Mohon tunggu...
AC Oktavia
AC Oktavia Mohon Tunggu... Lainnya - Belajar peduli

Memberanikan diri berbagi, setelah terlalu lama hanya mengeluh dalam diam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Mahasiswa IPB: Hidup di Sarang Radikalisme?

30 September 2019   16:07 Diperbarui: 23 April 2022   16:50 1061
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Penangkapan salah seorang dosen IPB di Aksi Mujahid 212 pada tanggal 28 September 2019 lalu membuat saya kecewa. Yap, hanya kecewa karena sesungguhnya berita ini bukanlah hal yang mengagetkan. Toh, peristiwa semacam ini sepertinya cukup sering terjadi di IPB. Deklarasi Khilafah Islamiyah di kampus tahun 2016 lalu (meski baru vial di awal 201), atau foto wisudawan membawa bendera HTI yang viral awal 2018 lalu adalah dua peristiwa yang masih saya ingat jelas.

Gerah rasanya terus ditanya oleh banyak orang bagaimana rasanya hidup di 'sarang radikalisme' setiap kali peristiwa seperti ini muncul. Memberanikan diri, saya memutuskan untuk menuliskannya.

Sebelum berjalan lebih lanjut saya ingin memberikan konteks terhadap hal-hal yang akan saya bahas. Saya adalah seorang mahasiswi Kristen. Dua identitas yang cenderung 'aman' dari berbagai macam dakwah radikalisme yang terdengar setiap hari di kampus saya. Mungkin karena identitas saya tidak menarik untuk dijadikan kawan, tidak ada orang yang menyampaikan paham radikalisme itu kepada saya. Jadi saya hanya akan menceritakan pengalaman saya yang sangat minim ini.

Setiap kali berita-berita semacam ini naik, IPB selalu mengeluarkan klaim yang membuat saya tertawa. Mahasiswa dipandang aman jika mendapatkan pendampingan dari kampus baik itu melalui Al-Hurriyah (masjid pusat IPB) maupun asrama yang wajib ditinggali mahasiswa tingkat satu. 

Sepertinya para petinggi kampus tidak menyadari (atau pura-pura tidak tahu?) bahwa media-media ini sesungguhnya justru menjadi jalur utama penyebaran ide-ide radikal ini. Pengawasan oleh dosen juga sepertinya bukan hal tepat karena beberapa dosen pun sudah menjadi simpatisan pergerakan ini. Sejauh ini saya belum melihat ide-ide radikalisme benar-benar dibatasi penyebarannya di kampus saya tercinta ini.

Saya rasa benar saja jika saya dikatakan hidup di sarang radikalisme. Saya pernah mengikuti kelas Pengantar Manajemen yang dipandu oleh AB, dosen yang disebutkan di atas. Saya juga mengenal, tahu, atau paling tidak berpapasan dengan mahasiswa-mahasiswi radikal di kampus saya setiap harinya. Meski demikian, hari-hari yang saya alami tidak seburuk dan semanipulatif bayangan semua orang.

Pak AB adalah dosen yang mengajar dengan cara yang sangat menyenangkan dan komunikatif. Saya diajarnya bertahun-tahun yang lalu, namun saya masih ingat beliau sempat menyelipkan motivasi-motivasi untuk berwirausaha di waktu-waktu mengajarnya. Saya juga tidak pernah mendengarkan dosen-dosen saya yang lainnya menyampaikan ide-ide radikalisme. Malah, kebanyakan dosen saya terus mengingatkan mahasiswanya untuk peduli pada Indonesia. Sehingga paling tidak saya bebas dari radikalisme ketika belajar di ruang kelas.

Saya sendiri tidak terlalu paham bagaimana mahasiswa yang menganut berbagai versi radikalisme ini terlihat berbeda dari mahasiswa lainnya. Saya seringkali justru terkaget-kaget ketika teman dekat saya, yang beragama Islam sehingga lebih mampu membedakannya saya rasa, memberi tahu siapa-siapa saja yang memiliki pandangan ekstrim. Kelompok ini ada dan ternyata cukup disadari keberadaannya oleh sebagian besar mahasiswa yang ada. Sayangnya, banyak mahasiswa yang sekedar tahu lalu mengabaikan keberadaan kelompok-kelompok ini, alasannya sebatas malas berdebat dan sudah terlanjur putus asa menghadapi mereka yang keukeuh.

Sesungguhnya kekagetan saya muncul karena mahasiswa-mahasiswa yang kata teman saya radikal ini dalam kehidupannya terlihat sangat saleh, sopan, dan bersemangat dalam diskusi. Mereka-mereka ini yang justru banyak menjadi aktivis dan terlibat dalam berbagai aspek kehidupan kampus. Hal yang tidak saya duga, tapi sesungguhnya lebih menyeramkan daripada jika mereka langsung memakai wajah garang bukan?

Saya harus mengakui bahwa ide-ide radikal mungkin saja sudah menyebar bahkan ke dalam lingkaran-lingkaran pertemanan terdekat saya. Tidak, saya tidak pernah mendapatkan diskriminasi ataupun bullying yang dilemparkan ke muka saya secara langsung. Tidak ada yang menghina saya atas iman saya. Tapi berbagai post yang rutin dibagikan rekan-rekan saya melalui media sosial mereka, terkadang membuat saya bertanya soal ketulusan mereka mengakui saya sebagai teman.

Post-post mengenai larangan mengucapkan selamat bagi perayaan hari raya agama yang berbeda, seramnya siksaan neraka untuk mereka yang tidak menutupi auratnya, konsekuensi menjadi orang kafir, atau perayaan besar-besaran penyambutan mualaf adalah makanan saya sehari-hari. Meskipun saya belum pernah menghadapi konfrontasi langsung, sepertinya saya memang tidak lagi dianggap setara di mata beberapa rekan saya.

Hidup di sarang radikalisme tidak terasa menyeramkan bagi saya. Namun saya juga menyadari ketika suatu hari nanti saya melihat orang-orang yang pernah saya kenal di IPB muncul dalam berita-berita kental radikalisme, saya akan merasa bersalah. Saya memang bersalah, karena saya hanya diam meski berada di sarang radikalisme.

Bogor, September 2019

Oktavia AC

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun