Semen itu sudah jadi produk komoditas. Di Jawa Barat saja, hampir 20 merek. Di Sumatra, masih bisa dihitung satu jari tangan. Di Makassar juga masih sedikit. Jawa Barat ini berlimpah pilihan. Harus pilih yang mana untuk membangun rumah baru? Atau renovasi?
Ada semen produk asli Indonesia. Ada juga buatan sentuhan luar negeri, seperti Jerman, Cina, Thailand.
Apakah semen-semen itu Brand? Atau sekadar merek (nama) saja? Hubungannya apa pilih semen dengan Brand?
***
Brand itu apa yang orang lain katakan, ketika kita tidak ada di ruangan itu. Itu kata Jeff Bezos, "Your brand is what other people say about you when you're not in the room."
Brand itu persepsi. Orang pakai jam tangan mewah bisa dipersepsikan dia itu orang kaya, padahal boleh jadi jam dapat pinjam. Emak-emak sosialita dengan anggunnya menenteng tas yang logonya ada L dan V, lalu dipamer-pamerkan, padahal bisa jadi itu sewa, atau punya temannya. Dia numpang foto saja. Persepsi.
Brand itu nama dan makna. Itu kata Pak Bi, guru saya soal branding. Nama lengkapnya Subiakto Priosoedarsono, praktisi branding berpengalaman 50 tahun.
Jika produk atau jasa itu tidak bermakna apa-apa buat kita, tidak membuat kita membeli lagi dan beli lagi, tidak menancap di otak kita sebelum kita pergi membelinya, maka produk atau jasa tersebut hanya sekadar nama/merek. Tanpa makna.
***
Dari pengertian Brand di atas, kita mulai bisa menentukan semen mana yang bisa dipilih untuk rumah kita, atau ehm, rumah tetangga.
Pertama, apakah semen tersebut punya makna bagi kita? Misal, yang dipilih adalah semen Dynamix. Bisa jadi alasan memilihnya karena dulunya bernama Holcim, dan dulunya lagi bernama semen Kujang. Jadi justru Dynamix dipilih karena romansa masa lalu. Ada nilai historisnya.