Saat ini branding yang dilakukan pelaku UMKM Sumatera Barat masih mengikuti cara-cara tradisional saja. Misalnya, memberikan merek sesuai nama pemilik. Atau memberikan merek dengan pasangan kata yag itu-itu saja seperti, usaha, jaya, makmur, berkah, dan lain-lain. Begitu pula dengan kemasan yang belum siap untuk dipasarkan di pasar global. Untuk itu perlu diberikan pelatihan praktis mengenai perlunya branding dan pembuatan kemasan yang baik oleh para pelaku UMKM.
Kita impikan suatu saat produk-produk tradisional Sumatera Barat seperti karupuak sanjai, galamai, pisang kapik, dan lain-lain memiliki kemasan seperti produk-produk Nestle atau Indofood. Atau nasi kapau punya tempat makan layaknya kafe Starbucks.
Ketiga kurangnya standarisasi produk. Padahal kunci ekspor adalah produk yang standar. Bagi masyarakat kita, sudah menjadi sebuah kebiasaan untuk mengurangi kualitas produk jika produk tersebut sudah mulai laku. Banyak pelaku ekspor yang berhasil melakukan ekspor beberapa kali, namun gagal melanjutkan ekspor berikutnya. Hal ini dikarenakan kualitas produk yang berbeda dengan pengiriman sebelumnya, atau coba-coba dicampur dengan kualitas rendah. Bagi importir asing, sekali mereka mendapatkan prduk yang tidak sesuai dengan kontrak, maka selamanya mereka tidak akan order lagi.
Tentunya masih ada beberapa hal lagi yang menjadi kelemahan dari UMKM Sumatera Barat sehingga belum mampu mendominasi persaingan di tingkat ASEAN. Namun pada tulisan ini dihadirkan tiga kendala yang paling krusial namun sebenarnya paling mudah untuk diselesaikan. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H