Mohon tunggu...
okki trinanda
okki trinanda Mohon Tunggu... -

Dosen, pedagang, penulis dan rocker paruh waktu

Selanjutnya

Tutup

Money

Samudera Luas Tak Bergaram

21 Oktober 2012   13:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:34 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika membaca data-data perekonomian Indonesia teranyar, kita akan segera mendapati bahwa kebijakan pembangunan ekonomi nasional kita seringkali mengabaikan pengembangan potensi pangan lokal dan pemenuhan kebutuhan pangan warga. Bangsa kita masih terjebak dalam arus impor pangan, padahal kebutuhan tersebut dapat kita penuhi secara mandiri. Saat ini lebih dari US$5 miliar atau setara dengan Rp. 50 triliun lebih devisa terkuras untuk mengimpor pangan setiap tahunnya.

Ketergantungan terhadap pangan impor ini menempatkan Indonesia pada posisi yang dilematis. Fluktuasi harga pangan dunia sewaktu-waktu dapat menguras devisa lebih besar lagi. Dan sendi-sendi ekonomi bangsa dapat ambruk kapan saja apabila pasokan pangan dari luar tiba-tiba terhenti total karena berbagai alasan. Kita tidak dapat selamanya bergantung pada impor pangan.

Salah satu headline menarik pada berbagai media minggu lalu yang terungkap ke permukaan adalah berita menyatakan bahwa ternyata Indonesia adalah negara pengimpor garam. Hal ini sangat ironis sekali mengingat Indonesia adalah negara kepulauan atau nusantara terbesar di dunia. Sebagai informasi, negara kita memiliki panjang pantai 5,8 km dan laut seluas 81.000 km persegi, sehingga jika dilihat dari segi kuantitas maka tidak sepatutnya kita mengimpor garam. Ini bagaikan ayam mati di lumbung.

Dengan sumber daya yang melimpah tersebut, kita harus mengimpor garam 1,8 juta ton per tahun dan terus meningkat 2% setiap tahunnya. Bahkan pada tahun ini diproyeksikan impor garam akan meningkat karena produksi garam dalam negri menurun 10%. Terakhir, pemerintah telah mengeluarkan tambahan kuota izin impor garam beryodium sebanyak 300 ribu ton yang dibagi dalam dua tahap.

Pemerintah sendiri melalui Kementrian Perindustrian pun pernah mengakui bahwa apa yang terjadi tersebut disebabkan oleh kesalahan strategi dalam membangun industri garam nasional. Selama ini usaha hanya dikembangkan di Pulau Jawa dan Madura yang sebetulnya memiliki musim kemarau yang pendek sehingga produksi garam selalu tidak optimal. Pulau Jawa dan Madura dipilih karena semua infrastruktur seperti pelabuhan dan jalan raya yang memadai hanya tersedia di wilayah ini. Akibatnya daerah-daerah yang lebih potensial di luar Jawa, seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), yang memiliki musim kemarau hingga delapan bulan, menjadi terabaikan.

Kondisi ini dipersulit dengan musim penghujan yang relatif panjang, sehingga tercatat tahun 2010 merupakan produksi terendah Indonesia. Di Rembang Jawa Tengah misalnya, produksi garam tahun 2010 hanya sekitar 20.000 ton atau anjlok 84% dibanding tahun 2009, yaitu 143.753 ton. Bahkan di Madura, pulau yang selama ini merupakan produsen terbesar garam nasional, pada tahun 2010 sama sekali tak ada produksi. Akibatnya, semua pemilik lahan, penggarap, dan buruh angkut tidak menikmati hasil dari garam. Makanya pemerintah menaikkan kuota impor garam tahun ini.

Permasalahan ini tentunya harus segera ditangani oleh pemerintah secepatnya. Jika di NTT tidak bisa dijadikan sebagai pusat produksi garam nasional karena permasalahan infrastruktur, maka fokus awal pembenahan haruslah dimulai dari sana. Untungnya pemerintah saat ini memiliki anggaran sebesar Rp. 400 triliun untuk pembenahan infrastruktur pada tahun ini. Dana sebesar itu diperoleh dari penghematan anggaran belanja dan operasional Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan menurut Menko Perekonomian akan segera digunakan untuk mempercepat pembangunan dan perluasan ekonomi.

Selain itu, pemerintah sebaiknya juga memberi perhatian pada produksi garam yang dilakukan oleh masyarakat karena mereka menguasai 83,31% dari luas areal penggaraman nasional (di luar PN. Garam). Cara pengolahan garam oleh para petani garam yang selama ini dikelola secara tradisional harus diperbaiki agar lebih efisien dan efektif. Sistem penggaraman rakyat yang selama ini menggunakan kristalisasi total membuat kualitas dan produktifitas menjadikurang optimal. Pada umumnya produk garam dengan proses tradisional akan memiliki kadar NaCl kurang dari 90% dan banyak mengandung pengotor sehingga harus diolah kembali.

Seorang ahli ekonomi pernah memperhitungkan, jika 50% saja dari luas area penggaraman ini ditingkatkan produktifitasnya menjadi 80 ton/Ha/tahun, maka produksi garam dapat mencapai 1,5 juta ton. Dengan demikian kebutuhan impor garam industri dapat dikurangi dari 1,8 juta ton menjadi sekitar 300.000 ton. Sebuah angka yang sangat besar untuk menghemat devisa negara, dan sebagai satu langkah untuk swasembada garam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun