Â
CIANJUR, SENIN 21 NOVEMBER 2022
Siang itu sekitar pukul 13.21 WIB saat semua orang sedang melakoni aktivitasnya masing-masing seperti biasa, tetiba tanah berguncang dengan begitu dahsyatnya. Saya sendiri saat itu sedang berada di rumah membantu mengobati adik saya yang kebetulan sedang mengalami penyakit gatal-gatal yang biasa kami sebut kaligata. Spontan, kita semua yang berada di dalam rumah lari berhamburan ke luar.
Saya sendiri menghitung secara kasar bahwa goncangan gempa bumi yang menurut analisa Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bermagnitudo 5,6 itu terjadi selama 10-15 detik. Cukup lama untuk durasi gempa bumi.
Awalnya saya mengira tidak terjadi apa-apa dan menyangka bahwa pusat gempa bumi mungkin tidak di Cianjur. Namun, perkiraan saya meleset jauh.
Ba'da Ashar saya sengaja berkeliling di seputaran kota Cianjur dan menemukan secara kasat mata bahwa banyak penduduk di daerah kota masih berdiam diri di luar rumah.
Ada yang di sisi jalan protokol, ada yang di depan teras rumahnya, bahkan ada sebuah kavling perumahan yang sengaja menutup akses jalannya agar jalan di depannya bisa digunakan oleh warga sekitar untuk ngampar tikar atau karpet. Penyebabnya tak lain adalah gempa susulan yang terus-menerus terjadi.
Sebelum berkeliling itu sekitar pukul 14.00 WIB di grup media sosial WhatsApp berisi senior saya ketika di duduk di bangku SMA beredar video yang memperlihatkan pengendara ojek daring terluka akibat terkena reruntuhan maupun jatuh saat berkendara. Bisa dibayangkan bukan bagaimana hebatnya getaran gempa bumi tersebut?
Setelah sampai di rumah kembali dan menyetel pesawat televisi untuk melihat berita di kanal nasional Kompas TV, saya melihat bahwa korban meninggal dunia ternyata sudah berjatuhan. Sudah ada lebih dari 30 orang yang meninggal dunia.
Siaran berita tersebut sendiri memperlihatkan keadaan secara audio-visual di pelataran parkiran Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sayang yang menurut saya pribadi dalam keadaan chaos karena pasien di dalam ruangan harus dikeluarkan sementara waktu. Saat berbarengan datang korban gempa bumi dari berbagai wilayah di Cianjur.
"Waduh, ieu mah atuh ripuh euy," ujar saya dalam hati ketika itu. Karena pada saat itu bertepatan dengan pembukaan pertandingan kompetisi Piala Dunia Qatar 2022 antara tuan rumah versus Ekuador, saya memutuskan untuk tidak tidur alias begadang di malam pertama pascagempa yang diberitakan memiliki kekuatan 5,6 magnitudo.
SELASA 22 NOVEMBER 2022
Pagi hari ba'da Shubuh, saya kembali menyalakan pesawat televisi dan kembali menonton kanal Kompas TV. Tak ayal, saya pun kaget ketika melihat laporan berita bahwa jumlah korban meninggal dunia sudah berjumlah lebih dari 130 orang. "Wah, ieu mah badag atuh euy," ucap kami dalam hati lagi.
Grup medsos WA mulai bertalu-talu saling memberi kabar mulai dari yang menanyakan hingga memberikan informasi kondisi terkini keluarganya masing-masing. "Alhamdulillah Mang, kami mah salamet jagjag waringkas," kata saya membalas pesan WA salah satu kawan.
Salah satu senior saya yang mukim dan bekerja di ibu kota mulai mengontak untuk menanyakan kondisi terkini keadaan di Cianjur. Rencananya, beliau akan segera turun ke lapangan beberapa hari lagi untuk menyalurkan donasi yang sebelumnya sudah diterima dari berbagai jejaring sosial maupun kerja yang dimilikinya. Tujuannya jelas, saat pertama menyalurkan bantuan adalah menuju Desa Nagrak, Kecamatan Cianjur.
Bisa dikatakan minggu pertama dari tanggal 21-27 November 2022 pascagempa bumi keadaan Cianjur mencekam. Selain penduduk yang terkena dampak parah dilanda panik karena rumah yang hancur dan bantuan sosial tidak kunjung datang, gempa susulan terus-menerus terjadi.
Gempa susulan itu terjadi tidak mengenal waktu. Bisa pagi, siang, sore, bahkan malam. Jangankan untuk tidur nyenyak, urusan buang hajat ke toilet pun penduduk yang terkena dampak parah ketakutan.
"Aing mah ka WC ge make helm, Kiw, sieun katinggang," tutur salah satu sahabat saya. Rumahnya sendiri terletak di Kampung Mangun, Desa Mangunkerta, Kecamatan Cugenang. Di kecamatan tersebut memang ada beberapa desa yang terdampak parah mulai dari Gasol, Sarampad, Sukamulya, Wangunjaya, Padaluyu, Cijedil hingga Cirumput.
CIANJUR, 23-30 NOVEMBER 2022
Hari keempat tepatnya pada Kamis, 24 November setelah menyerahkan donasi pertama ke kantor Desa Nagrak, rencananya senior kami dari Yayasan Historika Indonesia ingin pula melihat kondisi di Kampung Rawacina desa tersebut.
Namun, apa lacur, jalanan menuju lokasi bersangkutan padat merayap. Tentunya didominasi mobil tim penyelamat maupun kendaraan taktis militer yang coba untuk segera membantu penduduk terdampak. Akhirnya, kita balik kanan, tidak dapat melanjutkan perjalanan.
Salah satu kakak tingkat saya ketika menempuh pendidikan di program studi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran menjadi salah satu penduduk Cianjur terdampak. Rumahnya sendiri berlokasi di Desa Mekarsari, Kecamatan Cianjur terkenal dengan penyebutan nama daerah Panembong.
Koleksi buku pribadinya yang juga dijadikan perpusatakaan untuk orang-orang mencari berbagai macam referensi terutama sejarah dan ilmu-ilmu sosial-budaya, ikut menjadi "korban" goncangan gempa bumi. Namun syukurnya, kerusakan tersebut tidak ikut menimpa koleksi buku klasiknya.
Di tempat itulah, selama hampir dua minggu saya dan kawan-kawan lainnya bahu-membahu dan bergotong-royong membantu menyalurkan donasi bagi penduduk yang terdampak. Dari ringan hingga parah. Lewat penyederhanaan sistem pengambilan bantuan sosial dengan tidak perlu melewati berbagai macam prosedur yang membikin kepala njelimet, penduduk terdampak bisa mengambil apa yang dibutuhkan setelah terlebih dahulu membuat daftar barang barang kebutuhan.
Barang itu sendiri ada yang tersedia, ada yang tidak. Bahkan, di beberapa kesempatan, saya sendiri cukup terhenyak ketika ada individu penduduk terdampak yang bertanya kurang lebih seperti ini, "Kang, ieu teh kedah nyandak serat nu aya cap ti RT atanapi heunteu?" katanya.
Hal tersebut mungkin bisa dipahami bahwa terlalu formal dan kakunya sistem pengambilan bantuan sosial di posko utama "pelat merah". Wajar, mungkin untuk meminimalisir ketidaksesuaian permintaan dengan kondisi di lapangan (?)
Namun, menurut hemat kami, di saat kondisi seperti tersebut, bukankah cara-cara struktural yang kaku itu bisa dipadukan dengan cara-cara kultural? Bukankah kesetia kawanan sosial yang sering disebut gotong-royong itu warisan dari leluhur kita?
Lupakan hal tersebut. Kami akan kembali menceritakan proses penyaluran donasi yang dilakukan teman-teman. Suatu ketika saya mengantar kawan-kawan dari Bandung yang terdiri dari mahasiswa ITB dan Unpad.
Saat itu kita menuju titik lokasi yang ditentukan, yaitu Desa Cirumput, Cugenang. Saya mengingatkan bahwa rombongan sudah harus berangkat sebelum pukul 07.00 WIB pagi untuk mengantisipasi kemacetan.
Saat itu hari menunjukkan Jum'at. Menuju akhir pekan seperti yang sudah disebutkan tadi bahwasanya menuju lokasi terdampak hampir pasti akan macet. Rombongan sendiri didampingi kawan saya yang dari Desa Mangunkerta, Cugenang menuju lokasi karena khawatir terjadi pencegatan.
Terkait pencegatan itu sendiri hal tersebut terjadi di beberapa titik. Bahkan menurut salah satu kawan saya yang menjadi sukarelawan juga, pencegatan bahkan ada yang menggunakan sajam berupa bedog. Sedikit ditelisik hal tersebut kita bisa mengerti karena mungkin ada semacam kondisi psikologis berupa kepanikan karena daerahnya belum juga mendapatkan bantuan sosial.
Di sisi lain, memang ada juga beberapa oknum yang memancing di air keruh. Nah, orang seperti itulah yang goblog. Lebih parah lagi, mungkin karena negeri kita ini memang bekas negara jajahan, mental inlander memang masih menggelayut. Contoh kecilnya adalah mental ingin diberi, padahal, dia atau lingkungan sekitarnya tidak terlalu terdampak bahkan tidak ada kerusakan sama sekali.
"Lieur jelema teh. Cik atuh ari bisa keneh molor di jero imah mah tong sok loba ile. Batur mah imahna runtuh,"Â gumam kami.
Oh iya, saya sendiri dengan kesadaran penuh terjun menjadi sukarelawan karena mengetahui medan yang terdampak parah oleh gempa bumi itu.
Karena saya sering bersepeda ke daerah Nagrak, Rancagoong, Padaluyu, Mangunkerta, dlsb. Kalau rekan bersepeda di pagi hari dengan mengambil jalur dari arah Nagrak ke atas menuju desa Talaga, Cugenang dengan orientasi arah utara, kawan semua akan melihat betapa indahnya pemandangan dua buah gunung yakni Gede-Pangrango yang bermandikan sinar matahari.
Belum lagi udara sejuk pegunungan yang membersamai kita ketika mengayuh sepeda melewati area pesawahan, perkebunan, hingga rumah warga yang berjejer sepanjang jalan di kanan-kiri. Ah, betapa indahnya wilayah ini yang terkenal dengan panganannya berupa tauco, bubur ayam, roti TKT, hingga geco.
Kembali lagi ke rombongan mahasiswa ITB dan Unpad yang menyalurkan donasi ke Desa Cirumput. Sesampainya di kantor pemerintahan tersebut, ternyata bangunan itu pun terdampak cukup parah. Rombongan tiba di sana sekitar pukul 08.30 WIB.
Di sana terdapat tenda posko dari BPBD Kabupaten Bogor juga relawan dari UGM. Kita tidak berlama-lama di sana karena harus melanjutkan perjalanan kembali setelah menyerahkan bantuan secara simbolik dan diterima kepala desa bersangkutan.
Kawan saya yang merupakan kepala rombongan mahasiswa tersebut menyampaikan beberapa hari setelah pulang dari Cianjur. "Mang, barudak ripuheun dibawa ka nu kamari teh," katanya demikian.
Wajar saja, bagi yang belum mengenal wilayah utara Cianjur yang memang didominasi oleh perbukitan dengan akses jalan yang "awikwok" akan merasa "tersiksa".
Saya pribadi pernah melakukan survei lapangan di daerah Cugenang tepat di bawah kaki Gunung Gede. Akses jalannya membuat saya menjadi orang yang lebih religius ketika di lapangan karena seringnya menyebut kalimat istighfar! Apalagi beberapa kampung yang menuju kawasan Curug Batu Lempar di Desa Sukamulya, Cugenang seperti Barukaso, Pasir Gombong menjadi salah satu wilayah terdampak parah gempa bumi.
Saya hampir lupa. Kampung Buniaga, Desa Ciherang, Pacet menjadi salah satu wilayah yang kurang terakses bantuan dikarenakan mungkin daerahnya yang agak tersembunyi, nyumput. Padahal, di sana tingkat kerusakan cukup parah sehingga ketika saya menemani rombongan donatur dari Depok bersama salah satu kawan SMA, kita menyaksikan sendiri hancurnya wilayah itu.
"Ieu teh nuju ngadamel sababaraha tenda peleton hasil sumbangan ti para donatur," ujar kakak tingkat saya yang dari Panembong di atas.
Memang, kampung tersebut merupakan kampung halaman dari istrinya. Lebih jauh ketika kejadian gempa utama bermagnitudo 5,6 terjadi dia menyebutkan, "Di Nanggueuk mah sorana teh siga bom ngabeledug di jero taneuh, Ky. Katambah karasa pisan getaran sareng ku reruntuhan bangunan ge tos keueung pisan keur para warga mah."
CIANJUR, 1-21 DESEMBER 2022Â
Ketika mengantar kembali senior saya dari Yayasan Historika Indonesia untuk menyalurkan bantuan ke beberapa titik setelah sebelumya terlebih dahulu melakukan survei pendahuluan, mobil kami dicegat. Alasannya, "Kami tidak pernah dapat bantuan ini, pak," ujar dua orang ibu yang mencegat mobil kita.
Kita bukannya tidak ingin memberikan bantuan kepada mereka. Sebab apa? Kami sudah melakukan survei lapangan terlebih dahulu untuk memastikan agar bantuan yang diberikan tepat sasaran dan tepat guna. Bukankah dalam kategorisasi bencana BNPB sendiri kerusakan ada yang disebut ringan, sedang, hingga parah? Akhirnya mobil dapat melewati "barikade" dua orang ibu tersebut.
Di sisi lain, saya pun merasa kasihan melihat kondisi perangkat pemerintahan di tingkat RT (Rukun Tetangga). Sepertinya mereka ini tidak bisa tidur nyenyak karena terus "diteror" oleh penduduknya. Mulai dari soal bantuan sosial hingga pencairan dana bantuan rumah terdampak gempa bumi.
Bahkan, di salah satu desa tempat saya mengantar rombongan donatur dari salah satu pesantren di Depok, Pak RT tempat tersebut yang juga kebetulan teman SMP-nya sahabat saya terlihat dalam kondisi letih. Beberapa hari sebelumnya dia juga mengabarkan kepada saya bahwa sedang sakit.
Di Desa Cirumput, Pak RT salah satu kampung di sana mengirimkan voice note kepada saya dengan kondisi nafas yang tersengal-sengal sekitar pukul 03.00 WIB pagi. Saya sempat kaget ketika mendengar suara Pak RT seperti itu karena malam sebelumnya dia mengaku dalam kondisi yang baik-baik saja.
Membuat saya heran adalah kelakuan para donatur yang tidak tahu tempat dan waktu untuk mengambil foto dengan tujuan dipajang di media sosial masing-masing, mungkin (?). Satu kasus, ketika saya mengantar rombongan donatur dari Jakarta ke Desa Cibulakan, Cugenang, pulangnya kita melihat pemandangan kurang mengenakan.
Kondisi jalan yang sedang padat menuju macet itu ditambah dengan kelakuan rombongan ibu-ibu dengan kaca mata hitam dengan santainya melakukan selfie di sisi jalan di depan tenda pengungsian! Ditambah mereka memarkirkan mobil rombongan dengan menutupi sebagian bahu jalan.
"Ini ibu-ibu apaan sih kelakuannya," ujar donatur yang saya antar dengan nada kesal.
Ya, di samping itu semua, daerah bencana memang selalu menjadi daya tarik tersendiri. Baik bagi mereka yang memang benar-benar membantu tanpa pamrih hingga para influencer, politisi, hingga relawan tokoh masyarakat yang digadang-bakal menjadi calon presiden.
Sementara itu di salah satu tenda pengungsian, salah seorang warga bergumam, "Cik atuh euy mere bantuan baju teh entong jang awewe hungkul, lalaki ge da butuh jang dibaju jeung ganti jeroan atuh!". Tabik.
***
Disclaimer: Tulisan ini saya buat untuk memelihara ingatan pribadi terkait gempa bumi Cianjur Senin, 21 November 2022. Mohon maaf atas segala kekurangannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H