Mohon tunggu...
Okti Nur Risanti
Okti Nur Risanti Mohon Tunggu... Penerjemah - Content writer

Menulis adalah salah satu upaya saya dalam memenuhi misi mandat budaya.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Membuang Sampah dan Menjadi Negara Maju

20 Juni 2019   22:24 Diperbarui: 20 Juni 2019   22:54 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pernah baca buku Seikatsu Kaizen karangan Susy Ong? Kalo belum, baca deh. Saya tidak akan banyak bercerita tentang buku itu. Tapi, jika Anda ingin tahu bagaimana Jepang bisa menjadi negara maju, buku itu bisa menjadi salah satu referensi yang ok.

Nah, berangkat dari buku itu, saya jadi semakin sadar, bahwa dasar kemajuan dari satu bangsa adalah kesadaran dari setiap anggota masyarakatnya untuk memiliki jiwa dan rasa tanggung jawab sosial. Jiwa dan perasaan tanggung jawab sosial itu kemudian melahirkan berbagai budaya dan perilaku yang positif dan membangun, yang bertujuan mengupayakan kemajuan bersama. Tanpa memiliki budaya dan perilaku demikian dari mayoritas masyarakatnya, akan sulit sekali bagi suatu bangsa untuk meraih kemajuan. Mengapa demikian?

Jawabannya mudah saja. 

Sifat egois, tidak peduli, dan hanya memikirkan kepentingan sendiri merupakan toksik yang menghambat kemajuan, baik secara pribadi maupun sebagai bangsa.

Sebagai contoh, perilaku membuang sampah. Membuang sampah pada tempatnya mungkin bukan merupakan hal yang rumit, tetapi kesadaran yang ada di balik perilaku itu memperlihatkan betapa tinggi pemikiran yang ada di baliknya. 

Selain menjaga kebersihan dan keindahan lingkungan, budaya membuang sampah pada tempatnya juga didasari pada pemikiran yang memikirkan kepentingan dan kenyamanan bersama. Membuang sampah di sembarang tempat karenanya disadari sebagai perilaku yang tidak bertanggung jawab, tidak berpikir jauh ke depan, merugikan kepentingan yang lain, tidak memiliki rasa estetis, serta kebiasaan yang akan menimbulkan dampak merusak ke depan.

Bayangkan, jika untuk masalah sekecil itu saja, setiap orang bisa berpikir secara dalam, jauh, dan luas untuk kepentingan bersama. Bagaimana jadinya jika menyangkut masalah yang lebih kompleks dan rumit? Ajaran agama saya mengatakan, "Siapa pun yang setia dalam hal-hal yang kecil, ia juga setia dalam hal-hal yang besar. Dan, siapa pun yang tidak jujur dalam hal-hal yang kecil, ia juga tidak jujur dalam hal-hal yang besar."

Jadi, jika dalam hal membuang sampah saja seseorang bisa bertanggung jawab, terlebih lagi jika ia diserahi urusan-urusan yang lebih besar. Menjadi guru, menjadi aparat negara, menjadi atlet, menjadi dosen, menjadi staf, menjadi pimpinan, menjadi manajer, menjadi jaksa, menjadi hakim, menjadi menteri, menjadi pekerja bangunan, menjadi kontraktor, menjadi petugas pajak, menjadi pemeriksa keuangan, menjadi rohaniwan, menjadi orang tua, menjadi warga negara yang baik. 

Semua peran akan dijalani dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Negara pun mengalami dampak yang baik dari hal ini.

Tentu saja, saya bukan bicara tentang utopia, atau negeri di awan. Saya bukannya naif untuk menyadari bahwa bahkan di negara paling maju pun tetap memiliki masalah sosial, etika, moral, korupsi, kecurangan, kejahatan, ketidakadilan, atau penindasan. Sering kali, yang kuat akan semakin kuat sementara yang lemah akan terus terpuruk dan tidak berdaya. Kita toh memang masih di dunia, belum di surga. 

Dan, selama masih ada di dunia, realitas keburukan semacam itu akan terus kita jumpai di mana pun, baik di negara miskin, berkembang, bahkan di negara maju sekali pun.

Tetapi, kita semua toh juga bisa melihat, beberapa negara bisa menjadi maju karena sistem sudah berjalan dengan baik di sana. Apa yang menjadi kesepakatan sosial dijalankan dengan baik oleh berbagai pihak dan pemangku kepentingan sehingga setiap orang bisa merasakan manfaat atasnya.

Bandingkan dengan yang terjadi di negara-negara dunia ketiga atau negara-negara miskin dan terbelakang. Hanya segelintir orang yang dapat merasakan kesejahteraan, sementara yang lain hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan.

Bukannya itu berarti masalahnya adalah penindasan? Ya, benar. Tapi, jangan lupa, dalam situasi penindasan terkandung sifat ketidakadilan, ketidakjujuran, yang berpangkal dari sifat egois dan mementingkan diri sendiri. Meski ini memang masalah yang lebih kompleks dari sekadar kesadaran lingkungan atau kebersihan dalam persoalan membuang sampah, tapi ada benang merah di dalamnya. Ketidakmampuan untuk peduli pada yang lain, untuk memikirkan kepentingan bersama.

Itu sebabnya, di sisi lain saya tidak habis pikir kalau mendengar sekelompok orang suka menyalahkan negara lain, bangsa lain, etnis lain, atau orang lain, atas segala kondisi yang terjadi, seperti yang kerap terjadi di negeri ini. 

Sadar ga sih, kalau dari dulu kita selalu kalah oleh penjajah karena kita sulit bersatu menafikan segala perbedaan dan kepentingan sehingga menjadi begitu mudah untuk diadu domba? Sadar ga sih, kalau masih banyak daerah tertinggal di negeri ini setelah bertahun-tahun merdeka yang justru disebabkan oleh ulah sekelompok orang dari bangsa kita sendiri, yang memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan diri, keluarga, partai, golongan, atau kaumnya sendiri? 

Sadar ga sih, kalau kita terlalu banyak menghabiskan waktu untuk mencaci, mencela, mem-bully, menyebarkan kebencian atau kemarahan dibanding menjadi orang yang berhikmat, bijak, dan memilih untuk melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat serta membangun?

Oh ya, mengapa juga kita kerap bersikap reaktif menyalahkan Malaysia, yang menurut kita suka mengaku-aku kepunyaan kita sebagai milik mereka, sementara kita sendiri sebenarnya abai terhadap budaya atau apa yang kita miliki? Mengapa harus menyalahkan Belanda, Jepang, Amerika, Yahudi, Cina, konspirasi asing, kalau kita sendiri ternyata belum mampu membuang sampah pada tempatnya? 

Bisa-bisanya kita selalu mengarahkan telunjuk pada yang lain, sementara mengusahakan lingkungan yang bersih, nyaman, indah, sehat, dan enak dipandang saja kita tidak bisa. Jangan marah juga kalau kelak penduduk dari negara-negara itu nanti sudah pindah ke Mars, sementara kita terus saja tinggal di bumi yang sekarat sembari masih berteriak, "Curang, curang," atau "Tidak adil!"

Ada banyak pekerjaan yang mesti kita kerjakan untuk mengejar segala ketertinggalan. Internet of things sudah di depan mata. Dan, sementara kita masih kepayahan mengejar industri 4.0, Jepang sudah siap menerapkan Society 5.0. Jika kita masih saja memiliki pola pikir lama yang tradisional, sempit, timid, dan egois, maka menjadi bangsa maju adalah halusinasi semata. Kondisi yang terjadi pada sebagian penduduk bumi dalam film Elysium, jangan-jangan akan menjadi analogi yang menimpa kita.

Nah, mulai besok, mari membuang sampah pada tempatnya. Mari kita mulai peduli, dan bertanggung jawab.

Itu adalah satu langkah menuju kemajuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun