdadu Inggris yang berjalan paling belakang. Setelah itu Asmin langsung kembali ke desanya dengan menyusuri jalur rel dari kota Cianjur menuju ke Warungkondang.
Meminta bantuan pasokan peluru dari para Republikan lain, Asmin berlatih menembak secara otodidak. Luar biasanya dia menjadi ahli dalam menembak jarak jauh. Lebih tepatnya sebagai seorang penembak runduk, sniper ! Penembak runduk dari Desa Cisarandi ini menamai Lee Enville-nya dengan nama "Si Dukun". Sepak terjangnya dalam memuntahkan timah panas menuju tubuh pasukan Inggris ini dilakukannya di daerah operasinya, Warungkondang.Â
Namun, selihai apapun Asmin dan "Si Dukun" bersembunyi serta mengantarkan butir-butir peluru kepada pasukan musuh, akhirnya tertangkap juga. Setelah diproses, Â Asmin akhirnya menemui ajal di depan regu tembak pasukan Sekutu di Bogor. Kisah Suroso dan Asmin yang disampaikan Hendi tercatat pula dalam buku Zaman Perang Orang Biasa dalam Sejarah Luar Biasa.
Dua hal menarik disampaikan oleh Hendi dalam peristiwa perang konvoi ini. Perang Konvoi yang terjadi dua kali, yakni pada 9-12 Desember 1945 di daerah Bojongkokosan, Sukabumi serta pada bulan Maret 1946 di wilayah sepanjang Gekbrong-Ciranjang dengan medan tempur paling berat di area Jembatan Cisokan Lama, Ciranjang ternyata tidak hanya melibatkan satu golongan saja.Â
Berbagai golongan dengan latar belakang ras, agama, dan ideologi yang berbeda bahu-membahu melawan pasukan Inggris. Golongan yang merupakan kelaskaran rakyat tersebut yakni BBRI (Barisan Banteng Republik Indonesia), Hizbullah, Sabilillah, dan Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia). Bahkan kenyataan di lapangan menunjukan bahwa perbedaan agama tidak menghalangi seorang Yotam Markasan yang Krsiten untuk masuk kompi Hizbullah yang notabene merupakan kelaskaran dengan latar belakang Islam. Suatu kombinasi unik para pendahulu kita dalam mempertahankan kemerdekaan negara ini.Â
Sekarang makam Yotam Markasan berada di daerah Gunung Halu, Ciranjang. Latar belakang etnis pun tidak menghalangi etnis Tionghoa untuk membantu para Republikan. Menurut Hendi ketika konvoi pasukan Inggris memasuki wilayah kota Cianjur tepatnya di Jl. HOS Cokroaminoto sekarang, toko-toko Tionghoa dijadikan tempat untuk menembakan peluru ke arah pasukan konvoi Sekutu tersebut. Satu hal unik yang lain.
Medan tempur berat di Jembatan Cisokan Lama sampai membuat militer Inggris harus mencatatnya dalam dokumentasi kelembagaannya. Sampai-sampai hal ini melahirkan "Seruan Nehru" serta mengubah kebijakan Inggris sekaligus juga nantinya akan mengubah jalannya perang yang menurut parlemen Inggris sangat tidak berguna karena mereka dalam hal ini membonceng NICA (Nederlands Indies Civil Administration) sehingga harus mengorbankan ribuan prajuritnya di Hindia-Belanda. The Battle of Ciranjang Gorgeini disebut Inggris sebagai "Neraka Bandung-Jakarta". Karena pasukan mereka yang dari Jakarta maupun sebaliknya hampir pasti akan selalu diserang oleh para Republikan yang bersembunyi di ketinggian tebing-tebing di pinggiran aliran sungai Cisokan.Â
Kehebatan Gurkha Riffleyang teruji di medan pertempuran El-Emin, Mesir seakan-akan mati kutu disini. Menurut Hendi, hal ini bisa terjadi karena mereka tidak mengenal medan pertempuran yang dihadapi. Selain faktor kejenuhan karena harus terus bertempur pasca Perang Dunia ke-II. Bahkan tutur Hendi lagi ada sebagian pasukan Gurkha Inggris yang membelot keluar dari kesatuan untuk menjadi warga setempat di Ciranjang. Salah satunya dalam rentang waktu yang belum lama ini seorang eks-prajurit Gurkha Inggris bernama Bashrin baru saja meninggal.
Bus tiba di kawasan jembatan Cisokan. Setelah menepi ke sebelah kiri jalan raya, peserta napak tilas mulai turun dari bus. Saya dan Jembar serta peserta yang lain langsung dipandu menuju monumen peringatan pertempuran Ciranjang. Selama saya hidup di Cianjur sampai sekarang harus sering bolak-balik Cianjur-Sumedang baru kali ini saya tahu bahwa di sebelah kiri Jl. Raya Cianjur-Bandung di area jembatan Cisokan ternyata ada sebuah tiang batu yang dibuat untuk memperingati pertempuran Ciranjang 1946 tersebut.Â