Mohon tunggu...
Oky Nugraha Putra
Oky Nugraha Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Seorang manusia yang terus belajar, belajar, belajar pada siapapun.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Resensi Buku "Perpustakaan Kelamin: Buku dan Kelamin Dalam Pertaruhan"

23 Februari 2017   19:47 Diperbarui: 23 Februari 2017   19:49 1551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bungkam mulutnya jika ia memohon menang.

Karena itu mengharapkan kalah dari orang.

Hidup tak boleh ia artikan sebagai perlombaan.

Cukuplah sebagai peristiwa agung yang sengaja Kau ciptakan.

(Hal. 49-50).

Puisi sarat makna tersebut merupakan puisi yang tercantum di buku catatan Hariang. Sebagai do’a untuknya dalam menjalani kehidupan. Bisa dilihat dari kata per kata, kalimat per kalimat, bait per bait dari puisi tersebut tak ada sama sekali ungkapan manja seorang ibu kepada anaknya sebagaimana lazimnya kebanyakan ibu. Ibu Hariang mungkin ingin agar anaknya meurih heula daripada engke meunang peurah.

Novel ini sangat bernas literatur rujukan bila ditilik dari pencantuman judul-judul buku serta penulis yang penulis novel ini kutip di dalamnya. Seperti The Name of The Rose karya Umberto Eco, Kata-kata karya Jean Paul-Sartre, Etika Kesarjanaan Muslim: Dari Al-Farabi Hingga Ibnu Khaldun karya Franz Rosenthal, Dan Muhammad Adalah Utusan Allah karya Annemarie Schimmel, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karya John Roosa, Sugih Tanpa Banda karya Umar Kayam, Memposisikan Buku di Era Cyberspace karya Putut Widjanarko, Robohnya Surau Kami karya Aa Navis, Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya, Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd, Syarah Mahadzab karya Imam Nawawi Al-Andalusi, Hilzamun Awwam karya Imam Al-Ghazali, Mantiqu’t Thair karya Faridud-Din Attar, Matsnawi karya Jalaluddin Rumi. Bahkan di Hal. 196-205 dicantumkan daftar buku-buku yang pernah dilarang di Indonesia mulai tahun 1968-1998.

Pada bagian keempat mulai terjadi konflik yang melanda sosok Hariang si tokoh utama novel ini. Ini terjadi tatkala Kang Ulun tetangganya di Desa Cigendel yang sudah dianggap laiknya kakak kandung olehnya meminta pertolongan pada Hariang. Pertolongan yang tidak biasa dan terkesan memang sangat berat ini adalah permintaan untuk mencarikan pendonor kelamin. Kang Ulun kehilangan kelaminnya ketika masih kecil. Yakni saat proses khitanan. Suatu kecelakaan menimpa kelaminnya hingga terpotong habis ! Gila ! Bentuk kelamin memang sepele, tapi dia adalah segala-galanya, benarkah demikian ?

Tak menunggu waktu lama untuk Hariang menerima permohonan bantuan saudaranya yang ingin menjadi ‘lelaki normal’ tersebut. Keesokan harinya Hariang langsung berangkat ke Bandung untuk menemui kawan-kawannya dan juga untuk menghadiri diskusi Barudak PAKU (Pasukan Anti Kuliah) yang akan mendiskusikan buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa karya Fernando Baez. Sebelum mencari pendonor kelamin dan menghadiri diskusi itu Hariang mampir dulu ke kosan kekasihnya, Drupadi untuk menuntaskan hasrat ‘kebinatangannya’ (Hal. 61-75).

Menggunakan motor Drupadi, pencarian yang sangat melelahkan bagi Hariang untuk mencari pendonor kelamin pun dimulai. Apakah ada orang yang mau mendonorkan seonggok daging segala-galanya itu ? Kang Ulun meminta donor kelamin dari orang hidup pula. Bukan banci, apalagi orang mati ! Duh, Hariang kewalahan. Mulai dari kawannya Ipay di Cipadung hingga Dian di kawasan stasiun Kiaracondong, tak ada yang mau mendonorkan kelaminnya. Karena ucapan Dian kawannya yang terakhir ia temui untuk pencarian donor kelamin, Hariang harus berkelahi dengannya. Dengan luka di wajah, Hariang memaksakan diri pergi ke RSHS untuk berobat. Disini ia mendapat secercah harapan ketika bertemu dengan Naldi. Ia sedang membutuhkan uang untuk proses operasi ayahnya. Hariang berpikir mungkin saja Naldi mau mendonorkan kelaminnya untuk pengobatan ayahnya. Apalagi uang yang diberikan Kang Ulun sebesar 1,5 Milyar cukup untuk memenuhi kebutuhan biaya operasi sebesar 200 juta. Tapi malang nian perjuangan Hariang. Ketika membonceng Naldi untuk kembali ke Desa Cigendel tepatnya setelah tiba di kawasan Ujungberung, Naldi meminta untuk turun dan mengurungkan niatnya mendonorkan kelaminya. Kelaminnya lebih berharga dari uang bahkan nyawa ayahnya sendiri. Harapan Hariang kandas. Dalam keputusasaan Hariang bergumam, “Kelamin memang berbentuk sepele, tapi dia adalah segala-galanya” (Hal. 99).

Hariang tak jadi pulang ke Desa Cigendel. Dia akhirnya datang ke markas Barudak PAKU untuk tujuan sebenarnya ia ke Bandung, yakni menghadiri diskusi buku. Seperti biasa, ketika Barudak PAKU akan memulai mendiskusikan buku mereka akan ditanya terlebih dahulu apakah sudah melakukan ritual membasuh kaki ayah dan ibu ? Setelah semuanya serempak menjawab barulah diskusi akan dimulai. Pada malam itu yang menjadi moderator adalah Reza dan pengulas bukunya yakni Kang Abok Silet, sesepuh Barudak PAKU selain Kang Uni yang juga pemilik toko buku Mangmeser. Saling sanggah dan dukung argumentasi terjadi malam itu ketika sesi tanya jawab berlangsung. Diskusi diakhiri dengan ucapan dari Kang Uni yang menyitir Joseph Alexandrovitch Brodsky serta kebiasaan Barudak PAKU menyanyikan lagu kebangsaan mereka di akhir kegiatan diskusi, Lingkaran Aku Cinta Padamu karya Iwan Fals (Hal.129-130).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun