Mohon tunggu...
Okti Nur Risanti
Okti Nur Risanti Mohon Tunggu... Penerjemah - Content writer

Menulis adalah salah satu upaya saya dalam memenuhi misi mandat budaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Netizen Indonesia, Hikmat, dan Meghan Markle

19 Maret 2021   18:00 Diperbarui: 19 Maret 2021   20:20 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Netizen Indonesia dinilai paling tidak sopan se-Asia Tenggara, menurut laporan Digital Civility Index (DCI).

Itu berita yang sudah basi.

Betul.

Tapi, sebenarnya tanpa laporan itu pun, sesungguhnya kita bisa melihat sendiri fakta dan kenyataan itu setiap hari di berbagai platform media sosial kita. Berbagai hujatan, cacian, makian, hinaan, bahkan fitnah sering terlontar dari para netizen Indonesia terhadap siapa pun. Mulai dari Presiden, politisi, pejabat, selebriti, aktor, aktris, penyanyi, selebgram, saudara, teman, tetangga, kakak, adik, atau bahkan kepada orang yang tidak bersalah dan punya kaitan apa pun. Jika ingin memiliki mental yang sehat, jauh-jauhlah dari membaca komentar para netizen di media sosial. Ngeri.

Alasan mengapa netizen kita ini sangat tidak sopan mungkin harus ditelisik dan diteliti lebih lanjut. Tetapi, kalau boleh sok tahu berpendapat, saya rasa salah satu penyebabnya karena sistem pendidikan kita yang sejak awal kurang memberi ruang pada peserta didik untuk aktif berpartisipasi dalam memberikan pendapat, dalam mengungkapkan ide-ide, dalam melakukan presentasi, dalam berdiskusi dan berdialog, dan dalam berdebat.

Bertahun-tahun hanya duduk pasif sebagai pendengar dan pencatat, mungkin memberikan sumbatan mahabesar yang akhirnya keluar pada saat masyarakat kita ini memberikan komentarnya di media sosial, pada atau terhadap siapa pun yang tidak dikenan atau disukainya. Bahkan, kepada pemeran antagonis dari sebuah sinetron atau drakor yang notabene hanya cerita fiksi, bukan pribadi dalam kehidupan nyata.

Ampun.

Atau, mungkin juga karena para netizen merasa media sosial adalah ruang virtual di mana mereka boleh berlaku suka-suka, boleh berbicara apa saja karena tidak bertemu secara fisik, karena tidak kenal, karena sangat reaktif, karena tidak/kurang bisa menerima perbedaan, kurang memiliki wawasan, kurang literasi, atau karena netizen kurang (atau tidak) berhikmat dalam bermedia sosial.

Apa pun alasannya, ada persoalan mendasar yang rasanya perlu dibenahi oleh sistem pendidikan dan sistem sosial kita. Sebagai bangsa, sebagai masyarakat, sebagai keluarga, sebagai pribadi, kita masih perlu banyak belajar. Dan, berhikmat.

Nah, terkait dengan hikmat dalam bermedia sosial, beberapa minggu lalu saya menerjemahkan sebuah artikel dari satu situs luar negeri yang cukup terkemuka tentang bahaya dari doomscrolling. Istilah doomscrolling sendiri berasal dari artikel dalam Merriam-Webster "Words We Watching". Dalam artikel tersebut, doomscrolling digambarkan sebagai "kecenderungan untuk terus berselancar atau menelusuri berita negatif, meskipun berita itu menyedihkan, mengecilkan hati, atau menyedihkan." 

Fenomena doomscrolling sesungguhnya bukan hal baru, tetapi memang perkembangan teknologi memperbesar kesempatan kita untuk mengakses pada berita-berita semacam itu.

Apa hubungan doomscrolling dengan konteks netizen kita?

Dalam artikel tersebut disebutkan betapa berbahayanya terus menerus melihat berita-berita "negatif" yang tersedia di media sosial atau platform lainnya. Saat mata kita melihat gambar dan berita yang didominasi tentang kebencian dan kejahatan, pikiran dan hati kita akan menafsirkan dan menelannya. Jika tidak berhati-hati, jiwa kita mulai dibentuk oleh kegelapan yang kita konsumsi. Doomscrolling pada akhirnya akan menjadi kebiasaan yang mengubah penderitaan sesama kita menjadi hiburan kita.

Ke mana mata kita suka melihat selama ini? Jika kita suka melihat pada konten-konten yang negatif, destruktif, tidak membangun atau mengembangkan nilai-nilai positif dalam diri, kita akan menjadi manusia-manusia yang lebih menyukai kebusukan daripada kebaikan, kehancuran dibanding perkembangan, dan yang palsu dibanding kesejatian.

Mari menganggap serius kebiasaan digital kita. Mari berbalik dari kebiasaan suka melihat konten-konten negatif dan tidak bermanfaat yang hanya membawa dampak buruk bagi diri kita. Sebaliknya, mari mengalihkan pandangan ke sesuatu yang lebih baik, yang lebih berguna, mulia dan bermanfaat. Dibanding menghabiskan banyak waktu untuk membaca postingan media sosial orang lain atau berita-berita gosip yang tidak membangun, lebih baik kita membaca buku-buku atau artikel-artikel yang memberi pengetahuan  bermanfaat.  Dari situ, kita mungkin akan menjadi pribadi-pribadi yang lebih berhikmat, yang mampu memfilter apa-apa yang baik, dan membuang segala sesuatu yang buruk. Dan, dari sana kita pun mungkin jadi bisa memandang segala sesuatu dengan kaca mata yang lebih masuk akal, lebih berwawasan, lebih rasional, dan pada akhirnya (bila diperlukan) mampu menanggapi atau memberi komentar dengan bijak dan benar.

Eh, lalu apa hubungan Meghan Markle dengan semua pembicaraan di atas?

Tidak ada sebenarnya. Tetapi, ada satu postingan kocak di Instagram yang menghubungkan The Duchess of Sussex ini dengan netizen Indonesia sesudah wawancaranya dengan Oprah yang menghebohkan jagad media berita beberapa waktu lalu. 

Menurut postingan tersebut, untunglah Meghan Markle hidup di Inggris, bukan di Indonesia. Sebab, jika dia hidup di Indonesia, pasti akan jauh lebih stres menghadapi komentar, meme, atau postingan netizen Indonesia yang nyinyir bin julid dibanding menghadapi pers Enggres. Hahaha....

Trus, apa juga hubungan hikmat dengan Meghan Markle?

Hhm, kurang sih. Maksud saya, kurang berhikmat

Ha?

Iya, soalnya, kalau Meghan Markle ini cukup berhikmat, dia tidak akan mengatakan apa yang dinyatakannya terkait sang ipar dalam acara tersebut, meski dalam wacana "to tell the truth" agar dia tidak terus menerus disalahpahami oleh banyak orang terkait dengan pemberitaan yang tersebar.

Meluruskan persoalan dengan cara mengungkit luka lama atau persoalan yang sebenarnya sudah selesai, menyebut nama atau menunjuk seseorang pada sorotan seluruh dunia untuk ikut terseret dalam hal yang tidak dimulainya, bukanlah hal yang baik apalagi bijaksana. Itu justru akan memunculkan persoalan dan luka-luka baru. Kecuali, jika ternyata memang hal itu sengaja dinyatakan karena ada tendensi atau "maksud" lain dari sana.

Nah, lihat kan, rupanya saya juga sudah terpengaruh dengan doomscrolling dari pemberitaan masif perihal The Royal Family.  Duh.

Baiklah, lebih baik saya cepat-cepat mengakhiri tulisan ini sebelum menjadi lebih julid.

Yuk, kita jadi netizen yang lebih berhikmat sesudah ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun