Mohon tunggu...
Okta Hartanto
Okta Hartanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mahasiswa di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perbedaan Antara Wa'ad atau Muwa'adah dengan Akad

22 Juni 2021   16:22 Diperbarui: 22 Juni 2021   16:36 8640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara etimologis wa’ad memiliki arti di antaranya adalah hadda yang berarti ancaman (al-wa„id), dan takhawwafa (menakut-nakuti). Dari segi cakupannya, al-wa’ad mencakup perbuatan baik dan buruk meskipunn pada umumnya janji digunakan untuk melakukan perbuatan baik. Dalam literatur fikih, digunakan dua kata yang sebenarnya satu akar, yaitu alwa„d dan al- ‟idah.

Adapun secara terminologis wa‟ad adalah “Pernyataan dari pihak/ seseorang (subyek hukum) untuk berbuat/tidak berbuat sesuatu; serta perbuatan tersebut dilakukan di masa yang akan datang (istiqbâl)”.

Hukum wa’ad menurut para fukaha :

  • Pendapat mayoritas fukaha dari Hanafiyah, Syafi‟iyah, Hanabilah, dan satu pendapat dari Malikiyah yang mengatakan bahwa janji merupakan kewajiban agama (mulzimun diniyah) dan bukan kewajiban hukum formal (ghair mulzim qadhaan) karena wa‟ad merupakan akad tabarru‟ (kebijakan/kedermawanan) dan akad tabarru‟ tidaklah lazimah (mengikat).
  • Pendapat sebagian ulama, diantaranya adalah Ibn Syubrumah (144 H) Ishaq bin Rawahiyah (237 H), Hasan Basri (110 H) dan sebagian pendapat Malikiyah, yang menyatakan bahwa “Janji itu wajib dipenuhi dan mengikat secara hukum”. Hal ini didasarkan kepada firman Allah Swt “Hai orangorang yang beriman janganlah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu lakukam. Amat besar kemurkaan di sisi Allah bagi orang yang berkata akan tetapi tidak dilaksanakan”. (Q. S Ash-Shaff: 1) dan hadis tentang tanda-tanda orang munafik.

PERBEDAANNYA DENGAN AKAD

Dalam kajian fikih muamalah, selain terdapat konsep wa‟ad (janji) terdapat pula istilah muwâ‟adah (saling berjanji). Saling berjanji dapat diartikan satu pihak berjanji akan melakukan sesuatu pada masa akan datang dan pihak yang menerima janji juga berjanji untuk melakukan perbuatan hukum yang setara (Nazih Hammad, 2007: 87). Dari segi bentuknya, saling berjanji menyerupai akad, tetapi secara substansi, saling berjanji bukanlah akad.

Dalam konteks fikih muamalah membedakan antara wa‟ad dengan akad. Wa‟ad adalah janji (promise)antara satu pihak dengan pihak lainnya, sementara akad adalah kontrak antara dua belah pihak. Wa‟ad hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yang memberi janji berkewajiban untuk memenuhi atau melakasanakan kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa‟ad, terms and condition-nya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik (belum well defined). Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral. (Adiwarman A.Karim, 2004, 65).

Menurut Jaih Mubarok dan Hasanudin (2017, 14-15), janji atau saling berjanji (wa‟ad/muwâ‟adah) bukanlah akad, tetapi menyerupai akad karena beberapa alasan sebagai berikut:

  • Dalam akad telah menimbulkan hak dan kewajiban yang efektif, sdangkan dalam janji atau saling berjanji (wa‟ad/muwâ‟adah) belum/tidak tercapai tujuan utama akad (munajjaz);
  • Efektivitas akad bersifat serta-merta dari segi alamiahnya, yaitu akad berlaku secara efektif apabila rukun dan syaratnya terpenuhi. Sedangkan janji pada umumnya bersifat ke depan (forward/mudhaf ilâ almustaqbal) karena janji dari segi alamiahnya merupakan pernyataan kehendak dari pihak tertentu untuk melakukan sesuatu pada masa yang akan datang.

Dalam akad berlaku kaidah al-kharâj bi aldhamân (kewajiban berbanding dengan hak) dab al-ghurm bi al-gunmi (keuntungan berbanding dengan risiko). Dalam akad jual beli misalnya, objek jual bel (mabi‟) telah berpindah kepemilikannya dari penjual kepada pembeli. Maka kewajiban pemilik untuk memelihara serta menjaganya dan ia berhak untuk menjual kembali objek tersebut. Bila harga objek tersebut naik, kenaikan harga tersebut merupakan hak pemilik. Sebaliknya, bila objek tersebut hilang atau harganya turun, risiko hilangnya objek atau rugi karena harganya turun harus ditanggung oleh pemilik. Kaidah ini tidak berlaku dalam muwâ‟adah (saling berjanji) karena dalam muwâ‟adah belum terjadi pengalihan kepemilikan objek yang dijanjikan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun