Mohon tunggu...
Okti Nur Risanti
Okti Nur Risanti Mohon Tunggu... Penerjemah - Content writer

Menulis adalah salah satu upaya saya dalam memenuhi misi mandat budaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berinvestasi pada Orang

19 Agustus 2019   19:55 Diperbarui: 20 Agustus 2019   11:21 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari lalu, saya menghadiri pemakaman seorang kerabat. Karena sudah bertahun-tahun meninggalkan Jakarta, otomatis ada banyak wajah yang sudah jarang atau malah tidak pernah lagi saya temui. 

Baru dalam prosesi pemakaman tersebut saya kembali dapat melihat beberapa pribadi yang dulu cukup familiar dalam kehidupan saya. Dan, saya cukup terkejut melihat perubahan yang terjadi pada mereka.

Pertama, perubahan fisik. Beberapa orang yang saya lihat dulu adalah orang-orang yang sehat, bugar, dan kuat, saat ini sudah tampak sangat "sepuh" dan mengalami penurunan fisik yang amat drastis. 

Yang kedua, perubahan kondisi. Banyak pribadi yang saya kenal dulu mengalami kejayaan hidup, sekarang mengalami situasi dan kondisi yang sulit. Tentu saja, perubahan itu terjadi disebabkan karena pertambahan usia, penyakit, dan perubahan musim kehidupan yang mereka alami. Dan, mungkin, jika saya sering berjumpa dengan mereka atau selalu mengetahui kabar mereka secara berkala, perubahan yang terjadi tidak akan terlalu mengejutkan saya.

Namun, hal itu malah menimbulkan pertanyaan yang cukup dalam tentang arti hidup di benak saya.

Betapa singkat dan rapuhnya hidup manusia. Seperti bunga yang kemarin menguncup, hari ini mekar dan besok layu. Sekuat, sebugar, atau sejaya apa pun kita, pada akhirnya kita akan mengalami penurunan sebelum dijemput ajal. 

Hari ini kita bisa saja tertawa dan bahagia, tetapi siapa yang mengetahui apa yang akan kita alami besok, bulan depan, sepuluh, dua puluh tahun lagi? Lalu, apa arti dari kehidupan yang sekejap dan terkadang berakhir dengan nelangsa itu?

Maksud saya, apa artinya segala usaha dan jerih payah yang kita lakukan jika pada akhirnya itu harus kita tinggalkan? Apa manfaat dari kerja keras, usaha, perbuatan, ketekunan, dan segala pencapaian yang sudah kita hasilkan jika akhirnya kita tetap harus mengalami sakit, perubahan fisik, mental, semangat, dan kemampuan, sebelum akhirnya mati? Apa arti hidup kalau begitu? Apa maksud dari keberadaan kita yang singkat di dunia ini? 

Untuk apa kita bersusah payah dalam bekerja keras, berjuang, mencapai ini dan itu, berusaha menjadi ini dan itu, tetapi kemudian tetap tidak berdaya melawan usia dan maut? Inikah yang dimaksud oleh Salomo saat ia berkata, "Aku telah melihat segala perbuatan yang dilakukan orang di bawah matahari, tetapi lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin."?

Saya bukan tidak pernah mendengar pepatah "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan nama?" Tapi, sekali lagi, apa artinya "nama baik" dalam dunia yang fana ini, kecuali diingat dalam sejarah, yang itu pun tak dapat kita atau orang lain nikmati secara nyata? Meninggalkan nama baik jadi terasa absurd untuk menjawab pertanyaan apa arti hidup. 

Bagi saya, jawaban pertanyaan itu pastilah bukan cuma sekadar untuk meninggalkan nama baik, yang bahkan bisa diartikan dalam berbagai cara dan konteks. Mestinya, ada yang lebih berarti dan bermakna pada tujuan keberadaan kita di dunia dibanding hanya meninggalkan nama atau prestasi baik, apalagi materi yang fana.

Lalu, saya teringat pada perkataan seorang teman. Sesungguhnya, pada waktu pemikiran itu diutarakan, saya pikir itu adalah konsep yang aneh. Tetapi, isu itu kok justru terasa relevan untuk menjawab pertanyaan mengenai arti hidup pada pemakaman saat itu.

Pada saat itu, kami sedang berbincang tentang investasi. Dan, teman ini menyatakan bahwa ia tidak pernah tertarik untuk berinvestasi pada materi, baik dalam bentuk uang, properti, emas, saham, maupun apa pun yang sifatnya untuk mencari keuntungan atau sebagai jaminan masa depan. Ia mengatakan bahwa ia lebih suka berinvestasi pada orang.

Berinvestasi pada orang? Apa maksudnya? Seumur-umur, baru saat itu saya mendengar tentang ide atau pemikiran semacam ini.

Menurutnya, berinvestasi pada orang artinya ia mengarahkan waktu, upaya, tenaga, kemampuan, bahkan materinya untuk kemajuan orang lain, alias membantu perkembangan orang lain. 

Tujuannya adalah supaya orang yang dibantunya itu itu kelak akan dapat mengembangkan diri untuk menghasilkan kebaikan dan manfaat pada yang lainnya lagi. 

Caranya? Ya, dengan memberi dana, keterampilan dan kepandaian, bimbingan, pembelajaran, mentoring, serta upaya-upaya yang akan menghasilkan perubahan hidup dan karakter dari pribadi yang dibantunya, yang tentu disesuaikan dengan konteks kebutuhan dari yang bersangkutan serta kemampuannya sendiri dalam memberi dukungan.

Lalu, apa manfaat yang diperoleh dari sang teman ini dengan menginvestasikan apa yang dimilikinya kepada orang lain?

Secara finansial atau kepentingan pribadi, tentu tidak ada, karena untuk berinvestasi pada orang lain, dia justru harus bersedia "dirugikan" dalam hal materi, waktu, pikiran, perasaan, tenaga, bahkan harapan jika hasilnya tidak sesuai dengan tujuan awalnya. Namun, dia percaya, hanya dengan begitu dia bisa membuat hidupnya berarti, demikian juga hidup orang lain. Dia mungkin tidak merasakan manis dari apa yang sudah ditaburkannya, tetapi dia percaya benih yang dia tabur akan menjadi sesuatu yang manis buat orang lain, bahkan mendukung "tujuan" yang lebih besar.

Waktu mendengar pemikirannya, saya langsung menganggap itu sebagai ide yang aneh, terlalu "holy", merugikan, dan sulit untuk diterapkan dalam kenyataan. Saya pun tidak berlama-lama memikirkan isu tersebut karena menganggapnya tidak membumi, meski kebenaran dan kebajikannya tidak dapat disangkal.

Sampai kemarin, dalam acara pemakaman ketika saya sedang berpikir tentang arti hidup. Baru pada saat itu, saya mampu memikirkan kebenaran dan kedalaman dari ucapannya. Itu dia. Berinvestasi kepada hidup orang lain. Satu ide untuk membuat hidup ini berarti.

Memang, tidak ada keuntungan atau jaminan masa depan yang kita dapatkan dengan berinvestasi kepada orang lain jika memang ketulusan yang menjadi dasar, alias tanpa tendensi untuk mendapat balas jasa atau keuntungan di kemudian hari. Kita akan tetap mengalami kesakitan, kesulitan, penderitaan, atau kemunduran yang sama seperti yang dialami semua orang, dan tak pelak lagi kematian.

Mungkin sekali, kita justru akan lebih menderita dibanding orang-orang yang sudah menyiapkan diri dengan finansial yang dihasilkan sebagai jaminan masa depannya. Jangan lupa, juga selalu ada risiko disakiti dan dikecewakan oleh orang-orang yang sudah kita bantu. Kita toh masih hidup di dunia yang penuh dengan dosa dan kejahatan. Tak ada yang dapat menjamin bahwa kita tidak akan menjadi korban atau sasaran dari kejahatan.

Tetapi, kita juga tahu dan percaya, kebaikan tidak pernah berakhir sia-sia. Seperti pohon yang pada akhirnya akan menua dan mati, buahnya akan tetap dapat dinikmati kelak melalui benih yang terkandung di dalam bijinya.  

Harta, tahta, kuasa, kesehatan, nama baik, prestasi, atau semua yang kita capai pada akhirnya akan lenyap. Namun, kebaikan yang kita berikan akan selalu menghasilkan kebaikan baru yang bermanfaat bagi yang lain. Dan, itu tidak akan terjadi jika kita hanya memikirkan keuntungan atau kebaikan diri sendiri, termasuk mencari nama harum bagi diri sendiri.

Lagipula, pada akhirnya, bukan seberapa lama kita hidup. Apa yang sudah kita perbuat dengan hidup itulah yang terpenting. Dan, membuat hidup ini berdampak baik bagi hidup orang lain sungguh adalah tujuan yang hanya dihasilkan oleh orang-orang berjiwa dan berkarakter emas.  
 
Saya terharu dalam acara pemakaman kemarin, melihat serta mendengar kesedihan dan kesaksian dari keluarga yang ditinggalkan. Kebaikan dan dampak seseorang terkadang memang baru disadari dalam momen-momen semacam itu.

Saya terberkati saat pulang dari pemakaman kemarin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun