Mohon tunggu...
Okky Syachruddin
Okky Syachruddin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Jenderal Soedirman

GOD IS GOOD

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Arti Penting KAA 1955 dan Relevansinya Bagi Politik Luar Negeri Indonesia

17 Oktober 2021   21:25 Diperbarui: 17 Oktober 2021   21:30 4153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai bangsa yang mendapatkan kemerdekaan lewat perjuangan untuk terlepas dari jeratan imperialisme dan kolonialisme, Indonesia sangat menjunjung arti penting dari kemanusiaan. Semangat para founding fathers untuk mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia, turut memberi pengaruh bagi negara-negara lain yang terbelenggu dalam desakan kolonialisme dan imperialisme. 

Sebagai Presiden Pertama Republik Indonesia dan salah satu pioneer utama dari perjuangan Indonesia menuju kemerdekaan, Ir. Soekarno memiliki sikap anti-imperialisme dan anti-kolonialisme. Sikap tersebut kemudian ia tuangkan dalam beberapa kebijakan atau politik luar negerinya yang berlandaskan kemanusiaan, kedamaian, dan keadilan serta mengutuk segala jenis penindasan yang berbasis pada paham imperialisme maupun kolonialisme. 

Salah satu contohnya yaitu Konferensi Asia-Afrika, yang mana kebijakan ini memiliki korelasi terutama terkait landasan yang sama dalam mewujudkan perdamaian. 

Perwujudan perdamaian ini ingin ditumbuhkan oleh Ir. Soekarno tidak hanya bagi Indonesia saja, namun terhadap berbagai negara di dunia yang turut mengalami sejarah yang kelam atas jeratan kolonialisme dan imperialisme, sehingga terwujudnya sikap solidaritas dalam mengutuk segala bentuk penindasan terhadap suatu negara.

Seperti yang kita tahu bahwa, Konferensi Asia-Afrika (KAA) adalah konferensi pertama yang diadakan oleh negara-negara bekas jajahan di Asia dan Afrika pasca Perang Dunia kedua. Konferensi ini berlangsung selama 6 hari pada 18-24 April 1955 dengan membahas lima pokok masalah, yaitu kerja sama ekonomi, kerja sama kebudayaan, HAM dan hak menentukan nasib sendiri, masalah negara yang masih terjajah, serta memajukan perdamaian dan kerja sama dunia (Haryanto, 2016:100).  Konferensi Asia-Afrika (KAA) dihadiri oleh 29 negara dengan rincian, 5 negara sponsor, 12 negara Asia, 8 negara Arab, dan 4 negara Afrika.

Salah satu keterlibatan Ir. Soekarno dalam konferensi tersebut adalah pidatonya yang membangkitkan semangat para peserta konferensi di hari itu. Dalam pidatonya, Ir. Soekarno mengajak seluruh negara Asia-Afrika untuk menguatkan semangat solidaritas dan membuat front anti-kolonialisme, mengingat bahwa kolonialisme belum bisa dikatakan menghilang, bentuk-bentuk semacamnya masih tumbuh dengan strategi baru dalam menguasai bidang ekonomi, kebudayaan, dan politik (Haryanto, 2016:101). 

Serupa dengan hal yang dinyatakan Ir. Soekarno dalam pidatonya, Perdana Menteri Sri Lanka, Sir John Kotelawala turut menyinggung neo-kolonialisme atau kolonialisme baru dalam persidangan. Kolonialisme baru seperti yang ada pada dalam negara-negara satelit Eropa Tengah dan Eropa Timur di bawah dominasi komunis menurutnya jangan sampai dilupakan (Haryanto, 2016:102). 

Walaupun, pernyataan terkait kolonialisme baru ini cukup mengagetkan Perdana Menteri China yaitu Chou En-lai, ia menyatakan bahwa konsep negara satelit di Eropa Timur tidak bisa begitu saja disetujui oleh delegasi Tiongkok. Hal tersebut telah menjadi kebebasan serta hak bagi negara-negara terkait dan tidak perlu diperdebatkan.  

Maka dari itu, PM Chou En-lai menegaskan bahwa konteks melawan kolonialisme dalam sidang Konferensi Asia-Afrika harus tetap ditujukan pada konteks kolonialisme dalam segala manifestasinya adalah suatu yang harus dibasmi. Berdasarkan hal tersebut, inti pembahasan kolonialisme dalam sidang tidak ditujukan pada "bentuk", namun "manifestasi" kolonialisme yang dapat mempengaruhi aspek ekonomi, militer, sosial-budaya, dan politik (Haryanto, 2016:104). 

 Dengan demikian, berdasarkan diskusi dan perdebatan yang cukup hangat dan dinamis, Konferensi Asia-Afrika berakhir dengan menghasilkan kesepakatan atas Dasa Sila Bandung. Kesepakatan ini berisikan persetujuan para delegasi dalam konferensi yang menegaskan hubungan antarbangsa berlandaskan asas kemerdekaan dan keadilan.

Lalu apakah arti penting dari Konferensi Asia-Afrika tahun 1955, dan seberapa besar relevansinya terhadap kondisi politik luar negeri Indonesia sekarang? Tentunya masih terdapat relevansi antara konferensi tersebut bagi Indonesia maupun negara-negara lainnya yang terlibat. Tepatnya pada tanggal 5 Februari 2021 kemarin, ketika diperingatinya 66 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang mengusung tema "Kemanusiaan dan Solidaritas". 

Tergambarkan dengan jelas berdasarkan tema yang diusung, landasan kemanusiaan, sikap solidaritas, dan persamaan nasib antara negara anggota memberikan relevansi di kala pandemi Covid-19. 

Hal ini ditunjukkan dengan dibangunnya solidaritas untuk bekerja sama maupun berjuang bersama dalam melawan pandemi Covid-19 yang merugikan hampir seluruh negara di dunia. Menurut Kepala Staf Kepresidenan, Luhut Binsar Pandjaitan juga menilai bahwa esensi dari Konferensi Asia-Afrika (KAA) masih relevan terhadap proses politik luar negeri Indonesia. Ia menegaskan bahwa, konsern utama politik luar negeri Indonesia terutama yang berkaitan pada penyelesaian permasalahan senantiasa diselesaikan melalui perdamaian. 

Landasan perdamaian yang diusung Indonesia beserta negara anggota KAA lainnya bisa menjadi model bagaimana diversity dapat menjadi satu, tidak perlu adanya perkelahian. Dengan demikian, relevansi Konferensi Asia-Afrika terhadap politik luar negeri Indonesia sekarang adalah tentang bagaimana negara-negara Asia Afrika dalam menjalin hubungan baik dan damai lewat kerja sama mitra di berbagai bidang. 

Sebagai negara dengan prinsip politik luar negeri yang 'bebas-aktif', Indonesia berupaya aktif untuk memelihara hubungan baik dengan berbagai negara dalam mewujudkan perdamaian dunia melalui kerja sama serta turut memegang teguh prinsip anti-kolonialisme dan anti-imperialisme

Sumber:

Detikcom. (2015). KAA Masih Relevan, Luhut: Bangun Perdamaian, Tidak Perlu Berkelahi. detiknews. https://news.detik.com/berita/d-2894317/kaa-masih-relevan-luhut-bangun-perdamaian-tidak-perlu-berkelahi

Haryanto, A. (2016). Diplomasi Indonesia: Realitas dan Prospek. Pustaka Ilmu.

KEMLU RI. (2019). Momen Penting dalam Sejarah Diplomasi Indonesia. Kemlu.Go.Id. https://kemlu.go.id/portal/id/read/47/tentang_kami/momen-penting-dalam-sejarah-diplomasi-indonesia

KEMLU RI. (2021). Semangat Solidaritas Konferensi Asia-Afrika Tahun 1955 Relevan dalam Menghadapi Pandemi Global. Kemlu.Go.Id. https://kemlu.go.id/portal/id/read/2139/berita/semangat-solidaritas-konferensi-asia-afrika-tahun-1955-relevan-dalam-menghadapi-pandemi-global.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun