Nah, terkhusus untuk Chinese food, Solo memang jelas lebih unggul dari Yogya. Saya kurang tahu sebabnya, tapi mungkin terkait dengan sejarah, komunitas, dan jumlah pedagang makanan Chinese di Solo yang sangat berbeda dari Yogya.Â
Ada lebih banyak komunitas Tionghoa di Solo dibanding di Yogya, yang sedikit banyak pasti berpengaruh dalam pengembangan resto dan makanan Chinese yang ada.
Sementara, untuk mie ayam dan bakso lokal sendiri, Solo punya keunggulan terkait dengan kedekatan wilayahnya dengan Wonogiri, yang notabene memang jadi daerah penghasil pedagang mie ayam dan bakso di seluruh Indonesia.Â
Alhasil, ada banyak sekali warung bakso dan mie ayam murah meriah dan harga merakyat a la wonogiri di Solo.
Sekarang, soal jenis makanan tradisional yang dimiliki. Yogya umumnya terkenal dengan gudeg, bakpia, bakmi jawa dari Gunung Kidul, tiwul. Apa lagi? Mungkin ada lainnya yang belum saya sebutkan, tapi saya tidak banyak tahu.Â
Sementara, Solo punya gudeg (yang berbeda dari gudeg Yogya), nasi liwet, selat solo, sate kere, timlo solo, pecel ndeso (pecel dengan nasi merah dan sambal wijen), cabuk rambak, bakmi thoprak, tahu kupat, sosis solo, bakmi acar, mie kopyok, sate buntel, mentho, dan soto kwali. Asing dengan nama-nama itu? Sekali waktu jika memiliki kesempatan untuk berkunjung ke Solo, cobalah makanan-makanan tersebut.Â
Yogya memang lebih unggul untuk urusan destinasi wisata, tapi untuk urusan wisata kuliner, kota Solo rasanya lebih punya banyak keseruan untuk dicicipi.
Banyaknya jenis makanan tradisional yang dimiliki Solo mungkin disebabkan karena sejarah perdagangan yang maju di kota Solo sejak dulu, di mana budaya membeli makan dari para pedagang luar mempengaruhi budaya jajan warga Solo. Selain itu, konon kedekatan Kraton Solo dengan Belanda juga berpengaruh dalam terciptanya beragam jenis makanan perpaduan barat dan Jawa. Awalnya, makanan perpaduan ini dikembangkan dari dalam dapur kraton, tetapi lama kelamaan, resep dari dalam dapur kraton itu sampai juga ke tengah masyarakat, dan kemudian dikembangkan sesuai dengan lidah dan selera warga. Selat dan sosis solo adalah contoh dari perpaduan selera barat dan Jawa ini. Sementara, kraton Yogya yang tidak memiliki kedekatan dengan Belanda, pada akhirnya menjadi lebih firm dengan selera tradisional yang terlihat dari jenis makanan khas yang dimilikinya.
Tahu istilah keplek ilat? Itu adalah istilah khas untuk orang Solo yang terkenal suka jajan. Dan memang, sampai sekarang budaya keplek ilat atau gemar jajan ini sangat terasa di kota Solo.Â
Hampir setiap orang di Solo suka jajan dan membeli makan di luar, baik secara perorangan maupun bersama keluarga. Kita tidak akan asing menemui fenomena ini setiap hari di Solo, mulai dari pagi hingga dini hari.Â
Orang Solo juga terkenal suka menjamu tamu dengan jajan di luar atau membeli makanan dari luar. Itu sebabnya mengapa ada lebih banyak warung dan kedai makan yang bertebaran di Solo, yang bisa kita lihat di sepanjang jalan dan wilayah.