Mohon tunggu...
Oktovianus Son
Oktovianus Son Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Dalam kesunyian malam, aku adalah pelabuhan kecil yang merindukan ombak cerita hatimu. Biarkan aku menjadi telinga yang setia, menampung setiap pasang surut emosimu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Membunuh

27 Januari 2025   14:10 Diperbarui: 27 Januari 2025   14:10 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua orang sahabatku berdiri dekat jendela kamarku. Mereka membicarakan seseorang. Mereka menertawakan orang yang sedang mereka bicarakan. Mereka juga menyebut nama orang itu dengan sebutan anjing. Suara mereka terus menggonggong di dekat jendela kamaku. Aku mengabaikan mereka. Kedua sahabatku itu orang hebat. Tak mungkin, aku yang tak hebat ini mengganggu mereka. Aku tak berani untuk hal itu. Tak mau digigit oleh mereka kedua sahabatku itu.

Beberapa saat kemudia aku mendengar teriakan dari salah satu sahabtku itu. Suara itu menyuarakan suara kebencian kepada seseorang yang mereka bicarakan tadi. Mereka sepertinya saling menyalakan api dalam diri mereka dan membakar diri mereka dengan nama orang yang mereka bicarakan. Hati mereka, jadi membara memaki-maki orang yang tak ada bersama mereka dengan menjelek-jelekkan namanya. Aku mulai terganggu dengan kedua sahabatku itu. Apakah mereka memaki nama orang itu atau memaki sifat orang itu? Atau mereka memaki ke-diri-an orang itu? Ah, aku tak tahu!!? Aku mengabaikan mereka lagi. membiarkan mereka terus menggonggong. Mungkin mereka juga akan lelah untuk membicarakan nama orang itu dan memilih untuk diam.

"Ah,, aku tak puas!!" Kata sabahatku.

 "aku juga tak puas!" Kata sahabatku yang lain.

Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan tentang pembicaraan mereka terhadap orang yang mereka bicarakan. Aku jadi berpikir, mereka telah memikirkan yang jelek terhadap orang yang mereka bicarakan namanya. Apa yang akan mereka lakukan untuk orang yang sudah jelek namanya dipikiran mereka? 

"Ahh,, jangan sampai mereka akan mencelakakan orang itu!!?"

Aku membukakan sedikit koin gorden yang dari tadi menutup kaca jendelaku untuk melihat kedua wajah sahabatku itu. Ternyata wajah mereka tidak muram seperti wajah Kain dalam Kitab Kejadian yang mengisahkan tentang ekspresinya ketika membunuh Habel adiknya. Aku yang terlalu cepat mengambil kesimpulan dengan menyimpulkan sesuatu yang pasti akan terjadi. Namun itu kegelisahan hatiku. Aku menutup kembali kain gordenku dan mengabaikan mereka lagi.

Kali ini, tak kudengar gonggongan mereka lagi. Sepertinya mereka sudah menyudahi pembicaraan mereka tentang nama orang yang dari tadinya mereka membicarakan namanya. Suara mereka berdua tak kudengar lagi di dekat jendelaku. Suara mereka semakin kecil sesuai dengan jarak mereka dengan jendela kamarku. Semakin menjauh suara mereka tak terdengar lagi oleh telingaku. Itu mungkin jarak yang tepat bagiku untuk tidak mendengarkan pembicaraan mereka tentang nama orang yang mereka bicarakan itu.

Aku merasa legah tak diganggu lagi oleh pembicaraan kedua sahabatku itu. pembicraan mereka menggelisahkan hatiku. Apalagi pembicaraan mereka, menjelekkan nama orang lain. Padahal orang itu tak jelek seperti yang mereka bicarakan. Kata-kata mereka jelek untuk menjelekkan orang itu. 

"Ahh,, tidak mungkin kata-kata itu jelek, yang jelek itu mungkin pikiran mereka yang dipengaruhi oleh keinginan yang tidak terpenuhi oleh orang yang dibicarakan itu. Mereka berdua sangat rakus. Jika hanya keinginan yang tak terpenuhi mereka menjelekkan nama orang lain. Aku juga memiliki keinginan, tetapi aku tak mau keinginanku mendominasi aku. Aku yang harus mengatur keinginanku bukan keinginan yang mengatur aku.

Beberapa hari kemudia, aku berjumpa dengan kedua sahabatku itu. Aku melihat keceriaan di wajah mereka. Aku diajak oleh mereka berdua untuk pergi makan siang bersama di pondok tempat biasa kami berkumpul untuk berbagi ide. Kata kedua sahabatku, ada daging enak. Buruan mereka tadi malam. Mereka sudah memasak daging itu dengan rakitan bumbu yang menggetarkan lidah. Aku jadi tak sabar untuk mencicipi daging masakan kedua sahabatku itu. Kami bertiga mempercepatkan langkah kaki kami untuk cepat-cepat di pondok itu. Dari kejauhan hidungku sudah mencium aroma daging yang begitu sedap. Membuat lidahku merasakan kesedapannya. Walaupun lidahku belum mencicipi daging yang sedap itu.

Kedua sahabatku cepat-cepat mendahului aku untuk menyiapkan daging itu untukku. Aku merasa diistimewakan oleh kedua sahabatku ini. Setibanya aku di sana, mereka langsung menyodorkan semangkok yang dalam sudah dipenuhi daging. Aku tak menolak. Aku pun langsung mengambil mangkok itu dari salah satu tangan sahabatku itu. Namun sebelum aku memakan daging di mangkok itu. Aku menatap ke arah wajah kedua sahabatku itu dan aku bertanya.

"Apa nama daging ini?" Tanyaku. Sambil menunjuk daging yang ada dalam mangkok itu.

"Ohh,, itu namanya daging buruan!" Jawab salah satu sahabatku. Tangannya ia garuk-garukkan pada kepalanya.

"Di mana kalian memburu daging buruan kalian ini?" tanyaku lagi.  

"Di hutan putri malu." Jawab sahabatku yang satu lagi.

"Tetapi tubuh kalian tak ada cakaran dari durinya putri malu??" Tanyaku penuh penasaran.

"Iya, tubuh kami tidak kena cakaran dari putri malu, karena kami membunuh buruan itu dengan senapan bukan dengan tubuh kami." Jawab mereka terhadapku. Tatapan mereka sangat tajam melihatku. Sepertinya mereka tidak mau ditanyakan lagi.

"Bukankah kalian juga menggunakan tubuh kalian untuk memegang senapan untuk membunuh buruan kalian itu?" Tanyaku penuh dengan ketelitian.

"Iya itu benar! Tapi yang mematikan buruan kami itu yang keluar dari senapan itu. Kami hanya menggunakannya untuk memburu buruan kami!!" Jawab mereka terhadapku. Di wajah mereka sudah kemerah-merahan tandanya mereka tak mau ditanyakan lebih lanjut lagi.

Aku memilih diam tak mau mempertanyakan hasil buruan mereka lagi. Apalagi kedua sahabatku ini sangat hebat. Aku tak mau membuat mereka marah dengan pertanyaan-pertanyaanku dan membuat mereka akan membicarakan namaku di antara mereka. Aku memilih diam dan selerah makanku sudah hilang. Aku tak mau memakan daging buruan mereka itu.

Sahabatku yang satu memaksakan aku untuk memakan daging buatan mereka itu. Namun aku menolak untuk memakannya.

"Ayolah. Makan daging buatan kami ini." Mereka menyodorkan mangkok yang berisi daging itu padaku.

"Aku tak ada selerah makan lagi." Jawabku pada mereka dan menolak mangkok yang berisi daging itu.

"Okee! Kalua kau tidak mau, ya sudah kami makan sendiri daging buruan kami." Kata mereka padaku dan mereka melahap daging itu penuh semangat.

Setelah mereka makan. Mereka berdua menatapku dan ingin menyampaikan sesuatu padaku. Hal itu membuat hatiku takut dan gelisah. Namun aku menguatkan diriku bahwa itu hanya perasaanku saja; karena mereka belum menyampaikan maksud mereka padaku.

"Daging buruan yang telah kami makan ini telah memuaskan rasa lapar kami. Mengapa tadinya kamu tidak mau makan daging buruan kami." Tanya mereka padaku. Namun aku tak mau memberikan jawaban.

"Supaya kamu tahu daging buruan itu kami ambil dari nama orang yang kami bicarakan kemarin di dekat jendala kamarmu. Orang itu telah kami ambil dagingnya dan tubuhnya telah mati di kebun putri malu itu. Ia telah hilang kejelekannya dari kami. Akibat ia menjelekkan nama kami. Kematiannya membuat kami merasa puas." Kata mereka padaku. Membuat diriku merasa takut dan mereka meninggalkan aku sendiri di pondok itu.

Aku berpikir dan berpikir tentang pikiran yang yang hampir tak aku pahami isi pikiranku sendiri. Aku jadi tak mau mengenal mereka lagi. Aku berpikir mereka yang kemarin menjelekan nama orang itu. Tetapi mereka berpikir bahwa orang itu yang menjelekkan nama mereka. Aku tak tahu siapakah di antara mereka yang akan dibenarkan. Apakah orang yang telah mati tubuhnya itu atau mereka? Aku juga tak tahu. Mungkin keputusan tepatnya di tempat pengadilan karena aku tak tahu memutuskan perkara ini.

Akhirnya aku memutuskan untuk tidak mengenal mereka lagi. Aku tak mau mengakui kehebatan mereka yang berlagak seperti binatang yang tak berakal budi itu, yang harus dikendalikan dengan kekakang. Ini mungkin kalimat yang tepat untuk menggambarkan kelukuan dua orang itu. Mereka menganggap diri mereka cerdas, tetapi kasar dalam bertindak. Hati manusi mereka telah berubah menjadi hati mesin. Membunuh tanpa perasaan bersalah. Hati nurani mereka telah terbunuh oleh kerakusan diri mereka. Kini tersisa hanya nafsu untuk terus membunuh. Aku mengakhiri semua kecemasanku dengan bertanya "quo vadis hidup manusia di dunia ini? Apabila dikuasai oleh manusia yang tak berhati manusia lagi!?   

    

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun