Mohon tunggu...
Okky Wiradanu
Okky Wiradanu Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lebaran Ini Bapakku Mati

24 Oktober 2010   23:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:08 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini dingin sekali. Angin bertiup semilir mengantar segala bebauan malam. Beberapa pemuda berkumpul di emperan masjid. Sarung-sarung dipasang melintang di badan sedang peci menutup kepala, memanjang kiri ke kanan. Di dalam masjid, bapak-bapak tua lanjut usia melantun kitab suci dengan suara parau dan senyap mereka.

Beberapa pemuda datang bawa gerobak. Beberapa berkerumun mengelilingi gerobak dan beberapa lain mulai menurunkan beduk dari landasan awalnya – susunan sepasang kayu berdiri saling silang yang dipasang berurutan membentuk kromosom X dan dihubungkan dengan beberapa balok kayu sebagai penyangga.

Beduk diletakkan di gerobak dalam posisi sedikit miring agar mudah dipukul saat diarak. Lalu tanpa komando beberapa pemuda mulai memukul beduk bertalu-talu. Berirama. Beberapa anak yang ikut, memukul kaleng kue, mengikuti irama pukulan beduk. Beberapa yang lain berteriak-teriak kencang. Betapa ramai!

Sahuuur…..! Sahuuur….! Sahuuur….!

Sahuuur…..! Sahuuur….! Sahuuur….!

Sahuuur…..! Sahuuur….! Sahuuur….!

Mereka berarakan keliling kampung. Kadang koor ini berhenti juga. Bisa karena capek atau menghindar dari kejaran anjing beberapa tetangga. Pernah, suatu saat mereka lewat di sebuah rumah dengan pintu bertuliskan: “Awas ada anjing galak!”. Beberapa orang mengingatkan untuk menghentikan koor saat melewati rumah ini, tapi, ada saja beberapa dari mereka yang tetap asyik memainkan tabuhan beduknya. Lalu dari arah terduga gonggongan itu bergema, bukan satu, tapi tiga! Semua lari terbirit tinggalkan gerobak dan beduknya di tengah jalan.

Saat mereka kembali melewati rumah itu pagi ini, mereka sengaja memelankan langkah mereka dan para penabuh beduk non-aktif sementara. Lalu terdengar jelas teriakan itu,

Apa ini, hah!?

Itu kue dan susu dari Haji Malik untuk sahur….

Kamu pikir Bapak ini apa! Kamu pikir bapakmu ini sudah gak mampu memberimu makan apa!

Bukan begitu Pak, Ali cuma….

Kamu gak perlu ngemis sama haji yang cuma mau kesohor itu! Buang! Bapak bilang buang!

Sudah lah Pak. Kasihan tok Ali. Dia kan belum ngerti apa-apa.

Diam kamu! Kamu sama saja! Istri yang gak becus ngatur rumah tangga. Masa uang belanja setiap hari habis terus! Gimana kita mau kaya?!

Semua kru koor diam sesaat. Beberapa mengelus dada. Yang lain menunduk muka. Setelah itu, mereka kembali melanjutkan keliling mereka. Sebelum akhirnya kembali ke masjid untuk sahur bersama. Melepas lelah lapar dahaga.

¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤

Ali cepat naik ke mobil. Nanti kau terlambat sekolah.

Iya, Bu. Assalamualaikum!

Ali bergegas masuk mobil setelah mencium tangan ibunya. Dalam mobil, bapaknya sudah siap menjadi sopir. Arah kantor Bapak dan Ali searah, jadi mereka sering berangkat bersama.

Ali cepat naik ke motor. Nanti kau terlambat sekolah.

Iya, Bu. Assalamualaikum!

Ali bergegas naik ke motor setelah mencium tangan ibunya. Di motor, bapaknya sudah siap menjadi pengemudi. Arah kantor Bapak dan Ali searah, jadi mereka sering berangkat bersama.

Ali cepat naik ke motor. Nanti kau terlambat sekolah.

Iya, Bu. Assalamualaikum!

Ali bergegas naik ke motor setelah mencium tangan ibunya. Di motor, bapaknya sudah siap menjadi tukang ojek bagi anaknya. Arah pangkalan ojek Bapak dan Ali searah, jadi mereka sering berangkat bersama.

Ali cepat mandi. Nanti kau terlambat sekolah.

Gak usah Bu, airnya mati lagi. Assalamualaikum!

Ali bergegas berlari ke halaman setelah mencium tangan ibunya. Setelah halaman dia terus berlari takut jeweran Pak Juju mampir di telinganya lagi. Tak mau telat!

Bapaknya Ali itu kepala perusahaan anu. Mobilnya dua. Kijang satu pick up satu.

Bapaknya Ali sekarang kerja di kantor anu. Motornya dua. Honda satu yamaha satu.

Bapaknya Ali sekarang jadi tukang ojek. Motornya butut. Sering rusak.

Bapaknya Ali sekarang kerja serabutan. Tangannya satu. Yang satu buntung tabrakan pas narik ojek.

Ibu, Bapak di-PHK dari perusahaan gara-gara di fitnah korupsi. Mobil kita akan di sita.

Ibu, Bapak diberhentikan dari kantor gara-gara terus ngutang pas gajian. Motor kita akan disita.

Ibu, Bapak berhenti narik ojek. Tangan Bapak tinggal satu.

Ibu, mana kopinya?!

Lah kan dah sahur tok Pak!

Gua gak puasa! Apaan, orang makan sahur bubur doang! Mana kuat puasa!

Lah, beras kita kan dah mau habis tho Pak.

Makanya, gua butuh tenaga untuk kerja. Kalau puasa gua lemes, mana bisa kerja! Besok lu mau makan bubur lagi?!

¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤

Saat ini hangat sekali. Angin bertiup semilir mengantar segala bebauan malam. Beberapa pemuda berkumpul di emperan masjid. Sarung-sarung dipasang melintang di badan sedang peci menutup kepala, memanjang kiri ke kanan. Di dalam masjid, bapak-bapak tua lanjut usia dengan suara parau dan senyap melantun takbir tiada henti memuji kemahabesaran Tuhan.

Beberapa pemuda datang bawa gerobak. Beberapa berkerumun mengelilingi gerobak dan beberapa lain mulai menurunkan beduk. Beduk diletakkan di gerobak dalam posisi sedikit miring agar mudah dipukul saat nanti diarak. Kemudian lewat satu komando beberapa pemuda mulai memukul beduk bertalu-talu. Berirama. Beberapa anak yang ikut, memukul kaleng kue, mengikuti irama pukulan beduk. Beberapa yang lain berteriak-teriak kencang. Betapa ramai!

Allahu….akbar…! Allahu….akbar…! Allahu….akbar…!

Allahu….akbar…! Allahu….akbar…! Allahu….akbar…!

Allahu….akbar…! Allahu….akbar…! Allahu….akbar…!

Mereka berarakan keliling kampung. Kadang koor ini berhenti juga. Bisa karena cape atau menghindar dari kejaran anjing beberapa tetangga. Saat mereka melewati rumah yang berawas anjing galak itu mereka sengaja memelankan langkah mereka dan para penabuh beduk non-aktif sementara. Lalu terdengarlah jelas teriakan itu,

BAPAK…………………!

Semua kru koor diam sesaat. Lalu setelah teriakan itu berulang ketiga kalinya dengan iringan rintih tangis, mereka mulai berhamburan ke arah rumah asal suara itu.

BAPAK……..!

Semuanya terdiam. Dengan jelas mereka dapat melihat tali itu tergantung pada balok penyangga atap. Ujungnya melingkari leher seorang lelaki yang kakinya belum lagi menjejak tanah, bergelantungan pada tumpuan leher yang terikat tali. Kedua matanya melotot lebar dan lidahnya menjulur kaku. Sementara, istrinya memegang kakinya menangis tak berdaya.

Ibu….aku bawa baju baru dari Haji Malik.

Ali yang menyentak pintu masuk dengan heran bertanya di hati, kenapa rumah ramai sekali? Setelah di dalam, dia telah melihat ayahnya tergeletak pucat. Sebungkus kantung plastik telah lepas dari tangannya tanpa disadari. Bapaknya telah mati kaku, gantung diri!

Bapak gak pake baju baru?

Untuk apa Ali? Cukup Ali saja yang pake baju baru. Buat Bapak yang penting hati yang baru.

Hati yang bersih seperti dilahirkan kembali, begitu kan Pak.

Pinter anak Bapak.

Ali gak apa-apa gak pake baju baru?

Untuk apa Pak? Buat Ali yang penting hati yang baru. Hati yang bersih seperti dilahirkan kembali.

Bapak denger dari Ibu, kemaren Haji Malik nawarin baju baru buat Ali. Ambil sana!

Bapak jangan sedih gitu dong. Ali jadi pengen nangis nih.

Maafin Bapak ya Li, Bapak banyak hilap. Ama Ibu, ama Ali. Bapak pengen hidup kite lebih bae.  Tapi, malah nyakitin ati Ibu ama Ali. Bapak nyesel, Li.

Bapak memeluk Ali lama sekali. Air matanya bercucuran.

Ali memeluk Bapak lama sekali. Air matanya bercucuran.

Ibu mengintip dari jendela lama sekali. Air matanya bercucuran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun