Pernah baca buku Seikatsu Kaizen karangan Susy Ong? Kalo belum, baca deh. Saya tidak akan banyak bercerita tentang buku itu. Tapi, jika Anda ingin tahu bagaimana Jepang bisa menjadi negara maju, buku itu bisa menjadi salah satu referensi yang ok.
Nah, berangkat dari buku itu, saya jadi semakin sadar, bahwa dasar kemajuan dari satu bangsa adalah kesadaran dari setiap anggota masyarakatnya untuk memiliki jiwa dan rasa tanggung jawab sosial. Jiwa dan perasaan tanggung jawab sosial itu kemudian melahirkan berbagai budaya dan perilaku yang positif dan membangun, yang bertujuan mengupayakan kemajuan bersama. Tanpa memiliki budaya dan perilaku demikian dari mayoritas masyarakatnya, akan sulit sekali bagi suatu bangsa untuk meraih kemajuan. Mengapa demikian?
Jawabannya mudah saja.Â
Sifat egois, tidak peduli, dan hanya memikirkan kepentingan sendiri merupakan toksik yang menghambat kemajuan, baik secara pribadi maupun sebagai bangsa.
Sebagai contoh, perilaku membuang sampah. Membuang sampah pada tempatnya mungkin bukan merupakan hal yang rumit, tetapi kesadaran yang ada di balik perilaku itu memperlihatkan betapa tinggi pemikiran yang ada di baliknya.Â
Selain menjaga kebersihan dan keindahan lingkungan, budaya membuang sampah pada tempatnya juga didasari pada pemikiran yang memikirkan kepentingan dan kenyamanan bersama. Membuang sampah di sembarang tempat karenanya disadari sebagai perilaku yang tidak bertanggung jawab, tidak berpikir jauh ke depan, merugikan kepentingan yang lain, tidak memiliki rasa estetis, serta kebiasaan yang akan menimbulkan dampak merusak ke depan.
Bayangkan, jika untuk masalah sekecil itu saja, setiap orang bisa berpikir secara dalam, jauh, dan luas untuk kepentingan bersama. Bagaimana jadinya jika menyangkut masalah yang lebih kompleks dan rumit? Ajaran agama saya mengatakan, "Siapa pun yang setia dalam hal-hal yang kecil, ia juga setia dalam hal-hal yang besar. Dan, siapa pun yang tidak jujur dalam hal-hal yang kecil, ia juga tidak jujur dalam hal-hal yang besar."
Jadi, jika dalam hal membuang sampah saja seseorang bisa bertanggung jawab, terlebih lagi jika ia diserahi urusan-urusan yang lebih besar. Menjadi guru, menjadi aparat negara, menjadi atlet, menjadi dosen, menjadi staf, menjadi pimpinan, menjadi manajer, menjadi jaksa, menjadi hakim, menjadi menteri, menjadi pekerja bangunan, menjadi kontraktor, menjadi petugas pajak, menjadi pemeriksa keuangan, menjadi rohaniwan, menjadi orang tua, menjadi warga negara yang baik.Â
Semua peran akan dijalani dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Negara pun mengalami dampak yang baik dari hal ini.
Tentu saja, saya bukan bicara tentang utopia, atau negeri di awan. Saya bukannya naif untuk menyadari bahwa bahkan di negara paling maju pun tetap memiliki masalah sosial, etika, moral, korupsi, kecurangan, kejahatan, ketidakadilan, atau penindasan. Sering kali, yang kuat akan semakin kuat sementara yang lemah akan terus terpuruk dan tidak berdaya. Kita toh memang masih di dunia, belum di surga.Â
Dan, selama masih ada di dunia, realitas keburukan semacam itu akan terus kita jumpai di mana pun, baik di negara miskin, berkembang, bahkan di negara maju sekali pun.