Mohon tunggu...
Oky Tri Handoko
Oky Tri Handoko Mohon Tunggu... Pegawai Swasta -

Saya adalah seorang yang mempunyai hobi menulis, dengan tema apapun dimana inspirasi saya terletak, Saya juga bekerja sebagai seorang content writer. Buat saya, menulis bukan hanya sekedar hobi, tapi passion yang harus diwujudkan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tangis Ahok, Tangis Buaya (Katanya)

14 Desember 2016   15:21 Diperbarui: 14 Desember 2016   16:25 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjalanan perkembangan kasus dugaan penistaan agama oleh gubernur Jakarta, Basuki Tjahja Purnama (Ahok) menemui babak baru. Persidangan sudah kembali digelar dengan menghadirkan Ahok sendiri di persidangan. Dipersidangan, Ahok membacakan nota pembelaaan yang menyatakan rasa keberatannya atas tuduhan 'penista agama' yang disematkan pada dirinya. Ia menunjukkan identitas dirinya dengan gamblang, segamblang identitas trigonometri, mulai dari cerita mengenai keluarga angkatnya hingga usahanya memajukan umat muslim Jakarta. 

Ahok mengatakan bahwa adalah sebuah rasa tidak tahu terima kasih ketika ia bertujuan untuk menistakan agama Islam, agama yang dianut keluargaangkatnya dengan taat. Ia mengaku bahwa di keluarga itulah ia belajar mengenai dasar-dasar keislaman yang baik. Ia juga mengungkapkan usaha untuk memajukan umat muslim Jakarta dengan mendirikan masjid di Jakarta, memberangkatkan marbot, muadzin, dan kuncen untuk umroh ke Tanah Suci Mekkah. Semua itu diungkapkannya demi menguatkan dasarnya bahwa ia tidak pernah menistakan agama.

Yang cukup mengherankan (yang membuat netizen berdebat) adalah sebuah peristiwa Ahok menangis ketika membacakan nota pembelaan. Ikatan yang kuat dengan keluarga angkatnya yang sekuat ikatan kovalen membuat perasaan Ahok tersentuh tak karuan. Tangisan inipun ditanggapi beragam oleh netizen maupun kalangan politisi, seperti seorang Fahri Hamzah yang kaget bahwa orang seperti Ahok bisa menangis. Entah, bermaksud mencibir atau bermaksud menyatakan perasaannya yang salah. 

Dunia internetpun tak kalah riuh. Mereka yang mendukung Ahok mengatakan bahwa tangisan itu menunjukkan bahwa Ahok tak hanya orang yang keras dalam perilaku, melainkan seorang yang halus dalam perasaan. Ia menangis ketika membicarakan orang tuanya. Inilah kesetimbangan diri yang ditunjukkan ahok. 

Lain pendukung, lain lagi pihak yang kontra. Mereka yang menginginkan Ahok di penjara menganggap bahwa air mata Ahok hanyalah air matabuaya yang dibuat-buat ala sinetron. Oleh karena itu, muncullah hashtag #janganmaudibohongipakaiairmata. Hal ini juga memicu para haters Ahok untuk menyandingkan tangisan dirinya di pengadilan dengan tangisan rakyat Jakarta yang digusur oleh karena kebijakannya, walaupun sebenarnyaperbandingannya tidaklah apple to apple ,seperi jajar genjang saja. 

Menanggapi fenomena ini, saya pikir bahwa tangisan ahok hanyalah tangisan yang normal karena konteksnya adalah Ahok sedang membicarakan ibu angkatnya yang telah tiada. Semua orang berhak untuk menangis, bahkan seorang preman yang bengis sekalipun akan menangis kalau membicarakan soal ibunya. Ahok adalah seorang birokrat yang tak tahu soal invers matriks, tapi dia paham betul bagaimana menempatkan perasaannya terhadap keluarga seperti anda, pembaca menempatkan hati pada keluarga.

Menyoal konteks, saya pikir siapaun (haters siapapun) harus pahami sebuah perasaan dengan konteksnya. Anda tidak bisa menuduh orang korupsi hanya karena ia pergi ke tempat usaha spa rumahan. Anda juga tidak bisa berasumsi bahwa seseorang akan menikah jika dia pergi ke wedding organizer,barangkali saja ia hanya tanya alamat seperti lagu dangdut.

Permainan konteks ini harus dipahami oleh haters manapun supaya jangan salah paham lagi, seperti mereka yang dulu salah paham terhadap equil. Wong air mineral kok dibilang minuman keras. Jadi semua hal, baik tulisan maupun gambar itu punya konteks supaya orang tidak salah paham, seperti mereka menanggapi tulisan konfirmasi sari roti. Sedih rasanya melihat orang yang menuduh tanpa melihat konteks, ibarat ia ingin memilih wedding organizer terbaik tanpa memahami ciri-cirinya. Akhirnya intuisi saja yang berjalan. Tak apa salah, yang penting ngebacot di sosial media.

Semua ini karena tangisan Ahok. Semua orang sudah terlanjur cinta Ahok secara tidak langsung sampai-sampai semua hal jadi sorotan. Saya takut ketika nanti Ahok kentut, kentut itu juga akan booming di sosial media. Itulah bahaya berpikir tanpa konteks. Alhasil, air mata Ahok jadi Air mata buaya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun