Terkait pencegatan itu sendiri hal tersebut terjadi di beberapa titik. Bahkan menurut salah satu kawan saya yang menjadi sukarelawan juga, pencegatan bahkan ada yang menggunakan sajam berupa bedog. Sedikit ditelisik hal tersebut kita bisa mengerti karena mungkin ada semacam kondisi psikologis berupa kepanikan karena daerahnya belum juga mendapatkan bantuan sosial.
Di sisi lain, memang ada juga beberapa oknum yang memancing di air keruh. Nah, orang seperti itulah yang goblog. Lebih parah lagi, mungkin karena negeri kita ini memang bekas negara jajahan, mental inlander memang masih menggelayut. Contoh kecilnya adalah mental ingin diberi, padahal, dia atau lingkungan sekitarnya tidak terlalu terdampak bahkan tidak ada kerusakan sama sekali.
"Lieur jelema teh. Cik atuh ari bisa keneh molor di jero imah mah tong sok loba ile. Batur mah imahna runtuh,"Â gumam kami.
Oh iya, saya sendiri dengan kesadaran penuh terjun menjadi sukarelawan karena mengetahui medan yang terdampak parah oleh gempa bumi itu.
Karena saya sering bersepeda ke daerah Nagrak, Rancagoong, Padaluyu, Mangunkerta, dlsb. Kalau rekan bersepeda di pagi hari dengan mengambil jalur dari arah Nagrak ke atas menuju desa Talaga, Cugenang dengan orientasi arah utara, kawan semua akan melihat betapa indahnya pemandangan dua buah gunung yakni Gede-Pangrango yang bermandikan sinar matahari.
Belum lagi udara sejuk pegunungan yang membersamai kita ketika mengayuh sepeda melewati area pesawahan, perkebunan, hingga rumah warga yang berjejer sepanjang jalan di kanan-kiri. Ah, betapa indahnya wilayah ini yang terkenal dengan panganannya berupa tauco, bubur ayam, roti TKT, hingga geco.
Kembali lagi ke rombongan mahasiswa ITB dan Unpad yang menyalurkan donasi ke Desa Cirumput. Sesampainya di kantor pemerintahan tersebut, ternyata bangunan itu pun terdampak cukup parah. Rombongan tiba di sana sekitar pukul 08.30 WIB.
Di sana terdapat tenda posko dari BPBD Kabupaten Bogor juga relawan dari UGM. Kita tidak berlama-lama di sana karena harus melanjutkan perjalanan kembali setelah menyerahkan bantuan secara simbolik dan diterima kepala desa bersangkutan.
Kawan saya yang merupakan kepala rombongan mahasiswa tersebut menyampaikan beberapa hari setelah pulang dari Cianjur. "Mang, barudak ripuheun dibawa ka nu kamari teh," katanya demikian.
Wajar saja, bagi yang belum mengenal wilayah utara Cianjur yang memang didominasi oleh perbukitan dengan akses jalan yang "awikwok" akan merasa "tersiksa".
Saya pribadi pernah melakukan survei lapangan di daerah Cugenang tepat di bawah kaki Gunung Gede. Akses jalannya membuat saya menjadi orang yang lebih religius ketika di lapangan karena seringnya menyebut kalimat istighfar! Apalagi beberapa kampung yang menuju kawasan Curug Batu Lempar di Desa Sukamulya, Cugenang seperti Barukaso, Pasir Gombong menjadi salah satu wilayah terdampak parah gempa bumi.