Mohon tunggu...
Okti Nur Risanti
Okti Nur Risanti Mohon Tunggu... Penerjemah - Content writer

Menulis adalah salah satu upaya saya dalam memenuhi misi mandat budaya.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Sengsara Membawa Nikmat

9 Agustus 2022   15:10 Diperbarui: 11 Agustus 2022   21:27 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sengsara (Sumber: shutterstock)

Pada era 90-an, era saat sinetron masih memiliki cerita yang apik dan masuk akal, ada sinetron terkenal yang diputar di salah satu stasiun televisi kita berjudul "Sengsara Membawa Nikmat". 

Kisahnya diangkat dari novel karya Tulis Sutan Sati, sastrawan angkatan Balai Pustaka, yang dirilis pada tahun 1929. 

Ceritanya sendiri berfokus pada lika-liku perjalanan hidup sang tokoh utama, Midun, yang tangguh dalam menjalani berbagai kesulitan hidup yang mendera, sampai akhirnya hidup memberikan ganjaran yang manis atas kejujuran dan kebaikan hatinya. 

Tak perlu berpanjang-panjang sampai puluhan, ratusan episode, apalagi bermusim-musim masa tayang, sinetron ini mengambil hati banyak orang karena jalinan cerita, akting para pemain, serta kualitas visualnya yang sangat baik pada masa itu.

Tema-tema cerita semacam "Sengsara Membawa Nikmat" mungkin sudah tak laku dijual saat ini, khususnya untuk sinetron-sinteron kita yang suka menyajikan cerita lebay, penuh intrik, dan njelimet tak karuan, meski tak jelas apa pesan moral dan tujuannya. 

Namun, terlepas dari tema-tema sastra, novel, buku, sinetron, film, bahkan mungkin karya-karya seni lain yang berbeda antara zaman dulu dengan sekarang.

Kita seharusnya juga bisa melihat bahwa memang ada perbedaan yang begitu besar antara karakter serta budaya generasi zaman dulu dengan generasi milenial saat ini.

Kita dulu terbiasa berjalan kaki atau naik sepeda ke sana ke mari. Sekarang, rasanya jarang melihat anak-anak usia sekolah berjalan kaki atau bersepeda ke sekolah atau tempat-tempat lain. 

Memang ada banyak alasan di balik itu. Jarak sekolah yang makin jauh dari rumah, bawaan yang semakin berat, jadwal pulang yang lebih sore/malam, cuaca yang lebih panas, tingkat kriminalitas yang lebih tinggi, jalanan yang yang kian tidak ramah pada pejalan kaki, banyak les dan kegiatan, dsb, yang membuat berjalan kaki menjadi kegiatan yang tidak efisien untuk dapat dilakukan lagi. 

Tetapi, sekarang, bahkan untuk berjalan kaki ke tempat yang dekat sekalipun, enggan dilakukan oleh kebanyakan orang.

Dulu, orang suka membaca dan menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan, tempat penyewaan buku, atau toko buku, karena buku menjadi sarana hiburan dan pengetahuan kita.  Sekarang, orang lebih suka melihat tampilan visual dibanding membaca teks. 

Mereka juga lebih suka berkunjung ke Google dibanding harus riset di perpustakaan atau buku-buku tebal. Seandainya pun harus membaca, generasi sekarang lebih suka yang singkat-singkat saja. 

Artikel panjang apalagi buku tebal, bukan pilihan. Ini sudah lama terasa dalam pekerjaan yang saya lakoni.

Ilustrasi gambar (Unsplash -Katerina Kerdi)
Ilustrasi gambar (Unsplash -Katerina Kerdi)

Untuk membuat konten medsos atau situs, saya mesti berusaha menulis teks yang pendek, ringkas, dan jelas. 

Milenial tidak suka baca teks panjang! Padahal, untuk punya pengertian dalam & benar, kita butuh belajar dengan cara membaca dari berbagai literasi dan teks yang panjang.

Dulu, kita lebih suka bermain ke rumah teman atau saudara, jalan-jalan ke banyak tempat, berolahraga, dan melakukan berbagai kegiatan di luar rumah yang membutuhkan banyak effort serta energi. 

Sekarang, tampaknya mayoritas generasi muda lebih suka berteman dengan gawai mereka dan tenggelam dalam berbagai aktivitas yang terdapat di dalamnya. 

Kalaupun ke luar rumah, mungkin tidak jauh dari cafe, mall, bioskop, atau tempat-tempat nongkrong ber-wifi, sembari tetap asyik dengan gawai masing-masing.

Dulu, orang tidak keberatan berproses karena sadar bahwa pembentukan karakter dan hasil terbaik diperoleh dari proses. Sekarang, generasi muda lebih suka berpikir bahwa kalau ada jalan pintas/cepat, kenapa harus bersusah payah?  

Kemajuan teknologi yang juga dibarengi dengan kemajuan ekonomi memang menjadikan hidup serba mudah bagi generasi milenial. Tapi, apakah itu berarti lebih baik? Apakah kemudahan hidup itu membuat generasi sekarang memiliki "kearifan" dan daya lenting yang lebih baik?

Rasanya sulit untuk menghasilkan generasi yang tangguh dan adaptif jika budaya mereka cenderung hanya mencari yang serba mudah, instan, cepat, dan tidak suka berproses. 

Contoh nyata dari hal ini bisa kita lihat pada fenomena mudahnya generasi muda sekarang berganti atau berpindah pekerjaan hanya karena merasa tidak cocok, tidak suka, dan tidak merasa nyaman di satu posisi atau satu tempat kerja, atau dengan semakin banyaknya generasi milenial yang belum menikah dan masih saja tinggal di rumah orang tua selepas usia 30 tahun-an.

Meski kita juga bisa melihat bahwa ada banyak inovasi, ide-ide, atau kemunculan berbagai start up baru yang berasal dari generasi milenial, tetapi tanpa disertai dengan karakter gigih, tangguh, dan mudah beradaptasi pada setiap situasi dan kondisi, mereka -- seperti dikatakan oleh Prof. Rhenald Khasali -- hanya akan menjadi generasi strawberry yang rapuh dan rentan. 

Dan, generasi yang rapuh lagi rentan ini sudah tentu bukan merupakan prospek yang cerah bagi masa depan bangsa, keluarga, atau komunitas apa pun.

Terus, bagaimana cara agar generasi muda bisa menjadi generasi yang tangguh dan memiliki daya lenting yang tinggi?

Berproses, berjuang, dan tidak merasa nyaman di zona nyaman. 

Di dalamnya termasuk juga mau melakukan hal-hal seperti: banyak membaca literasi yang bermutu, banyak bergaul secara real alias bukan hanya melalui dunia maya, banyak terlibat dalam berbagai organisasi, kegiatan sosial dan kemasyarakatan, atau komunitas, banyak belajar tentang berbagai hal, tidak mager-an alias malas, serta jangan suka terus berada di zona nyaman. 

Oh ya, satu lagi yang penting, belajar menahan kenikmatan.

Belajar menahan kenikmatan ini merupakan satu keterampilan yang perlu dilatih dan diasah oleh anak-anak sekarang agar tidak sedikit-sedikit butuh healing, sedikit-sedikit butuh self reward, dan sedikit-sedikit kena mental. Dengan mau menahan kenikmatan atau menahan diri, kita belajar untuk tidak manja dan mau berjuang lebih keras. 

Kita juga belajar untuk adaptif dengan kesulitan, ketidaknyaman, dan tantangan untuk menjadi pribadi yang tangguh dan tidak cengeng.

Lagi pula, saya suka agak bingung juga gitu terhadap mereka yang suka merasa dikit-dikit butuh healing, dikit-dikit mau self reward, dan dikit-dikit baperan. 

Bukannya belajar keras untuk menghadapi ujian, capek bekerja, dan dijulidin sama teman adalah kondisi yang selalu terjadi di bawah matahari, sehingga tidak perlu dipandang secara lebay sebagai kondisi yang mendegradasi kesehatan mental?

Nah, sekarang jadi paham kan mengapa novel sastra seperti "Sengsara membawa Nikmat" karya sastrawan Balai Pustaka tidak lagi muncul dalam tema-tema novel atau sinetron zaman now? 

Sebab, karakter Midun dengan segala perjuangan yang harus dilakoninya menjadi hal yang agak mustahil untuk menarik minat baca atau nonton generasi milenial. Itu hal yang halu buat mereka.

Namun, sungguh sangat penting buat generasi milenial untuk menyadari bahwa kesengsaraan itu bukan hal yang mutlak buruk dan perlu dijauhi. Justru melalui hidup yang mau berjuang, berproses, dan menahan diri akan menjadikan kita sebagai pemenang yang sesungguhnya. 

Jadi, apakah kemudahan selalu membuat manusia menjadi lebih baik?

Jawabannya, tidak.

Sebaliknya, sengsaralah sering kali yang justru membawa nikmat, seperti kata Tulis Sutan Sati. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun