Semenjak bocah Hariang sudah tinggal dengan ibunya berdua di rumah mereka di Desa Cigendel yang terhindar dari hiruk-pikuk keramaian perkotaan. Ayahnya meninggal dunia ketika Hariang masih dalam kandungan. Hariang kecil tak pernah tahu dimana makam ayahandanya. Bila bertanya pada ibunya, ibunya pasti tidak pernah menjawabnya. Sampai-sampai Hariang menarik kesimpulan bahwa bangunan yang selalu digembok di depan rumahnya itu adalah makam ayahnya. Ya, makam ayahnya ada di dalam bangunan itu ! Mengapa ? Karena hampir setiap dini hari ibunya selalu masuk ke ruangan itu dan diam-diam Hariang mengikuti ibunya. Dari luar bangunan tersebut Hariang mendengar suara ibunya yang sedang komat-kamit membaca lantunan surat Yaasin, Tahlil dan do’a-do’a hadiah kepada orang yang telah meninggal dunia (Hal. 6).
Dugaan Hariang meleset ketika ia sudah mencapai umur 20 tahun. Akhirnya ibundanya mengajak Hariang yang selalu penasaran dengan bangunan di depan rumahnya itu untuk masuk ke dalam dengan menutup kedua mata Hariang. Setelah membuka penutup mata anaknya tersebut, Hariang terkejut bahwa isi dari bangunan itu bukanlah makam ayahnya, tidak ada makam, tidak ada gundukan tanah, tidak ada ! Ada apa di dalamnya ? Ada buku, ya, ada buku. 11.000 buku ada di bangunan tersebut. Ibu Hariang sengaja tidak memberitahukan keberadaan buku-buku itu agar Hariang penasaran dan terus bertanya. Agar suatu ketika ia mengetahui isi bangunan itu Hariang akan mencintai buku-buku itu. 19 tahun ibu Hariang mengumpulkan buku-buku itu dengan keringatnya sendiri dari hasil menjual singkong dan jagung di ladangnya yang diurus oleh Mang Dayat, paman Hariang. Selama 20 tahun pula peradaban agung itu disembunyikan dari anak semata wayangnya.
Di bagian kedua ibu Hariang menjelaskan pada Hariang mengapa ia tidak menyekolahkan putranya tersebut ke sekolah formal sebagaimana laiknya orang tua lainnya. Begini kata ibu Hariang:
“Tempat yang seharusnya menjadi medan pemanusiaan manusia, telah berubah menjadi ajang bisnis yang menggiurkan, dan memperlakukan manusia seperti binatang. Salah satu fungsi terpenting sekolah atau perguruan tinggi adalah, dia menjadi tempat mencetak manusia yang kurang pandai menjadi pandai, menciptakan manusia yang berpikirnya acak-acakan menjadi sistematis, bahkan mendidik manusia yang tidak berakhlaq menjadi berbudi luhur. Hari ini, apakah ada sekolah atau perguruan tinggi semacam itu ? Sulit sekali ditemukan ! Buktinya, perguruan tinggi, misalnya, mereka hanya menerima calon mahasiswa yang cerdas, punya kemampuan, punya uang, dan memiliki surat keterangan berkelakuan baik. Kalau perguruan tinggi menerima calon mahasiswa yang telah ‘sempurna’ seperti itu, lalu, fungsi mereka apa ? Menjualnya ?” (Hal. 13).
Di Hal. 18 Hariang menceritakan kisahnya tentang salah seorang ustadz di kampungnya yang tidak dapat menjawab apa yang ia tanyakan. Lantas mengatakan padanya untuk hati-hati dalam bicara agar tidak murtad. Orang dan kaum seperti ini sama persis seperti apa yang dikatakan oleh Milan Kundera, “Mereka adalah kaum yang tak dapat menerima kebenaran secara terbuka. Mereka menolak kebenaran sebagai pencarian dan mengharamkan pertanyaan”.
Sosok ibu bagi Hariang sangatlah istimewa. Walaupun hanya lulusan SMA, tapi ibunya bak profesor. Berbicara satu kata, menjadi dua kata, tiga kata, menjadi cakrawala. Dua tahun setelah Hariang mengetahui Pabukon Kadeudeuh yang selama ini disembunyikan ibunya, ia sering berdiskusi dengan ibunya tentang buku-buku yang telah dikhatamkan. Mulai dari buku-buku karya ulama dan pujangga Islam seperti Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Jalaluddin Rumi, Imam An-Nawawi, hingga para pemikir Barat seperti Jean Paul-Sartre, Umberto Eco, Dan Brown, dan tak lupa para cendekia Indonesia seperti Putut Widjanarko, Umar Kayam, Sutardji Calzoum Bachri, W.S Rendra. Apalagi ketika membicarakan buku dari masa ke masa mulai dari keberadaban buku hingga kebiadaban terhadap buku (Hal. 25). Terpenting, Pabukon Kadeudeuh tersebut menjadi perpustakaan bebas kunjung oleh warga Desa Cigendel. Luar biasa. Sebuah pengabdian untuk meningkatkan literasi.
Kegandrungan Hariang membaca yang dibangun oleh ibunya membawa ia membaca sebuah cerpen dari Lan Fang berjudul Jangan Main-main dengan Perempuan yang benar-benar menguliti habis rekayasa sosial yang selama ini menelenjangi kaum perempuan secara lahir maupun batin (Hal 39-40). Kaum perempuan selama ini telah dieksploitasi sedemikian rupa menjadi ‘barang dagangan’ oleh kepentingan tertentu.
Ibu Hariang benar-benar ibu yang teguh memegang prinsip. Ibu yang satu ini sangat mengharapkan anaknya untuk berani menghadapi kedukaan hidup, tidak pantang menyerah, dan berani berkorban. Untuk sebuah buku, Hariang dilarang menerima sumbangan apalagi meminta pada orang lain. Itulah katanya. “Untuk buku kita harus berkorban”, ucap ibu Hariang. Ibunya membuat sebuah puisi untuk Hariang yang sarat makna:
Tuhanku...
Cintai anakku,
Dengan cinta yang tidak buta.