Mohon tunggu...
Okti Nur Risanti
Okti Nur Risanti Mohon Tunggu... Penerjemah - Content writer

Menulis adalah salah satu upaya saya dalam memenuhi misi mandat budaya.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Potensi Wisata dari Kampung Pemukiman Penduduk

18 Oktober 2023   16:43 Diperbarui: 19 Oktober 2023   08:35 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat pergi berlibur ke satu daerah, saya dan keluarga suka sekali jalan-jalan ke alun-alun, pusat kota, atau wilayah pemukiman penduduk di tempat itu. Buat kami, melihat kontur wilayah, lanskap, arsitektur, rumah penduduk, bangunan lawas, tata ruang, atau apa-apa yang ada di daerah itu jauh lebih menarik dibanding sekadar kulineran, belanja, atau mengunjungi objek wisatanya saja. Dengan catatan bahwa cuaca dan udara juga mendukung, jalan kaki adalah cara yang asyik untuk melakukan aktivitas ini dibanding naik kendaraan. Dengan berjalan kaki, kami jadi bisa melihat dan mengamati banyak hal secara lebih jelas dan rinci.

Demikian juga ketika kulineran. Dibanding googling, sepertinya lebih seru jika kami blusukan sendiri dan cari warung, tenda kaki lima, atau gerobak pinggir jalan yang cita rasanya sungguhan lokal. Selain dapat cita rasa khas dari daerah tsb, kami juga bisa ngobrol dengan si pemilik usaha kuliner dan bertanya-tanya tentang banyak hal pada mereka. Jika beruntung, kami malah bisa mendapat banyak informasi berharga tentang kondisi wilayah, sejarah, penduduk daerah tersebut, atau hal-hal menarik yang mungkin tidak tertera di Google dan jarang diketahui oleh banyak wisatawan.

Dari hasil jalan-jalan dan mengamati itu tadi, saya juga jadi tahu kalau setiap kota/kabupaten ternyata punya pola jenis bangunan yang hampir sama di seputar wilayah alun-alunnya, yaitu keraton/kantor gubernur/bupati/walikota, masjid, gereja, klenteng, pasar, dan pohon beringin, di beberapa tempat. Pola ini saya jumpai di Bogor, Solo, Yogya, Malang, Salatiga, Wonosobo, Rembang, bahkan Jakarta (di seputaran lapangan Banteng). Tata letak seperti itu ternyata juga bukan tanpa maksud. Berbagai bangunan atau fasilitas itu sengaja ditempatkan di seputar alun-alun -- yang dulu selalu jadi pusat kota/wilayah -- karena merupakan simbol dari 4 pilar penting dalam kehidupan masyarakat, yaitu spiritual (tempat ibadah), pemerintahan/politik (keraton/kantor gubernur/bupati/walikota), ekonomi (pasar), dan sosial (alun-alun as a public space). Pengetahuan semacam ini tentu jadi sisi menarik yang memperkaya wawasan kita dari hasil jalan-jalan di satu tempat, dibanding hanya sekadar menikmati pemandangan atau kulineran semata.

Jalan-jalan di sekitar pemukiman penduduk sesungguhnya bisa menjadi aktivitas yang bersifat healing. Siapa sih yang tidak suka melihat lingkungan pemukiman yang asri, bersih, dan tertata rapi sembari berjalan kaki? Tanpa harus jauh-jauh atau mahal-mahal pergi ke objek wisata yang ada di daerah tersebut, melihat pemukiman semacam itu saja sudah bisa sangat menghibur dan menyenangkan mata. Apalagi jika pemukiman tersebut terintegrasi dengan sarana prasarana umum serta ruang publik yang juga bisa diakses oleh wisatawan. Pasti daerah semacam itu akan banyak dikunjungi, bahkan menjadi tujuan favorit para pelancong lokal maupun mancanegara.

 Salah satu rumah yang ada di Kampung Kajoetangan, Kota Malang (Dok. Pribadi)
 Salah satu rumah yang ada di Kampung Kajoetangan, Kota Malang (Dok. Pribadi)
Sayangnya, baru ada sedikit pemukiman di kota atau kabupaten di Indonesia yang bisa menjadi tujuan destinasi wisatawan lokal maupun mancanegara. Memang ada Bali dengan Desa Panglipuran, Kampoeng Heritage Kajoetangan di Kota Malang, Desa adat Waerebo di NTT, Desa Ponggok di Klaten, atau pemukiman unik lain di beberapa kota, desa, atau kabupaten. Namun, dibandingkan dengan luasnya wilayah Indonesia, maka bisa dikatakan kalau negara kita ini masih sangat sedikit memiliki wilayah pemukiman penduduk yang siap untuk diekspos menjadi destinasi wisata. Meski sebenarnya ada banyak kampung atau pemukiman yang memiliki potensi, seperti Kampung Baluwarti dan Kampung Batik Laweyan di Solo yang sarat dengan nilai budaya dan sejarah, tetapi sayangnya wilayah-wilayah semacam ini seringnya belum ditata secara maksimal untuk mampu menarik minat wisatawan secara lebih luas.

Berbeda sekali kondisinya dengan area pemukiman warga di negara-negara maju (lihat channel YouTube yang mengusung video jalan-jalan, walking tour, exploring, atau wisata, ex: https://www.youtube.com/watch?v=90H0tX1-xoA) yang pada umumnya sudah sangat rapi dan tertata. Memang sih, tidak fair rasanya jika saya membandingkan negara kita yang notabene sangat berbeda kondisinya dengan negara-negara tersebut. Namun, mengambil contoh atau sistem yang baik dari negara lain tentunya juga akan menjadi langkah yang bermanfaat untuk mendorong kemajuan pariwisata di negeri kita sendiri. Paling tidak, kita bisa mencontoh pada bagaimana penduduk di negara-negara maju itu sudah memiliki kesadaran untuk menata serta memelihara keindahan lingkungan rumahnya masing-masing sehingga membuat area pemukiman mereka menjadi cantik dan nyaman untuk dilihat oleh wisatawan.

Meski tampaknya sepele, tapi bayangkan jika kesadaran semacam ini sudah dimiliki oleh puluhan juta masyarakat Indonesia! Dampaknya tentu akan sangat besar. Walking tour around neighborhood bisa jadi satu potensi pariwisata yang menjanjikan di berbagai wilayah Indonesia. Berjalan-jalan di lingkungan pemukiman warga, baik di desa maupun kota, pada saat itu akan menjadi agenda yang sangat menarik plus unik bagi para wisatawan. Selain bersifat healing (baik secara fisik maupun psikis), kegiatan ini bisa menjadi alternatif bagi para pelancong yang ingin mendapat pengalaman dan pemandangan berbeda. Dan, itu bukan hanya berlaku bagi para wisatawan luar saja, melainkan juga bagi warga lokalnya sendiri. Ini pada akhirnya akan menarik investor, membuka lapangan kerja, menumbuhkan  ekonomi lokal, dan ujung-ujungnya meningkatkan pendapatan daerah. Menarik 'kan?

Untuk mewujudkan hal itu sebenarnya bukan perkara sulit atau mahal. Bukan bangunan rumah indah atau lingkungan mentereng yang diperlukan, melainkan kesadaran untuk menata dan memelihara rumah dan lingkungan sekitar agar bersih, asri, dan nyaman untuk dipandang dan ditinggali. Kampung yang sederhana, asal tampak asri dengan berbagai pohon dan tanaman, bersih, dan tertata dengan baik, pasti akan sedap dipandang mata. Namun, untuk mewujudkannya, dibutuhkan kesadaran, baik dari individu maupun komunal secara berbarengan. Dan, itu yang tidak mudah untuk ditanamkan pada masyarakat kita yang masih banyak bergumul pada isu pemenuhan kebutuhan dasar dan belum memiliki kesadaran kritis.

Rumah bersih dan asri (Dok. Pribadi)
Rumah bersih dan asri (Dok. Pribadi)
Namun, tentu saja itu tidak boleh menjadi alasan bagi kita untuk tidak memulai sesuatu yang baik. Kita yang sudah mengetahui hal ini bisa memulainya dari rumah kita sendiri. Toh, kita sendiri juga yang akan menjadi penerima manfaat yang paling besar dari sana. 

Mulai sekarang, yuk jangan enggan untuk rajin menyapu halaman dan jalanan di depan rumah, bercocok tanam , membersihkan selokan, dan membuat rumah dan lingkungan di sekitar kita rapi dan enak untuk dipandang.

 

 
 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun