Melanjutkan kuliah ke sebuah universitas Australia di tengah kondisi pandemi membuat saya perlu melalui orientasi kampus secara daring. Orientasi daring bagi saya terdengar lucu, apalagi mengingat masa-masa kuliah saya banyak diwarnai pengalaman menjadi peserta dan panitia ospek fakultas dan jurusan yang bisa berlangsung berbulan-bulan di masa itu. Setelah beberapa hari melalui Orientasi Daring, saya menyadari beberapa perbedaan yang menarik.
Perbedaan besar yang pertama tentu saja adalah bentuk kegiatannya. Orientasi Daring yang saya jalani kini disampaikan lewat berbagai media, mulai dari situs universitas, Zoom, Blackboard Classroom, Ms. Team, hingga Instagram. Beberapa hari berlalu, saya hanya mengenali dosen dan rekan-rekan sekampus saya melalui foto profil yang mereka gunakan. Saya tidak yakin akan mampu mengenali mereka saat kita bertemu nanti.
Tentu saja berbeda dengan ospek kampus saya yang memaksa saya banyak bertemu dengan rekan-rekan seangkatan dan panitia ospek saya. Kegiatan ospek bisa berlangsung sepanjang hari dari subuh hingga petang. Tugas-tugas kelompok dan angkatan yang harus dikerjakan hingga pagi. Kumpul-kumpul angkatan "bersama panitia" yang banyak dilakukan. Bahkan ketua angkatan saya dulu sampai berhasil menghafal satu-persatu nama 380-an orang.
Perbedaan yang kedua adalah macam kegiatannya. Berbagai macam kegiatan yang tersedia dikelompokkan menjadi empat. Kelompok pertama merupakan pengenalan kampus, fakultas, jurusan, dan kewajiban mahasiswa. Kelompok kedua adalah kegiatan persiapan kuliah seperti pengenalan aplikasi perkuliahan, pelatihan menulis, mencari referensi, manajemen waktu. Kelompok ketiga berisi tips memaksimalkan masa kuliah seperti tips magang, perkenalan klub, membangun CV. Kelompok keempat terdiri dari kegiatan ramah tamah, dan perkenalan.
Ospek saya di kampus dulu juga memiliki kegiatan kelompok pertama dan keempat. Pengenalan kampus dan civitasnya merupakan bagian besar dari kegiatan ospek. Saya rasa kelompok kedua tidak diberikan sama sekali. Sedangkan kelompok ketiga lebih fokus pada perkenalan klub dan organisasi yang digerakkan mahasiswa sendiri mendapatkan tempat. Layanan yang diberikan kampus untuk pengembangan diri, seperti bimbingan pembuatan karya ilmiah, atau rekomendasi lokasi magang sangat sedikit disampaikan.
Perbedaan berikutnya adalah rasa saya melalui kegiatan orientasi daring. Entah karena belum terbiasa atau apa, saya justru kelabakan mengikuti orientasi daring yang waktu dan sarananya terpisah-pisah sesuai dengan kegiatannya. Meski demikian, saya belajar dan merasa banyak dipersiapkan untuk perkuliahan yang akan datang. Setiap malam saya tidur dengan punggung sakit karena seharian duduk di depan laptop.
Berbanding terbalik dengan stabilitas rasa saya pada orientasi daring, ospek kampus saya memberikan berbagai macam rasa yang ekstrem. Senang yang sangat, sedih yang banyak, kesal yang meluap, lelah yang menumpuk, berbagai rasa yang akhirnya malah membuat masa ospek saya tak terlupakan. Karena ospek saya tahu saya tidak akan sendirian menjalani dunia perkuliahan. Seluruh lelah saya sepulang ospek masih menjadi kenangan yang menyenangkan untuk saya.
Pada akhirnya, tujuan dan manfaat dari kedua ospek ini sepertinya berbeda. Orientasi Daring yang saya jalani saat ini lebih menyiapkan saya untuk menjalani kehidupan mahasiswa sebagai akademisi. Maka katika saya menyelesaikan Orientasi Daring, saya merasa siap banyak belajar baik melalui perkuliahan di kampus, maupun melalui pengalaman yang mempersiapkan saya untuk dunia kerja.
Sedangkan ospek kampus saya dulu banyak mepersiapkan saya untuk menjadi mahasiswa yang berkarakter "baik". Baik di sini berarti selaras dengan nilai yang dimiliki kampus/fakultas/jurusan betapapun tingkat relevansinya dengan kehidupan akademisi. Ospek kampus yang saya persiapkan dulu juga lebih banyak menekankan pada hal-hal yang perlu dikerjakan mahasiswa melampaui dinding ruang kuliah, misalnya rajin ikut kepanitiaan, berorganisasi, hingga berdemo untuk masyarakat.
Alih-alih mempertanyakan susunan kegiatan orientas mana yang lebih baik, saya lebih asyik merefleksikan perbedaan kebutuhan mahasiswa ini. Apakah sebenarnya yang dibutuhkan seorang mahasiswa dalam masa orientasi? Apakah yang perlu dipersiapkan mahasiswa untuk menjalani masa-masa kuliahnya? Apa ekspektasi kampus terhadap mahasiswanya? Apa yang sebenarnya masyarakat butuhkan dari mahasiswa?
Selama mahasiswa yang rajin menulis karya ilmiah tidak dianggap lebih beken daripada ketua BEM, bisa jadi susunan ospek senada kampus saya dulu memang lebih sesuai daripada orientasi daring yang saya jalani ini. Apalagi skripsi dan berbagai penelitian mahasiswa juga akhirnya berujung di rak-rak perpustakaan dan jarang bisa termanfaatkan dengan baik. Toh, mahasiswa juga lebih banyak ditanyai soal peduli dan kontribusinya terhadap masyarakat ketimbang dunia akademisi.
Seperti apa ya, bentuk orientasi yang paling baik bagi mahasiswa Indonesia?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H