Hari keempat tepatnya pada Kamis, 24 November setelah menyerahkan donasi pertama ke kantor Desa Nagrak, rencananya senior kami dari Yayasan Historika Indonesia ingin pula melihat kondisi di Kampung Rawacina desa tersebut.
Namun, apa lacur, jalanan menuju lokasi bersangkutan padat merayap. Tentunya didominasi mobil tim penyelamat maupun kendaraan taktis militer yang coba untuk segera membantu penduduk terdampak. Akhirnya, kita balik kanan, tidak dapat melanjutkan perjalanan.
Salah satu kakak tingkat saya ketika menempuh pendidikan di program studi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran menjadi salah satu penduduk Cianjur terdampak. Rumahnya sendiri berlokasi di Desa Mekarsari, Kecamatan Cianjur terkenal dengan penyebutan nama daerah Panembong.
Koleksi buku pribadinya yang juga dijadikan perpusatakaan untuk orang-orang mencari berbagai macam referensi terutama sejarah dan ilmu-ilmu sosial-budaya, ikut menjadi "korban" goncangan gempa bumi. Namun syukurnya, kerusakan tersebut tidak ikut menimpa koleksi buku klasiknya.
Di tempat itulah, selama hampir dua minggu saya dan kawan-kawan lainnya bahu-membahu dan bergotong-royong membantu menyalurkan donasi bagi penduduk yang terdampak. Dari ringan hingga parah. Lewat penyederhanaan sistem pengambilan bantuan sosial dengan tidak perlu melewati berbagai macam prosedur yang membikin kepala njelimet, penduduk terdampak bisa mengambil apa yang dibutuhkan setelah terlebih dahulu membuat daftar barang barang kebutuhan.
Barang itu sendiri ada yang tersedia, ada yang tidak. Bahkan, di beberapa kesempatan, saya sendiri cukup terhenyak ketika ada individu penduduk terdampak yang bertanya kurang lebih seperti ini, "Kang, ieu teh kedah nyandak serat nu aya cap ti RT atanapi heunteu?" katanya.
Hal tersebut mungkin bisa dipahami bahwa terlalu formal dan kakunya sistem pengambilan bantuan sosial di posko utama "pelat merah". Wajar, mungkin untuk meminimalisir ketidaksesuaian permintaan dengan kondisi di lapangan (?)
Namun, menurut hemat kami, di saat kondisi seperti tersebut, bukankah cara-cara struktural yang kaku itu bisa dipadukan dengan cara-cara kultural? Bukankah kesetia kawanan sosial yang sering disebut gotong-royong itu warisan dari leluhur kita?
Lupakan hal tersebut. Kami akan kembali menceritakan proses penyaluran donasi yang dilakukan teman-teman. Suatu ketika saya mengantar kawan-kawan dari Bandung yang terdiri dari mahasiswa ITB dan Unpad.
Saat itu kita menuju titik lokasi yang ditentukan, yaitu Desa Cirumput, Cugenang. Saya mengingatkan bahwa rombongan sudah harus berangkat sebelum pukul 07.00 WIB pagi untuk mengantisipasi kemacetan.
Saat itu hari menunjukkan Jum'at. Menuju akhir pekan seperti yang sudah disebutkan tadi bahwasanya menuju lokasi terdampak hampir pasti akan macet. Rombongan sendiri didampingi kawan saya yang dari Desa Mangunkerta, Cugenang menuju lokasi karena khawatir terjadi pencegatan.