[caption id="attachment_381703" align="aligncenter" width="404" caption="HM Sani (Photo: riaukepri.com), Soerya Respationo (Photo:tanjungpinangpos.co.id"][/caption]
Memilih adalah perkara membedakan antara dua atau banyak pilihan. Dari pembedaan itu barulah kita putuskan hal mana yang akan kita pilih. Tentunya, kita menginginkan pilihan kita benar-benar yang terbaik. Sebisa mungkin pilihan itu membawa berkah kehidupan, bukan mudharat atau musibah bagi diri dan lingkungan.
Sudah hukumnya setiap pilihan punya resiko yang tak gampang. Apalagi memilih seorang pemimpin yang nanti bakal jadi panutan. Dua sosok yang dipastikan bertarung di Pilkada, HM Sani dan HM Soerya, adalah calon kuat pemimpin masyarakat Kepulauan Riau periode mendatang (2016-2021). Kepada salah satu dari keduanya, nasib jutaan masyarakat Kepri akan dipertaruhkan.
Karena itu, di Pilkada nanti masyarakat Kepri sebenarnya akan menentukan nasibnya sendiri. Nasib baik atau buruk tergantung pada pilihan saat berada di bilik suara. Dengan kata lain: 5 menit kita memilih, manfaat atau mudharatnya akan terasa sampai 5 tahun mendatang.
Di sini saya akan menyunting sekelumit perbedaan antara HM Sani dan HM Soerya. Disebut sekelumit karena saya yakin masih terdapat segudang perbedaan dari kedua sosok tersebut. Pembedaan itu dapat ditelusuri ke berbagai sumber sehingga betul-betul dapat dipertanggungjawabkan.
Beda Sani & Soerya
Pertama, latar belakang. Faktor ini penting sebagai bahan pertimbangan. Sani adalah sosok birokrat sejati yang memulai karir dari bawah. Jabatan pertamanya sebagai camat Mandau. Setelah itu, berbagai jabatan dijalaninya termasuk dipecaya menjadi Wali Kota Tanjungpinang, Bupati Karimun, Wakil Gubenur dan sekarang Gubenur Kepulauan Riau. Warga kelahiran Kundur 1942 ini telah membuahkan beberapa karya, termasuk tulisan hasil ceramahnya (khatbah) di pelbagai masjid.
Soerya adalah politisi PDIP yang pernah berkarir sebagai pengacara. Karir politiknya dimulai dari kader PDIP, pengurus PAC Batam, Ketua DPP PDIP, anggota DPRD Batam, Ketua DPRD Batam dan kini Wakil Gubernur Kepulauan Riau. Pria kelahiran Semarang Jawa Tengah tahun 1959 ini dikenal dekat dengan dan mengakui dirinya preman. (lihat: http://batamtvnews.com/berita/2581/pilgub-kembali-ke-dprd-tidak-akan-mulus.html).
Kedua, pengalaman kepemimpinan. Baik HM Sani maupun Soerya merupakan sosok incumbent, masing-masing sebagai gubernur dan wakil gubernur Kepulauan Riau. Meski begitu, bicara pengalaman kepemimpinan jelas lebih unggul Sani. Seperti disebut di atas, sebelum menjadi gubernur, Sani menjabat sebagai wakil gubernur, bupati Karimun dan sebelumnya lagi wali kota Tanjungpinang. Pengalaman Soerya baru ketika menjabat sebagai wakil gubernur sekarang saja. Meski sebelumnya menjadi ketua DPRD, tetapi jabatan ini tidak membawahi tanggungjawab langsung kepada masyarakat.
Ketiga, karakter kepemimpinan. Sani dikenal perhatian pada masyarakat, sederhana, dan jelas keberpihakannya, yaitu pada masyarakat bawah. Ini dapat dibuktikan, salah satunya, ketika yang bersangkutan berjuang mewujudkan aspirasi masyarakat terhadap kebutuhan listrik di Bintan dan Tanjungpinang, beberapa waktu lalu. Meski pemenuhan elektrifikasi bukan urusan pemerintah provinsi langsung, tetapi ia getol bernegosiasi dengan pihak PLN Cabang Tanjungpinang. Bahkan ia rela berpanas-panasan bersama masyarakat yang berdemonstrasi di depan PLN agar krisis listrik segera diatasi.
Pemandangan berbeda didapat dari kepemimpinan Soerya. Kesan keras, kasar dan tidak jelas keberpihakannya justru sangat kuat. Salah satunya sebagaimana dalam kasus sengketa lahan Tanjung Uma Kota Batam dua tahun lalu. Sengketa yang mengundang keributan dahsyat dan menyisakan sakit hati rakyat itu bermula ketika PT CDHA mengklaim lahan dalam kordinat kampung tua Tanjung Uma. Soerya selaku Wakil Gubernur diyakini justru menyiapkan kekuatan, mem-backup PT CDHA dengan mengirimkan Ormas bentukannya. Akibatnya, terjadilah bentrokan dengan warga setempat (baca: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/452555-sengketa-lahan–ribuan-warga-bentrok-dengan-ormas-di-batam).