Etiket di sini berfungsi sebagai rules atau aturan tidak tertulis yang berfungsi untuk menjaga relasi baik -- atau setidaknya netral -- dari semua pihak. Dengan menerapkannya, kita berarti sedang menyampaikan penghargaan dan intensi baik kepada setiap orang dalam wilayah kerja kita, tanpa terkecuali.
Nah, hal-hal semacam ini rasanya perlu diperhatikan khususnya oleh generasi milenial atau generasi Z yang sudah, sedang, dan akan memasuki dunia kerja.
Bukan berarti generasi lain tidak ada yang bermasalah dengan isu ini. Namun, sistem pendidikan, perkembangan zaman, serta globalisasi akibat perkembangan teknologi membuat generasi milenial atau gen Z menjadi lebih rentan untuk memiliki perilaku atau etiket yang kurang "pas" dalam dunia kerja, khususnya untuk kultur dan nilai-nilai Indonesia.Â
Apalagi, di tengah banyak isu yang mengatakan bahwa kaum milenial atau para fresh graduates ini mudah sekali berpindah tempat kerja, suka mengalami masalah "kesehatan mental", dan kurang tangguh menghadapi aneka tantangan hidup.
Perlu disadari, dalam dunia kerja, kecerdasan intelektual saja tidak cukup jika tidak dibarengi dengan attitude atau perilaku yang tepat.Â
Sering kali, justru perilaku atau attitude inilah yang lebih berperan pada kesuksesan seseorang dalam karier dibanding kecerdasan intelektualnya. Sebab, attitude lah yang sangat menentukan relasi seseorang dengan banyak pihak, yang ujung-ujungnya memengaruhi penerimaan, kinerja, prestasi, serta keberhasilan karier seseorang.
Karena itu, jangan buru-buru salahkan lingkungan, sistem kerja, teman, atau bahkan atasan yang "toxic" jika kita merasa tak betah pada satu lingkungan kerja. Jangan-jangan, semua itu jadi terasa toxic karena kita sendiri yang tidak bisa menyesuaikan diri di tempat kerja karena kurang memahami atau malah tidak menerapkan etiket/hal-hal yang perlu dalam berelasi, alias akibat dari perilaku kita sendiri yang terlebih dahulu sudah bersikap tidak "pas" kepada yang lain.
Masa sih?
Yuk, mari kita jujur. Bukankah kita semua pada umumnya suka disapa, suka dihargai dengan perilaku sopan dan ramah, serta suka menerima 3 kata ajaib, "tolong, terima kasih, dan maaf" dalam konteks dan situasi tertentu?
Tentu saja, kita tidak dapat menilai orang an sich berdasarkan pada hal-hal semacam itu. Namun, lagi-lagi, secara umum, bukankah orang-orang dengan perilaku sopan, ramah, peduli, dan yang tidak keberatan mengatakan kata-kata "tolong, terima kasih, dan maaf" akan selalu cenderung lebih disukai dibanding mereka yang bersikap cuek, tidak ramah, tidak peduli, tidak sopan, dan yang tidak tampak menghargai keberadaan yang lain melalui sikap dan perilakunya?
Di atas semua itu, etika yang baik menjadi sumber dari etiket yang baik. Sebab, dasar untuk menerapkan etiket baik dalam bekerja hanya akan muncul jika kita mampu mengenali hal-hal yang benar, tepat, dan bertanggung jawab untuk dilakukan.Â