Kekerasan seksual merupakan kejahatan seksual yang secara umum merupakan perbuatan yang melanggar kesusilaan yang merusak kesopanan dan perbuatannya tidak atas kemauan si korban melalui ancaman kekerasan (Marpaung, Leden, 2004: 7). Korban kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapa saja, dalam hal ini berarti korban kekerasan seksual terjadi pada setiap gender dan tidak memandang usia.Â
Kekerasan seksual dapat terjadi di manapun dan kapanpun. Kekerasan seksual menunjuk kepada setiap aktivitas seksual, bentuknya dapat berupa penyerangan atau tanpa penyerangan. Kategori penyerangan, menimbulkan penderitaan berupa cedera fisik, kategori kekerasan seksual tanpa penyerangan menderita trauma emosional. Bentuk-bentuk kekerasan seksual dapat berupa dirayu, dicolek, dipeluk dengan paksa, diremas, dipaksa onani, oral seks, anal seks, dan diperkosa (Maidin Gultom, 2014:3).
 Berdasarkan data CaTahu Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual pada tahun 2020 sebanyak 590 kasus yang mana data tersebut bersumber dari data pengaduan secara langsung kepada Komnas Perempuan. Catatan Tahunan Komnas Perempuan menunjukkan tingkat kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Dari data tersebut kita dapat melihat peningkatan jumlah kekerasan seksual di Indonesia setiap tahunnya.
Seiring waktu, kekerasan sosial menjadi pemberitaan yang sering kita dengar dan baca pada media massa online, televisi, dan media sosial. Produk perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, seperti Instagram, Twitter, Whatsapp, dan Facebook mendukung peningkatan informasi mengenai kekerasan seksual.Â
Namun, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga menyebabkan bertambahnya kasus kekerasan seksual dalam bentuk pesan teks atau dikenal istilah baru, yaitu sexting.
Pada 3 bulan terakhir di 2021 di masa transisi pandemi Covid-19 muncul banyaknya berita kasus kekerasan seksual. Terdapat berita hangat di bulan Desember 2021 mengenai kasus pelecehan seksual terhadap peserta didik. Seperti yang dikatakan sebelumnya, kekerasan seksual dapat terjadi kepada siapa saja, tidak memandang umur. Saya akan membahas dua kasus pelecehan seksual terhadap peserta didik yang banyak beredar di media sosial dan media massa online. Â
Kasus pertama adalah kasus pemerkosaan oleh pemilik pondok pesantren di daerah Bandung kepada beberapa santri. Kekerasan seksual tersebut dilakukan oleh pemilik pondok pesantren, yaitu Herry Wirawan. Ia melakukan pemerkosaan kepada 12 santrinya yang rentang usianya 13-16 tahun dan diketahui 8 santri telah hamil. Kejadian ini berlangsung dari tahun 2016 hingga 2021. Informasi ini didapat dari akun twitter Nongandah yang ia tuliskan  pada 7 Desember 2021.
Kemudian, kasus berikutnya terjadi kepada beberapa mahasiswa di universitas daerah Jakarta. Informasi ini didapat dari media sosial twitter, salah satu mahasiswa mengirimkan screenshoot ruang chat dia dengan dosen pembimbingnya di kolom komentar di salah satu akun base. Dalam chat tersebut, dosen pembimbingnya mengirim pesan yang mengarah pada ranah seksual. Hal ini dikatakan dosen tersebut melakukan pelecehan seksual dalam bentuk sexting. Dari satu mahasiswa yang berani speak up tentang dosen pembimbingnya itu, muncullah korban-korban lain dengan pelaku yang sama.
Dari kedua kasus tersebut saya ingin mengaitkannya dengan pandangan teori struktur fungsional dari Emile Durkheim. Emile Durkheim salah satu tokoh dari teori sosiologi klasik mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan di mana di dalamnya terdapat bagian-bagian yang dibedakan.Â
Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing-masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Dalam buku Sosiologi Pendidikan karya Dian dan Siswanto (2021: 24), teori struktur fungsional dari Durkheim, lebih menekankan order sosial dan mengabaikan konflik atau masyarakat bergerak statis dan seimbang.
Durkheim mengatakan bahwa kokohnya masyarakat terjadi karena tegaknya hukum dan berfungsinya sistem pendidikan serta terjadinya sosialisasi utama keluarga. Fungsi sistem pendidikan menjadi salah satu faktor integrasi masyarakat. Terkait dengan pendidikan, fungsi pendidikan dari pandangan teori struktur fungsional, yaitu sebagai berikut: