Orde Baru selama 21 tahun membuat saya dan mereka yang sebaya pasti mengalami fenomena yang terjadi dalam setiap Pemilu pada era itu. Saat itu, Pemilu pasti dimenangkan oleh partai dan presiden yang sama sejak kami lahir. Selalu begitu. Tidak pernah beda. Sampai-sampai, sebelum Pemilu terjadi pun, kami sudah tahu siapa yang akan keluar jadi pemenang. Golkar dan Suharto.
Tumbuh dalam masaKarena orang tua saya pekerja swasta, maka saya tahu kalau mereka tidak terikat "kewajiban" untuk berafiliasi atau memilih partai penguasa dibanding mereka yang berprofesi sebagai PNS, TNI, atau karyawan BUMN. Bagi mereka yang belakangan disebut, akan ada konsekuensi serius jika berani memiliki pilihan yang berbeda, mulai dari sulit naik jabatan/posisi, diturunkan posisi/jabatannya, dipindahkan, atau bahkan dipecat. Dan, hal ini juga berlaku dalam skala komunitas. Banyak komunitas penduduk di kota maupun desa akan dipaksa untuk terus memenangkan penguasa dalam setiap Pemilu. Jika ada daerah yang tidak memenangkan partai penguasa, maka konon tidak akan banyak terjadi pembangunan atau pengembangan di wilayah tersebut.Â
Zaman itu, akan sangat lazim menjumpai pagar, jalan, pohon, atau atap rumah penduduk dicat dengan warna kuning untuk menunjukkan keberpihakan terhadap partai penguasa. Berbagai cara pokoknya dilakukan agar penguasa mendominasi, mengintimidasi, dan menang dalam Pemilu. Tampaknya saja menggunakan Pemilu agar tampak demokratis. Nyatanya, itu hanya pura-pura, semu, dan malah digunakan untuk melanggengkan kekuasaan Orde Baru. Â
Melihat fenomena yang selalu terjadi itu, saya jadi banyak bertanya-tanya. Mana bukti dari slogan Pemilu yang selalu digembar-gemborkan Pemerintah setiap menjelang Pemilu pada saat itu, yaitu LUBER alias Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia? Di mana unsur bebas dan rahasianya jika setiap orang sudah tahu dan sudah disuruh untuk memilih satu partai saja? Mengapa sih rakyat tidak dibebaskan untuk memilih partai berdasarkan ide, pemikiran, pandangan, dan hati nuraninya sendiri? Mengapa negara yang katanya memiliki sistem demokrasi bertindak seperti negara-negara komunis pada zaman itu yang sangat mengekang kebebasan rakyatnya? Bagaimana dengan hak berdemokrasi rakyat yang dijamin oleh Undang-Undang negara? Lebih prinsip lagi, apakah saya dan rakyat Indonesia benar-benar hidup di negara yang sudah merdeka?
Namun, tentu saja, seperti masyarakat lain pada saat itu, saya hanya bisa "gumun" atau tak habis pikir dengan fenomena yang ada. Sudah dikondisikan untuk selalu manut, nunut, dan takut selama bertahun-tahun membuat banyak orang hanya bisa diam dan pasrah pada situasi yang terjadi. Seniman, tokoh agama, budayawan, politisi, akademisi, mahasiswa, dan berbagai golongan masyarakat dibuat bungkam dengan sistem dan tekanan yang ada. Media televisi dan media cetak tidak dapat beropini secara kritis. Mereka justru menjadi corong pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan. Pembredelan surat kabar adalah hal yang lazim terjadi pada saat itu, bahkan pada media massa beroplah besar. Buku-buku yang sifatnya kritis dan tidak berhaluan sama dengan pemerintah pasti akan ditarik dari peredaran. Siapa pun yang berani melawan atau bersuara akan dicap komunis, tidak Pancasilais, subversif, dan ditangkap. Siapa yang berani bersuara atau melawan jika sudah begitu?
Itu situasi yang saya alami dan rasakan sejak lahir sampai menjadi mahasiswa. Bertahun-tahun mengalami dan melihat berbagai situasi yang tidak adil, tidak benar, dan tidak demokratis dalam negara (yang katanya) menjunjung demokrasi dan konstitusi membuat saya jadi cukup sensitif dengan isu-isu politik dan kesewenangan penguasa sampai saat ini.
Untunglah, gerakan reformasi pada tahun 1998 terjadi. Rezim Orde Baru tumbang. Semenjak itu, semua orang dapat bebas bersuara dan memilih. Kini, meski kita masih harus belajar berdemokrasi, kita sudah benar-benar dapat merasakan alam demokrasi. Kita tidak lagi dipaksa tunduk, manut, dan nunut penguasa. Kita tidak lagi dipaksa untuk memilih satu partai dan melanggengkan kekuasaan Presiden. Dan, di atas semua itu, suara dan pendapat kita tidak dapat dibungkam. Kita sudah lebih merdeka saat ini dibanding pada masa Orde Baru.
Karena itu, jika melihat stiker, poster, atau postingan bergambar Suharto dengan caption berisi, "Piye, isih penak jamanku to?", dengan tersenyum dan menggeleng saya akan tegas-tegas berkata, "NO WAY!" Jelas, saya dan banyak orang lainnya tidak ingin kembali dan tidak punya kenangan indah tentang situasi politik, demokrasi, hukum, dan HAM pada saat itu.
Yah, meski pada zaman itu harga beras, kebutuhan pokok, bahkan pendidikan dikatakan terjangkau dan murah, tetapi semuanya itu tak dapat menggantikan hak kita untuk bebas dan merdeka dalam berekspresi, bersuara, beropini, berpendapat, dan menjadi kritis. Kita semua butuh "diwongke" atau dihargai. Kita semua butuh diperlakukan sebagai manusia yang memiliki hak dan kemerdekaan. Bisa makan, sekolah, atau bahkan punya pekerjaan akan menjadi sia-sia jika kita hidup dalam paksaan, tekanan, dan intimidasi.
Karena itu, salut, dan mari kita berikan penghargaan kepada seluruh elemen masyarakat yang selalu berupaya dan bersuara untuk menjaga agar nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan demokrasi tetap tegak di negeri ini semenjak zaman Reformasi 1998. Orde Baru sudah lewat. Mari kita move on, semakin maju, dan tidak lagi kembali pada masa-masa yang kelam.
Orde Baru? Sudah lupa tuh :-)
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H