Mohon tunggu...
Okti Nur Risanti
Okti Nur Risanti Mohon Tunggu... Penerjemah - Content writer

Menulis adalah salah satu upaya saya dalam memenuhi misi mandat budaya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Gadis Penjual Korek Api, Literasi Apik Pembangun Empati

14 Desember 2022   20:34 Diperbarui: 16 Desember 2022   07:04 1762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar Gadis Penjual Korek Api (Unsplash, Dave Herring)

Malam itu malam Natal. Salju yang turun membuat udara kian bertambah dingin. Seorang gadis kecil dengan pakaian tipis berjalan di antara orang-orang yang berlalu lalang di jalan sembari menawarkan korek api. Namun, tak seorang pun yang membeli dagangannya. 

Malam pun kian larut. Gadis kecil itu tak berani pulang karena ayahnya akan memukulnya jika ia pulang tanpa membawa uang. Ia terus berjalan, sampai tiba di depan sebuah rumah. Melalui jendela rumah itu, ia dapat melihat orang-orang merayakan Natal dalam kehangatan dan kebahagiaan. Ia merindukan suasana yang sama, yang dulu juga pernah dirasakannya saat ibunya masih hidup.

Udara yang kian dingin membuatnya duduk meringkuk di salah satu sudut jalan. Untuk menghangatkan tubuhnya yang kurus dan tidak terlindung dengan baju hangat tebal, ia menyalakan batang korek apinya. Satu per satu nyalanya membawa berbagai bayangan indah akan kehangatan perapian, makanan lezat, dan pohon Natal yang dirindukannya.

Namun, ketika apinya padam, satu persatu bayangan itu pun lenyap. Gadis kecil itu mendongak ke atas, dan melihat sebuah bintang jatuh dari langit. Segera ia teringat kepada neneknya yang mengatakan bahwa bintang yang jatuh adalah pertanda akan ada seseorang yang meninggal. Ia pun merindukan neneknya yang sangat mengasihinya.

Gadis kecil itu lalu terus menyalakan batang-batang korek apinya, berharap neneknya akan muncul dari sana. Satu persatu batang korek apinya menyala, tetapi neneknya tak kunjung muncul. Banyak batang sudah dihabiskannya, ketika bayangan neneknya akhirnya muncul. Ia pun makin bersemangat menyalakan korek apinya, sembari berkata, "Nenek, jangan pergi. Aku tak ingin kau pergi seperti hal-hal indah lainnya."

Namun, neneknya tak segera menjawab. Ia sangat merindukan neneknya dan ingin berada bersamanya. Setelah ibunya meninggal, tak ada lagi orang yang menyayanginya. Tak ingin neneknya pergi, ia pun mengumpulkan semua batang korek apinya dan menyalakannya, membuat cahayanya menjadi sangat terang di sekitar tempatnya berada.

Akhirnya, neneknya muncul sehingga ia pun sangat gembira. Gadis itu menari-nari dan langsung memeluk neneknya. Neneknya tersenyum menyambutnya, dan mereka berpelukan erat. Gadis itu kini bisa merasakan kehangatan yang sudah lama dirindukannya. Lalu, tiba-tiba mereka terangkat dari atas tanah, makin lama semakin tinggi, sampai mereka pun terbang tinggi ke angkasa. Mereka sudah kembali bersama-sama sekarang.

Keesokan harinya, orang-orang menemukan gadis kecil penjual korek api itu terbujur kaku dalam posisinya. Ia sudah tiada. Pada wajah kecilnya yang kemerahan sebuah senyuman tersungging, sementara di tangannya masih tergenggam bekas korek api yang habis terbakar. Meski kondisinya miskin dan papa, gadis korek api itu sungguh tampak bahagia.

Cerita di atas adalah isi dari dongeng klasik Gadis Penjual Korek Api karya Hans Christian Andersen yang terbit pada tahun 1845. Meskipun sekuler, tetapi kisahnya sendiri membuatnya dikenal sebagai salah satu dongeng untuk masa-masa Natal. 

Dulu, saat menyaksikan kartunnya di televisi, mata saya selalu basah karena sedih. Pada saat itu, bahkan ironi dongeng ini sudah menancap kuat dalam benak saya sebagai seorang anak. Natal yang seharusnya membawa kebahagiaan bagi banyak orang, nyatanya tidak dirasakan oleh sang gadis penjual korek api. Kemiskinan sungguh merenggut kesempatan dan kebahagiaan gadis kecil itu untuk mengalami sukacita Natal.

Sebagai anak-anak, saya menyesalkan keputusan pengarang dalam mengakhiri ceritanya. Wajar jika sebagai anak kita menginginkan akhir kisah yang bahagia selamanya. Happily ever after. Namun, belakangan saya baru bisa menyadari pesan penting yang justru ingin pengarang sampaikan melalui kisah tersebut. 

Dengan latar belakang era Victoria yang lekat dengan revolusi industri, Hans Christian Andersen sesungguhnya ingin menggambarkan realita kehidupan sulit yang harus dihadapi orang miskin dan masyarakat kelas bawah pada masa itu. Gadis penjual korek api yang diceritakannya bukan hanya tokoh dalam sebuah dongeng, tetapi realita yang banyak dijumpai saat itu.

Seperti halnya Oliver Twist dalam karya Charles Dickens, anak-anak pada masa itu banyak yang harus bekerja pada usia belia karena kemiskinan dan ketimpangan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Melalui dongeng mereka, Hans Christian Andersen dan Charles Dickens sama-sama ingin menggugah kepedulian masyarakat terhadap kejamnya sistem sosial yang berlaku saat itu, yang juga harus ditanggung oleh anak-anak. 

Anak-anak yang seharusnya masih membutuhkan perlindungan dan kehangatan di tengah keluarga dan masyarakat, justru harus merasakan kerasnya kehidupan jalanan karena situasi ekonomi. Dan memang, literasi yang mereka buat itu kemudian berhasil menarik simpati orang-orang dari berbagai belahan dunia, yang masih menjadi cerita atau dongeng klasik yang bertahan sampai saat ini.

Dengan latar belakang tersebut, saya bisa katakan bahwa dongeng semacam Gadis Penjual Korek Api adalah salah satu literasi apik dan wajib yang dapat kita berikan kepada anak-anak. Ada pesan moral dan sosial yang kuat di dalamnya, yang perlu diutarakan dan diajarkan kepada anak-anak untuk menumbuhkan empati dan kepedulian kepada sesama yang tidak beruntung. 

Terkhusus bagi umat Kristen sendiri, Natal memang semestinya terpusat pada kisah kelahiran Yesus. Tetapi, dongeng seperti Gadis Penjual Korek Api juga dapat kita sampaikan kepada anak-anak untuk memperkuat pesan Natal: Allah bukanlah pribadi yang sama seperti orang-orang di jalan, yang tidak peduli kepada gadis korek api yang miskin dan papa.

Sebaliknya, Ia adalah Pribadi yang sungguh peduli dan bersedia memberikan diri untuk menolong umat-Nya. Peristiwa Natal adalah bukti nyata dari kasih dan kepedulian Allah. Dan, jika Allah saja sudah memberikan teladan nyata dalam kasih, kepedulian, dan kesediaan untuk memberi diri, sebagai umat-Nya kita tentu juga harus melakukan hal yang sama.

Ada banyak anak tidak beruntung dan berada dalam kondisi sulit seperti gadis korek api dalam dunia di sekitar kita. Mereka mungkin hidup dalam kemiskinan, menjadi korban bencana, yatim piatu, mengalami beragam kekerasan, atau berbagai kondisi buruk lainnya. 

Dan, mungkin tidak ada cara lain yang lebih baik untuk menggambarkan hal-hal tersebut kepada anak-anak selain dari menceritakan kisah semacam Gadis Penjual Korek Api kepada mereka. Berita Kelahiran Kristus lalu menjadi dasar kita untuk meneladankan karya kasih Allah dalam melakukan aksi nyata kepada sesama yang membutuhkan.

Natal ini, selain membacakan pesan Injil dari peristiwa kelahiran Kristus, mari mendongengkan juga Gadis Penjual Korek Api atau kisah-kisah lain sejenis kepada anak-anak. Menggugah empati anak untuk peduli pada penderitaan sesama menjadi salah satu hal penting yang perlu kita lakukan sebagai orang tua untuk membentuk karakter baik dalam diri mereka. 

Dan, ketika mata mereka berkaca-kaca karena larut dalam kesedihan dan kesepian yang dirasakan oleh gadis korek api itu, kita patut berterima kasih kepada Hans Christian Andersen atau para pengarang lain yang sudah menuliskan literasi semacam ini.

Saat ini, mata saya masih berkaca-kaca jika menyaksikan kartun Gadis Penjual Korek Api di televisi. Kasihan benar gadis kecil itu. Seandainya saja ada orang dalam cerita itu yang melihatnya dan peduli kepadanya, kisahnya mungkin akan berakhir tanpa kematian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun