Mohon tunggu...
Okky Wiradanu
Okky Wiradanu Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lentera

24 Oktober 2010   23:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:08 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sinar dhuha, lembut membelai wajahku. Bergegas aku ke tempat wudhu. Dia di sana. Menunduk, lalu terkaget-kaget oleh bunyi langkahku. Tergesa-gesa itu langkah setan katanya, kujawab: bersegera bukan tergesa-gesa. Bersegera dalam kebaikan adalah sunnah nabi kubilang. Mulutnya hanya membulat dan ber-ooo.

Mukanya sedikit pucat dan dia bertanya apa itu salman? Kubilang, sahabat nabi. Dia mengangguk dan aku berwudhu, ada Tuhan yang menunggu. Oh, dia kembali menatapku dan bertanya: bagaimana nabi berwudhu? Kubilang dengan air segayung. Kalau pakai keran? Dia bertanya. Zaman nabi belum ada keran, kujawab. Tapi, berhematlah kubilang.

Bagaimana? Dia bertanya. Apakah dengan (bukaan) keran kecil saja? Dia menjawab sendiri pertanyaannya, lalu tangannya memutar keran, kecil sekali. Air keluar dari keran seperti tetesan saja. Tersenyum aku, lalu melanjutkan wudhu, sedikit cepat, keran kubuka sekedar air cukup untuk wudhuku. Lalu bergegas, bilang aku shalat duluan.

Selesai shalat kulihat dia masih berwudhu, aku senyum. Ah khusyu sekali wudhunya. Selesai berdoa bergegas turun dari masjid dan dia telah selesai wudhu lalu meneriakiku. Bertanya nama, kujawab singkat saja dan senyum manisku. Menjabat tanganku dia bilang: aku Lentera dari laut. Aku dari tanah kujawab. Kami berjabatan tangan lama. Kugoyang-goyang biar lebih cepat lepas dan dia tertawa renyah: lihat, tanganmu goyang-goyang. Kubilang: lihat dosa-dosa berjatuhan. Oh begitu? Dia jawab. Lalu dia memintaku naik (lagi) ke masjid.

Tanganku masih erat dipegangnya. Akhirnya kutanya, kapan tanganku akan dilepas. Dia jawab: sebentar saja, ayo kita ke pojokkan masjid sana. Kau punya ayat yang kau suka? Kubilang iya. Coba baca! Perintahnya. Untuk apa? Jawabku. Kalau Adh Dhuha hafal? Aku mengangguk. Sekarang, baca dalam hati lalu pejamkan mata. Kubilang untuk apa? Dia memejamkan mata. Lalu membukanya lagi: loh kok belum memejamkan mata? Tak perlu, kubilang. Dia memejamkan matanya lagi, lalu bilang: kamu belum memejamkan mata, berkali-kali sampai dia bosan sendiri dan mulai membaca ayat perlahan.

Mataku menatapnya. Ada keterasingan yang jauh di wajahnya. Sebuah dunia penuh keraguan yang bersembunyi di balik topeng tenang wajahnya. Dia terus membaca ayatnya sampai akhir. Lalu membuka matanya: bagaimana? Aku hanya senyum. Boleh aku memegang wajahmu? Untuk apa? Wajahmu terlihat tua, terlalu banyak kerutan, akan kupijit biar lebih halus. Tak perlu kujawab. Dia memegang wajahnya dan mengurutnya, lihat, wajahku lebih halus kan? Aku tersenyum.

Oh Lentera? Kemanakah cahaya lenteramu?

Pergi aku meninggalkannya. Terasing dalam pencarian kebenaran. Lenteramu padamkah? Atau tengah meredup dan cahayanya tertukar. Semua manusia menyimpan lentera di tiap hatinya. Tapi, belum tentu bercahaya. Lentera butuh api untuk menyala. Dan api itu: kebenaran. Tapi, api Tuhan saja yang dapat menyala-abadikan lenteramu. Hanya api Tuhan saja.

Ketika bertemu lagi aku bertanya mau kemana: menikmati alamNya kau bilang. Alam ini indah sekali akhi. Aku kembali tersenyum. Ah kau sungguh tahu. Alam ini adalah semestamu. Dan keindahannya adalah keindahanmu. Tapi, wajahmu, penuh beban. Penuh kebingungan. Apakah kau bisa melihatnya? Wajah TuhanMu pada alam? Pada pohon-pohon, pada daun-daun, pada bau rerumputan pada angin dan geraknya pada awan pada mendung pada hujan pada tanah basah pada biji-bijian yang tumbuh pada tunas pertama pada sempurna makhlukNya?

Ah Lentera, mau kemana? Alam terlalu luas untuk kau jelajahi menemukanNya. Dia ada pada dirimu. Pada asal cahayamu. Tapi, apa kau masih mengenal dirimu? Dirimu yang sebenarnya? Atau laut telah menghanyutkan semuamu?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun