Indonesia sudah genap berumur 71 tahun sebagai sebuah bangsa yang merdeka, namun apakah Indonesia memang sudah merdeka? Dari pandangan yang luas, memang Indonesia sudah merdeka. Sudah tidak ada lagi pengekangan dan penindasan yang dialami bangsa Indonesia. Sayangnya, di beberapa aspek, Indonesia memang masih 'terjajah', salah satunya perihal membentuk generasi muda yang cerdas dan bervisi untuk memajukan bangsa.
Bangsa Indonesia secara umum dan pemerintah secara khusus nyatanya belum mampu menerapkan pemerataan edukasi yang merata terhadap generasi muda. Tentu ada generasi muda yang mampu mengharumkan nama Indonesia di kancah Internasional, sebut saja Fatin, penyanyi muda Indonesia, yang mendapatkan penghargaan Internasional. Namun, tak sedikit generasi muda yang justru hidup dengan penyimpangan moral karena tidak mumpuninya pendidikan yang mereka terima. Kalau sudah begini, salah siapa?
Masyarakat tentunya tidak melulu menyalahkan pemerintah dalam deretan kasus kriminalitas yang dilakukan oleh generasi muda Indonesia. Masyarakat tentunya memiliki andil besar dalam terjadinya kasus-kasus kriminalitas seperti perkosaan maupun pencurian yang dilakukan oleh para anak-anak muda ini. Dibebani dengan serangkaian norma masyarakat yang rumit, tentunya mereka akan merasa bebas ketika pengawasan tidak lagi dilakukan. Lalu, apakah anak-anak ini akan menjadi generasi emas Indonesia nantinya?
Tentu bisa! Membentuk generasi muda, pada dasarnya, tidaklah serumit mengerjakan contoh soal matematika yang membutuhkan rumus yang belibet, Membentuk generasi muda bisa dilakukan dengan beberapa tahap yang harus dilakukan dengan serius dan dengan presisi yang tepat:
1. Sistem Pendidikan Yang Tepat dan Tetap
Ya, masyarakat dan pemerintah bisa bersinergi untuk membentuk sistem pendidikan yang tepat bagi generasi muda. Tetap disini adalah tidak selalu bergantung pada rezim pemerintahan dan berganti-ganti tergantung siapa menterinya. Inilah yang menjadi polemik yang dihadapi generasi muda sekarang di sekolah. Sistem yang tidak tetap secara tidak langsung membuat generasi muda malas untuk pergi ke sekolah. Ya, mungkin hanya segelintir siswa yang masih bersemangat tinggi.
Bayangkan bagaimana seorang anak bisa belajar aljabar dengan tepat guna ketika kurikulum terus berganti, sementara tiap kurikulum mungkin bobot aljabar tidaklah sama. Bandingkan dengan negara lain seperti Cina, Amerika Serikat, maupun Jepang yang sudah memiliki sistem pendidikan yang tepat dan tetap. Siapapun menteri pendidikannya, sistem tetap sama, mungkin hanya beberapa hal yang ditambahkan ataupun dikurangi. Sistem pendidikan yang tepat dan tetap tentunya akan beranding lurus dengan semangat siswa.
2. Kualitas Pengajar
Membicarakan sistem pendidikan mungkin kurang afdol jika tidak membicarakan kualitas pengajar. Kualitas disini tidak hanya menyoroti soal kemampuan si guru untuk mengajar, tapi kemampuan si guru untuk membaca minat siswa/siswi yang diajar. Kualitas disini juga membahas mengenai kemampuan giri untuk mengembangkan gaya mengajar dengan minat siswa dan perkembangan zaman yang ada.
Pengalaman saya bekerja dengan guru di satu sekolah negeri mendapati bahwa masih banyak guru yang masih menggunakan cara mengajar lama yang mungkin tidak pas untuk minat siswa saat ini. Siswa/siswi saat ini mendambakan sebuah pengajaran yang berbasiskan internet dan gadget. Hal ini tentu akan lebih diapresiasi oleh siswa, ketimbang hanya melihat tulisan di buku dan mendengarkan suara guru mengajar. Ini jelas membosankan untuk anak. Untuk itu, Indonesia membutuhkan pengajar yang juga melek teknologi, minimal melek komputer.
3. Lingkungan Keluarga yang Kondusif
Pada poin satu ini, masyarakat dan pemerintah tentu bisa bersinergi untuk membentuk lingkungan keluarga yang kondusif. Pemerintah, melalui KPAI ataupun instansi terkait, bisa memberikan banyak seminar mengenai metode pengasuhan anak kepada para orang tua, ketimbang sibuk untuk memblokir game-game online. Banyak orang tua yang jelas-jelas tidak tahu cara mendidik anak dengan sehat dan benar.
Ketika sebuah lingkungan keluarga kondusif bagi anak-anak, semangat untuk belajar dan menempa diri tentu semakin tinggi dalam diri anak. Kondusif bisa diartikan sebagai banyaknya dukungan dan pengawasan yang dilakukan secara seimbang. Ketika anak memiliki minat akan sesuatu, lebih baik orang tua memberikan dukungan, selama hal itu positif untuk perkembangan anak. Ketika sudah diijinkan, orang tua bisa memberikan dukungan sekaligus memberikan pengawasan terhadap implementasinya. Sistem persamaan visi dan misi antara anak dan orang tua tentunya akan memberikan prestasi pada anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H