"Belajarlah sampai terasa sakit," demikian isi petuah salah seorang guru saya yang masih membekas di jiwa saya saat ini. Dulu, saat menjadi seorang pelajar, belajar memang seringkali terasa sebagai sebuah rutinitas belaka.
 Tak jarang, belajar malah dimaknai sekedar mendengar dan menghafal apa-apa saja yang disampaikan guru-guru saya di depan ruang kelas. Terang saja, petuah guru saya itu mengejutkan saya dari sebuah lamunan nanar saat itu.
Ya, menurut beliau, belajar adalah hal yang harus dilakukan dengan serius dan sungguh-sungguh, bahkan kalau perlu sampai terasa sakit. Rasa-rasa sakit inilah yang sesungguhnya akan mengguratkan apa-apa yang dipelajari ke dalam pribadi kita. Alhasil, tidak ada lagi fenomena "cepat menghafal, lekas melupakan," yang sering kita temukan di antara para pelajar.Â
Tentu saja, rasa sakit ini bukan berarti kita harus melukai diri kita hingga berdarah-darah. Rasa sakit ketika belajar yang dimaksudkan adalah rasa pusing ketika berpikir, rasa lelah ketika berlatih, dan gejolak emosi yang dialami saat mengalami didikan.
Belajar memang perlu diiringi oleh proses berpikir. Justru ketika kita merasa pusing tujuh keliling ketika menghadapi sebuah konsep baru, disitulah proses belajar itu sesungguhnya dimulai.Â
Pusing adalah sebuah tanda otak kita bekerja keras. Dengan merasa pusing, otak kita sesungguhnya berusaha mengupas dan mengolah "pembelajaran" itu. Sayangnya, kita seringkali tidak melibatkan seluruh kapasitas otak kita ketika belajar. Tak jarang, kita hanya menyimpan berbagai pembelajaran di memori jangka pendek saja.
Belajar juga perlu diimbangi oleh proses berlatih. Berlatih bisa jadi berupa aksi mengerjakan soal-soal pekerjaan rumah yang diberikan oleh para guru. Namun lebih lagi, berlatih berarti upaya mempraktekkan hal-hal yang kita pelajari. Berbagai pembelajaran baru akan menempel pada pribadi kita ketika diproses oleh mulut, tangan, dan kaki kita juga.Â
Meski proses berlatih sangat penting, proses ini tampaknya sering juga terlewatkan oleh para peserta didik. Yah, jika tujuan akhir belajar adalah mendapatkan nilai bagus, proses berlatih memang bisa jadi kurang penting.
Dan yang paling penting, belajar harus melibatkan hati yang diajar. Belajar bukan hanya mengenai hal-hal menyenangkan yang menarik perhatian peserta didik. Belajar bisa jadi melibatkan berbagai emosi lainnya, misalnya: marah, sedih, kecewa, dll. Ketika sampai di tahap ini, berarti sang murid benar-benar menyimak sebuah pembelajaran dan merenungkannya dalam-dalam di hatinya.Â
Gejolak emosi yang muncul harusnya mampu memotivasi sang murid untuk melanjutkan proses belajarnya. Namun, seberapa banyak pelajaran yang kita terima lewat begitu saja di hati yang tak acuh?
Bertahun-tahun berlalu dan saya harus setuju dengan petuah guru saya itu. Pembelajaran-pembelajaran yang melekat kuat di pribadi saya adalah hal-hal yang memusingkan saya, melelahkan saya, menggairahkan hati saya, atau kombinasi dari ketiganya. Belajar giat sampai terasa sakit sungguh membuat proses belajar saya begitu berharga dan bermakna.