pembawa damai, bukan pembawa masalah atau konflik. Membawa damai ini bukan hanya dalam situasi konflik atau perang, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari, dalam hal yang sering kita anggap remeh, tetapi yang sesungguhnya menjadi fondasi dalam relasi kita dengan yang lain, yaitu dalam hal berkomunikasi.
Sebagai orang beriman, kita tentu dipanggil untuk menjadiNamun, sayangnya, bukannya menjadi pembawa damai, kita sering kali malah terlibat dalam masalah atau konflik karena komunikasi yang kita lakukan.
Lalu, bagaimana caranya agar kita dapat menjadi pembawa damai melalui komunikasi yang kita lakukan?
Baik, sebelum sampai ke sana, mari kita ketahui dulu apa itu komunikasi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), komunikasi adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang atau lebih. Â Sederhana, bukan? Namun, nyatanya untuk menyampaikan pesan atau berkomunikasi dengan baik tidaklah sesederhana itu. Dibutuhkan keterampilan, metode, serta usaha yang sungguh untuk dapat berkomunikasi dengan baik.
Seorang psikolog klinis dari Amerika Serikat bernama Marshall Rosenberg menawarkan satu cara untuk berkomunikasi yang lebih baik, yang disebut sebagai Nonviolent Communication (NVC). Â Ia menjelaskan tentang praktik komunikasi ini dalam bukunya, Nonviolent Communication: A Language of Life.
Nonviolent Communication atau NVC adalah pendekatan komunikasi dengan menggunakan prinsip-prinsip non-kekerasan. Tujuan dari NVC sendiri bukanlah agar keinginan atau tujuan kita terpenuhi dalam komunikasi, melainkan untuk mengembangkan empati dan menjalin pengertian dari pihak-pihak yang berkomunikasi serta mencegah atau menyelesaikan konflik yang mungkin terjadi dalam komunikasi.Â
Untuk mempraktikkan NVC, berikut adalah hal-hal yang perlu kita perhatikan dan terapkan dalam berkomunikasi.Â
1. Keterampilan BerkomunikasiÂ
Untuk dapat berkomunikasi dengan baik, maka 2 kemampuan berikut perlu untuk kita miliki, yaitu:
a. Kemampuan untuk menggunakan atau memilih kata-kata dan intonasi yang baik dan tepat.
Dalam konteks ini, mari perhatikan kata-kata berikut:
"Kamu selalu telat."
"Kamu suka menunda pekerjaan."
"Kamu pemalas."
"Kamu pembohong."
Sekarang, bandingkan dengan kata-kata berikut:
"Belakangan ini, kamu selalu datang di atas jam 8."
"Seharusnya motor itu sudah diservis sejak minggu lalu, tetapi sampai hari ini kamu belum membawanya ke bengkel."
"Kamu belum membereskan kamarmu beberapa hari ini."
"Katamu akan datang kemarin, tetapi sampai hari ini kamu belum muncul juga."
Jika diperhatikan, kata-kata di bawah dan di atas sebenarnya ingin menyampaikan hal yang sama, tetapi terdengar berbeda saat disampaikan. Kata-kata di baris atas terdengar judging, cenderung kasar, bahkan mungkin menyinggung perasaan dibanding kata-kata di baris bawah.
Di sini kita lihat, bahwa penggunaan kata yang berbeda akan memiliki dampak yang berbeda. Demikian pula dengan intonasi. Intonasi yang datar dan tenang akan terasa lebih ramah dan lebih baik untuk didengar.
Dari sini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa untuk terampil berkomunikasi kita perlu dapat berkata-kata dengan baik, yaitu dengan menggunakan kata-kata dan intonasi yang baik dan tepat. Tanpa keduanya, komunikasi kita akan sangat mungkin sulit untuk diterima dengan baik oleh pihak lain.
b. Kesediaan untuk mendengar.
Hal kedua yang penting agar kita terampil berkomunikasi adalah kesediaan mendengar. Kesediaan mendengar ini sebenarnya justru menjadi hal yang utama dan sangat penting dalam berkomunikasi, bahkan jika dibandingkan dengan keterampilan berkata-kata. Sebab, tanpa kemauan dan kepekaan untuk mendengar dan memahami kebutuhan serta perasaan orang lain, komunikasi kita akan cenderung bersifat satu arah, menilai, menghakimi, dan menyakiti orang lain.Â
2. Metode Komunikasi
Menurut Rosenberg, ada 4 metode yang dapat kita lakukan untuk mempraktikkan komunikasi tanpa kekerasan agar kedua belah pihak yang berkomunikasi terpenuhi kebutuhannya.Â
4Â metode tersebut adalah:
1. Observasi
Melakukan pengamatan yang berfokus pada waktu dan konteks permasalahan, bukan evaluasi, penilaian, atau pengamatan pada masalah-masalah lain yang tidak terkait.
2. Perasaan
Bicarakan tentang emosi, tanpa penghakiman moral, guna mencapai semangat saling menghormati dan bekerja sama.
3. Kebutuhan
Sampaikan kebutuhan yang menyebabkan timbulnya perasaan itu.
4. Permintaan
Ajukan permintaan tindakan yang konkret untuk memenuhi kebutuhan yang baru saja diidentifikasi.
Nah, pasti sulit membayangkan bagaimana kita bisa menerapkan ke-4 metode tersebut dalam berkomunikasi. Untuk itu, saya akan berikan sebuah contoh kasus beserta komunikasi yang bisa dilakukan dengan menerapkan ke-4 metode tersebut.
Kasus: Seorang teman bernama Budi belum juga menyerahkan konsep promosi untuk satu event yang akan diselenggarakan oleh kantor bulan depan, padahal deadline tugasnya sudah lewat.
Untuk menerapkan ke-4 metode Rosenberg, kita bisa berkomunikasi kepada Budi dengan cara sebagai berikut:
"Budi, sekarang sudah tanggal 12, dan kamu belum menyerahkan konsep promosi yang saya minta." (Observasi)
"Saya khawatir, jika konsep itu tidak segera dibuat, promosi akan mundur dan menjangkau lebih sedikit orang." Â (Perasaan)
"Budi, kita perlu segera melakukan promosi agar bisa mencapai target audiens yang kita inginkan. Jadi, bisakah kamu segera membuat konsep promosi itu agar kita bisa segera membuat promosi yang dibutuhkan?" Â (Kebutuhan dan Permintaan)
Nah, Â dengan menerapkan 4 metode yang disarankan Rosenberg, kita pun dapat mempraktikkan NVC terhadap Budi dalam kasus ini. Dalam komunikasi tersebut, kita dapat menyampaikan fakta yang ada, perasaan, kebutuhan, dan permintaan kita tanpa menyerang, menghakimi, atau menyinggung Budi. Dengan komunikasi yang demikian, besar kemungkinan Budi akan dapat menerima apa yang kita sampaikan, dan solusi yang dibutuhkan pun dapat tercapai.Â
Tentu saja, penerapan komunikasi ini bukan hanya dapat dan perlu dilakukan untuk urusan pekerjaan, bisnis, atau pertemanan, melainkan juga dapat diterapkan dalam berbagai situasi, tempat, dan pihak.
3. Lebih banyak Observasi, bukan Menilai
Sering kali, komunikasi kekerasan terjadi karena kita terlalu cepat menilai, mengevaluasi, dan menyimpulkan sesuatu, yang kemudian berujung keluar dalam bentuk kata-kata penghakiman, labelling negatif, atau kata-kata yang bersifat ofensif/menyerang pihak lain. Inilah yang memunculkan adanya konflik. Kita kurang banyak mendengar, mengamati, mencari data atau kejelasan akan kebutuhan atau kondisi pihak lain untuk mendapat kesimpulan atau penilaian yang benar. Maka, agar kita tidak mempraktikkan komunikasi kekerasan, kita perlu untuk lebih banyak mendengar, mengamati, dan mencari kejelasan, dibanding langsung melompat pada penilaian atau evaluasi.
Mendengar, mengamati, dan mencari kejelasan juga merupakan cara untuk untuk menumbuhkan empati dalam percakapan. Ketika empati tercipta, maka semua pihak yang terlibat dalam percakapan dapat lebih mudah mendiskusikan solusi yang memenuhi kebutuhan dasar mereka. Selain itu, dengan lebih banyak mendengar, mengamati, dan mencari kejelasan, semua pihak juga akan memiliki data yang lebih akurat untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih baik, yang akan berimbas pada solusi yang lebih baik bagi semua pihak.
Setelah semua penjelasan tersebut, maka mungkin kita akan bertanya apa pentingnya mempraktikkan NVC ini dalam keseharian kita?
Begini, pada tahun 2022 lalu, survey dari Populix  menyatakan bahwa 1 dari 2 orang penduduk Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental.Â
Lalu, apa hubungannya NVC dengan survey tersebut?
Itu artinya, ada banyak orang di sekitar kita -- entah keluarga, kerabat, rekan kerja, rekan sekolah, rekan kuliah, tetangga, atau orang-orang  yang ada dalam komunitas kita lainnya -- yang memiliki masalah kesehatan mental dalam diri mereka. Itu artinya, kita akan sering berhadapan dan berkomunikasi dengan orang-orang yang hidupnya sedang tidak baik-baik saja!
Nah, tentu bukan hal yang tidak bijaksana jika kita justru menambah masalah, beban, atau konflik dalam kehidupan mereka dengan melakukan komunikasi yang sifatnya menyerang, menghakimi, atau bahkan menyakiti perasaan mereka. Setidak-tidaknya, jika kita tidak mampu meringankan beban atau tekanan hidup yang sedang mereka miliki, janganlah kita justru menambah beban atau masalah ke dalam kehidupan mereka.
Mengingat ada begitu banyak orang yang memiliki tekanan dalam kehidupannya saat ini, dan itu bisa saja orang-orang terdekat dalam kehidupan atau keseharian kita, maka mari kita mulai memandang serius pada komunikasi yang kita lakukan. Mari kita tidak menerapkan komunikasi yang bersifat kekerasan. Dan, mari kita mulai mempraktikkan komunikasi tanpa kekerasan agar kita dapat menjadi pembawa damai dalam hidup dan situasi orang-orang yang kita jumpai setiap hari. Dengan begitu, kita pun menjadi bagian dari solusi, bukan masalah.
Yuk, jadi pembawa damai.Â
Sumber referensi:Â
1. Tim Wikipedia. Nonviolent Communication. Dalam https://en.wikipedia.org/wiki/Nonviolent_Communication
2. Tim Wikihow. Cara Mempraktikkan Komunikasi Tanpa Kekerasan. Dalam https://id.wikihow.com/Mempraktikkan-Komunikasi-Tanpa-Kekerasan
3. Â Si Kutu Buku. Tips Komunikasi Tanpa Menghakimi. Dalam https://www.youtube.com/watch?v=GQ-KOSU5l8Q
4. Annur, Cindy Mutia. Survei Populix: 1 dari 2 Penduduk Indonesia Punya Masalah Kesehatan Mental. Dalam https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/10/27/survei-populix-1-dari-2-penduduk-indonesia-punya-masalah-kesehatan-mental
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H