Ketika datang ke Aceh, hal pertama yang ingin aku tahu adalah tentang Tsunami 14 tahun silam. Kita tidak pernah lupa mengenai bencana maha dasyat yang meluluhlantahkan daerah paling barat Indonesia ini. Bencana ini bukan hanya menyedot perhatian skala Nasional, relawan dari seluruh dunia berdatangan dan berbagai negara juga turut memberikan bantuannya. Tanggal 24 Desember 2004, kenangan pilu bagi Indonesia.
Perjalanan sore itu membawaku ke sebuah desa dekat pantai, Lampulo. Katanya, disana ada kapal yang tersangkut di atap rumah ketika tsunami. Benar saja, sebuah kapal kayu besar terlihat tersangkut di atap rumah yang sudah rusak sebagian. Di depannya, terdapat sebuah monumen peresmian dan juga akses untuk melihat kapal ini dari atas. Kapalnya tidak bisa dinaiki, hanya bisa dilihat dari atas. Kapal terlihat masih utuh, meskipun ada bolong di beberapa tempat. Setelah melihat kapal itu, aku duduk di sekitar sana sambil melihat banyak anak-anak yang sedang bermain.
Ada seorang nenek yang sedang mengasuh cucunya. Aku tersenyum, begitupun dia. Kemudian, aku diarahkan untuk mengisi buku tamu di sebuah meja yang dijaga oleh ibu-ibu. Sambil menulis, aku ditawari banyak buku tentang cerita tsunami tahun 2004, termasuk salah satu buku yang dibuat oleh seorang nenek yang selamat di kapal itu. Ternyata, nenek yang bercerita di buku itu adalah nenek yang tadi aku temui. Kami saling menghampiri, lalu bercerita banyak.
Nenek Bundhiyah, satu dari 59 orang yang selamat berkat kapal yang sering disebut Kapal Nuh ini. Saat itu, beliau sedang berjualan di pantai Lampulo, Aceh. Saat gelombang tinggi sudah mulai terlihat, semua orang kalang kabut menyelamatkan diri. Tapi nenek Bundhiyah pasrah, beliau tidak sanggup berlari. Beliau hanya bisa pasrah bahwa ini adalah akhir dari hidupnya, ini adalah kiamat pikirnya. Saat sedang memasrahkan diri, tiba-tiba ada suara yang berbisik menyuruh beliau pulang. Tidak ada orang disana, tapi bisikan itu akhirnya membuat beliau segera berlari pulang.
Beliau lari ke Kampung Lampulo dengan kondisi yang sudah seperti orang gila katanya. Beliau berlari sambil berteriak-teriak mengingatkan warga bahwa ada air. Akhirnya, beliau berlari ke rumah tetangganya dan langsung naik ke lantai 2 yang sudah dipenuhi dengan warga. Saat itu, air sudah meninggi dan menghancurkan isi kampung. Tak lama kemudian, ada sebuah kapal kayu yang menabrak rumah tersebut tepat di pinggir ruangan tempat mereka berlindung. Mereka menyangka ini adalah kapal bantuan, maka dari itu tanpa pikir panjang mereka langsung memanjat ke atas kapal.
Sebanyak 30 orang yang naik ke kapal dari rumah itu bingung karena itu adalah kapal nelayan dan tidak ada orang disana. Ternyata, di ruangan nakhoda ada satu orang yang sedang tidur. Orang itu tidak sadar bahwa baru saja terjadi tsunami yang menghempas kampung ini. Beliau bangun dengan keadaan terkejut. 20 orang yang berada di belakang rumah tersebut juga ikut naik ke atas kapal kemudian disusul oleh 8 orang lagi yang naik setelah air mulai surut. Kapal inilah yang menyelamatkan 59 orang dari bencana itu. Seperti kapal Nuh yang menyelamatkan Nabi Nuh dan pengikutnya dari bencana banjir dahsyat yang diturunkan Allah.
"Nenek udah pasrah, tapi Allah itu baik. Nenek ada yang bisikin pedahal gak ada siapa-siapa. Nenek yang udah pasrah karena gak punya tenaga buat lari, alhamdulillah diberi kekuatan untuk lari. Alhamdulillah nenek naiknya ke rumah Ibu Albasyiah bukan ke rumah yang lain."
"Pas udah surut nenek nangis liat banyak mayat bergelimpangan. Masih inget nenek airnya tinggi banget se-pohon. Nenek sadar, kalo Allah bisa mengambil apa saja dalam sekejap. Itu nyata."
Nenek bercerita dan aku membayangkan apa yang dia ceritakan. Bagaimana mencekamnya hari itu, bagaimana beruntungnya orang-orang yang selamat dari kejadian itu, dan bagaimana luar biasanya kuasa Allah. Ratusan ribu orang kehilangan sanak saudaranya, ada yang sejak saat itu hidup sebatang kara. Aku sadar, bahwa di dunia ini tidak ada yang benar-benar dimiliki oleh manusia. Semua milik Sang Pencipta. Gak bisa ditahan lagi, mata akhirnya berkaca-kaca.
Betapa hebatnya kuasa Allah. Mulai dari bisikan yang menyelamatkan Nenek Bundhiyah, kapal nelayan yang tersangkut di atap yang membuat 59 orang selamat, nelayan yang tidak terbangun ketika tsunami, mushola kecil di pinggir pantai yang tidak rusak, dan Masjid Baiturrahman yang berdiri kokoh pedahal disekelilingnya rata dengan tanah. Masyaallah.
Tapi selalu ada hikmah dari setiap kejadian. Kata beliau, sebelum terjadi tsunami orang-orang takut untuk datang ke Aceh karena konflik antara GAM dengan RI. Dulu di Aceh cukup mencekam, ada banyak korban jiwa dari konflik tersebut. Setelah tsunami, tepatnya 15 Agustus 2005 konflik tersebut sudah tidak ada lagi karena disepakatinya perjanjian antara GAM dengan RI di Finlandia. Perjanjian damai ini dicetuskan oleh Wakil Presiden saat itu Bapak Jusuf Kalla. Sekarang, Aceh semakin kondusif dan tidak ada lagi gesekan antara golongan.
Dari perjalananku di Aceh, dari semua cerita orang yang aku temui tentang tsunami Aceh ini, aku belajar banyak sekali. Tentang manusia yang menerima takdir dengan sangat ikhlas, tentang kehilangan yang bukan lagi sebuah pilihan, tentang maut yang entah kapan datangnya, dan tentang tidak berdayanya manusia dibanding dengan Tuhannya. Tentang hidup yang memang fana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H