Mohon tunggu...
Oky Nugraha Putra
Oky Nugraha Putra Mohon Tunggu... Freelancer - Universitas Padjadjaran

Alumnus Prodi Sejarah Unpad. Hobi membaca, menulis, olahraga (bersepeda, jogging, sesekali hiking), tertarik pada dunia kesejarahan (sosial-budaya, politik-militer).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Refleksi tentang Sejarawan

10 Juli 2024   14:39 Diperbarui: 10 Juli 2024   14:47 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Career as a Historian - Specialization, Eligibility, Jobs | iDreamCareer

Oleh: Oky Nugraha Putra*

Kronologi saya membuat dan mengetik artikel ini adalah bermula dari sebuah pranala yang dibagi oleh kawan saya, seorang Agen KGB bersandi Free-Do bertiti mangsa Minggu, 1 Juni 2024 alias satu minggu lalu di media sosial WhatsApp (WA). Setelah membaca artikel milik Fatih Abdulbari yang merupakan isi dari pranala tersebut, saya juga jadi mengiyakan juga mempertanyakan peran (S)ejarawan di tengah publik Indonesia saat ini. Ini yang akan menjadi fokus artikel ini.
Abdulbari menulis artikel yang berjudul "Monopoli Sejarah dan Penghinaan Publik" (Monopoli Sejarah dan Penghinaan Nalar Publik (sediksi.com)) sebagai respon terhadap artilkel saudara Alfian Widi Santoso berjudul "Neo Historia, Kejatuhan Sejarah, dan Komodifikasi" (Neo Historia, Kejatuhan Sejarah, dan Komodifikasi (sediksi.com)). Saya akan fokus terhadap artikel Abdulbari saja.

 Ketika di sebuah paragraf Abdulbari mencantumkan kalimat ini: Tapi gini, lho, perkaranya. Sejarah itu domain publik. Tidak ada yang punya monopoli. Siapa pun bisa dan boleh menginterpretasi sejarah. Tak ada batasan karena juga tidak ada yang bisa melarang. Kok rasa-rasanya saya jadi ingat pengalaman pribadi saya ketika diajak ke lapangan oleh seorang ex jurnalis majalah Historia, Hendi Johari alias Hendi Jo. Pria yang sekarang tinggal di Depok ini merupakan sarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta dan bukan seorang lulusan ilmu atawa juga pendidikan sejarah, apalagi menyandang status formal sosial sejarawan!   

Datang ke sebuah tempat eksekusi prajurit Siliwangi pada masa Revolusi Kemerdekaan, Hendi langsung saja nyelonong menanyakan apakah ada orang tua yang masih hidup yang masih ingat peristiwa ditemukan, diambil, dan dieksekusinya Mayor Harun Kabir kepada warga.... Tidak ada dia menyinggung metode sejarah lisan, tidak ada kerangka konseptual yang digunakan, tapi, tulisannya memiliki kerangka waktu yang nampak jelas mengalir, kronologis. Meminjam tagline majalah Tempo, "Enak Dibaca dan Perlu".

 Beberapa karya miliknya, saya baca dan miliki, pernah juga saya resensi di sebuah harian daerah di Jawa Barat. Buku Zaman Perang: Orang Biasa dalam Sejarah Luar Biasa (2016), Orang-orang di Garis Depan (2019), dan buku Demi Republik (2023) tidak ada dalam daftar sumbernya mencantumkan buku-buku babon macam Pengantar, Metode, Metodologi Sejarah, lho. Satu contoh nyata bagaimana memang sejarah merupakan domain publik. 

Otokritik bagi sejarawan Saya malah lebih ingin mengajak kawan-kawan yang belajar secara formal di program studi sejarah untuk melakukan refleksi, berkaca pada keadaan diri sendiri alih-alih seperti yang dituliskan saudara Alfian di artikelnya tersebut. Kalau diadakan survei khayali kuantitatif formal (atau pembuatan konten audio-visual, mungkin?), coba diajukan di kuesionernya itu pertanyaan ini: 1. Sudahkah kalian membaca Pengantar Ilmu Sejarah karya R. Mohammad Ali?   2. Pernahkah membaca karya-karya sastra Kuntowijoyo di samping karya-karya sejarahnya? 3. Pernahkah kalian membaca, menyelesaikan, dan meresensi buku F.R. Ankersmith, "Refleksi tentang Sejarah"? 

Ini mungkin yang dimaksud Abdulbari dalam paragraf berikut:

"Halah, wong mahasiswa sejarah jaman sekarang saja belum tentu merasa butuh belajar materi itu secara mendalam. Lha, kok, publik, yang kepentingannya berbeda, jadi dipaksa belajar untuk memahami omongan sejarawan?"

Bagi saya, kemunculan Neo Historia (NH) merupakan "tamparan" bagi kita yang belajar di program studi sejarah agar bisa lebih aktif merespon permasalahan yang nyata di publik. Seturut dengan Abdulbari, saya hanya sesekali saja melihat konten milik NH di media sosial Instagram.   Saya mungkin bisa sedikit paham karena pernah bekerja sebagai kreator konten artikel di salah satu media pemberitaan daring bagaimana konten yang dibuat kudu "menarik" dan "pembaca" (Pembaca di sini saya beri tanda kutip. Alih-alih membaca teks berita secara utuh, mereka terkadang membaca judulnya saja!) dibuat betah membaca konten kita. 

Inilah yang menjadi tantangan bagi kita yang belajar di ruang formal ilmu sejarah. Menyampaikan sesuatu yang njelimet, namun bisa dipahami oleh orang kebanyakan.   Dalam sebuah kuliah bersama Fadly Rahman, sejarawan kuliner penulis trilogi buku tentang makanan Indonesia; Rijstaffel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942 (2016), Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016), dan Rasa Tanah Air: Awal Perkembangan Kuliner Indonesia di Mancanegara (2023) di tahun 2014, masih lekat dalam ingatan saya doi berujar, "Serumit apapun bacaan yang kalian konsumsi, ketika dituliskan, buatlah serenyah mungkin seperti renyahnya kerupuk". Paham, tho? 

Ini juga saya kira yang dimaksud Abdulbari dalam paragraf berikut: Tidak semua orang punya kesempatan untuk memahami, dan memang tidak semua juga harus memahami. Justru salah satu tugas dan etika sejarawan untuk mengomunikasikannya kepada publik dengan media dan bahasa yang mudah dipahami. Selain kudu terus mengonsumsi terus bahan bacaan (mau tidak mau), kegiatan lain seperti; merenung, berdiskusi, berdebat dengan sejawat, berlatih menulis di luar kewajiban akademik, dan mengikuti terus perkembangan di luar tembok-tembok akademik merupakan hal krusial yang kudu di-istiqamahi. 

Sayangnya, kegiatan-kegiatan tersebut saya pikir dan rasa semakin menurun intensitasnya. Gak tahu juga, enggak ada survei dari lembaga kredibel tentang hal tersebut. Berapa banyak juga sekarang pemilik kanal YouTube -bukan sejarawan- yang mem-branding "tokonya" tersebut sebagai media pembelajaran sejarah? Saya pernah nonton satu konten dari Guru Gembul tentang gerakan DI/TII yang menjadi calon kajian saya juga, doi menggunakan sumber sekunder krebibel sebagai bahan untuk pembuatan konten. See? Di akhir paragraf ini saya ingin menekankan bahwa semua orang yang belajar dan menekuni sejarah di ranah akademik memiliki tantangan tersendiri sekarang dalam mengomunikasikan hasil "semedinya". Di kelas, di kafe, di warkop, di sisi jalan, di manapun itu, sejarawan harus bisa berbicara. Rendah hati, ya, ahlul syajarah~ 

*Lagi Es.2 di Departemen Sejarah FIB UGM

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun