Mohon tunggu...
okki trinanda
okki trinanda Mohon Tunggu... -

Dosen, pedagang, penulis dan rocker paruh waktu

Selanjutnya

Tutup

Money

Diversifikasi Pangan Pokok

23 Juni 2012   06:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:38 796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari 50.000 jenis tumbuhan yang bisa dimakan didunia ini, hanya beberapa ratus saja diantaranya yang menjadi menu makanan manusia sehari-hari. Dari sekian ratus tersebut, hanya tiga yang menjadi makanan pokok dua pertiga populasi dunia, yaitu beras, gandum, dan jagung. Dan diantara ketiganya itu, beras adalah makanan yang paling banyak dikonsumsi, beras menjadi makanan utama 3,5 milyar orang atau setengah dari keseluruhan populasi dunia.

Dengan kata lain, beras adalah jenis makanan yang sangat penting. Bahkan, sedikit saja terjadi “gangguan” pada beras (misalnya pada cara penanaman, penjualan, dll) akan segera membawa dampak besar pada perekonomian secara global. Sebagai contoh, awal tahun lalu Perdana Menteri Thailand Yingluck Shinawatra berencana untuk membeli beras petani dengan harga di atas pasaran dunia, akibatnya langsung terjadi kepanikan massal. langsung terjadi kenaikan harga beras secara global. Harap dimaklumi, 30 persen beras dunia berasal dari Thailand. Atau contoh lain ketika terungkap beras dari China ternyata mengandung bahan yang berbahaya, berarti selama ini dua pertiga rakyat China memakan makanan beracun setiap hari. Demikian dahsyatnya pengaruh beras.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia yang memiliki wilayah yang sangat luas dan terdiri dari banyak suku bangsa aslinya dulu memiliki panganan pokok yang sangat beragam. Sebut saja daerah-daerah seperti Mentawai, Madura, Nusa Tenggara, Maluku dan lain-lain pada masa lalu lebih suka mengkonsumsi kentang dan sagu sebagai makanan pokok. Namun saat ini beragam jenis makanan tersebut rata-rata telah tergantikan dengan beras. Masyarakat kita terbiasa makan nasi tiga kali sehari, bahkan belum dianggap sudah makan jika belum menyantap nasi.

Sejarah ‘penyeragaman’ makanan pokok masyarakat Indonesia Timur bermula dari kebijakan Presiden RI kedua, Soeharto. Soeharto sangat menyadari bahwa ia memimpin suatu negara yang sangat Bhinneka. Agar lebih mudah mempersatukan, maka ia bermaksud agar masyarakat Indonesia memiliki lebih banyak kesamaan, salah satunya dengan jalan homogenisasi pangan. Maka pada era 1980an Soeharto memiliki kebijakan ketahanan dan kemandirian pangan dengan beras sebagai makanan pokok bagi masyarakat Indonesia.

Kebijakan dari Soeharto ini juga ikut didorong perpindahan masyarakat Jawa yang berprofesi sebagai karyawan, guru, atau petani ke daerah-daerah luar Jawa. Biarpun di daerah terpencil, mereka selalu mempertahankan budaya memakan nasi sebagai menu utama. Akibatnya masyarakat tradisional seperti di Papua menganggap nasi sebagai makanan orang maju dan berpendidikan, dan sagu adalah makanan orang yang ketinggalan jaman. Maka sedikit demi sedikit terjadi perubahan budaya.

Celakanya daerah seperti Papua tidak cocok untuk bercocok tanam padi. Padi susah ditanam di daerah pegunungan seperti Papua, padahal masyarakatnya sudah terlanjur bergantung pada beras. Belum lagi sarana transportasi disana belum bagus. Akibatnya pasokan beras sering tersendat, tentunya hal ini bisa mengakibatkan kelaparan. Padahal sebenarnya makanan pokok tradisional Papua seperti keladi, kentang dan sagu akan lebih efisien bagi masyarakatnya. Namun yang terjadi sebaliknya. Beras terus di subsidi sementara harga sagu selalu tinggi.

Secara nasional kondisi pangan di Indonesia pun tidak pula terlalu baik. Walaupun sempat di anugerahi penghargaan oleh FAO, saat ini kita adalah net importir untuk seluruh komoditas panganan pokok. Sebagai konsumen beras ketiga terbesar dunia, pemerintah Indonesia mengimpor 1,5 juta ton beras setiap tahunnnya. Wajar saja mengingat konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah 139 kilogram perkapita. Coba dikalikan dengan jumlah penduduk Indonesia yang hampir 250 juta jiwa.

Dari 50.000 jenis tumbuhan yang bisa dimakan didunia ini, hanya beberapa ratus saja diantaranya yang menjadi menu makanan manusia sehari-hari. Dari sekian ratus tersebut, hanya tiga yang menjadi makanan pokok dua pertiga populasi dunia, yaitu beras, gandum, dan jagung. Dan diantara ketiganya itu, beras adalah makanan yang paling banyak dikonsumsi, beras menjadi makanan utama 3,5 milyar orang atau setengah dari keseluruhan populasi dunia.

Dengan kata lain, beras adalah jenis makanan yang sangat penting. Bahkan, sedikit saja terjadi “gangguan” pada beras (misalnya pada cara penanaman, penjualan, dll) akan segera membawa dampak besar pada perekonomian secara global. Sebagai contoh, awal tahun lalu Perdana Menteri Thailand Yingluck Shinawatra berencana untuk membeli beras petani dengan harga di atas pasaran dunia, akibatnya langsung terjadi kepanikan massal. langsung terjadi kenaikan harga beras secara global. Harap dimaklumi, 30 persen beras dunia berasal dari Thailand. Atau contoh lain ketika terungkap beras dari China ternyata mengandung bahan yang berbahaya, berarti selama ini dua pertiga rakyat China memakan makanan beracun setiap hari. Demikian dahsyatnya pengaruh beras.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia yang memiliki wilayah yang sangat luas dan terdiri dari banyak suku bangsa aslinya dulu memiliki panganan pokok yang sangat beragam. Sebut saja daerah-daerah seperti Mentawai, Madura, Nusa Tenggara, Maluku dan lain-lain pada masa lalu lebih suka mengkonsumsi kentang dan sagu sebagai makanan pokok. Namun saat ini beragam jenis makanan tersebut rata-rata telah tergantikan dengan beras. Masyarakat kita terbiasa makan nasi tiga kali sehari, bahkan belum dianggap sudah makan jika belum menyantap nasi.

Sejarah ‘penyeragaman’ makanan pokok masyarakat Indonesia Timur bermula dari kebijakan Presiden RI kedua, Soeharto. Soeharto sangat menyadari bahwa ia memimpin suatu negara yang sangat Bhinneka. Agar lebih mudah mempersatukan, maka ia bermaksud agar masyarakat Indonesia memiliki lebih banyak kesamaan, salah satunya dengan jalan homogenisasi pangan. Maka pada era 1980an Soeharto memiliki kebijakan ketahanan dan kemandirian pangan dengan beras sebagai makanan pokok bagi masyarakat Indonesia.

Kebijakan dari Soeharto ini juga ikut didorong perpindahan masyarakat Jawa yang berprofesi sebagai karyawan, guru, atau petani ke daerah-daerah luar Jawa. Biarpun di daerah terpencil, mereka selalu mempertahankan budaya memakan nasi sebagai menu utama. Akibatnya masyarakat tradisional seperti di Papua menganggap nasi sebagai makanan orang maju dan berpendidikan, dan sagu adalah makanan orang yang ketinggalan jaman. Maka sedikit demi sedikit terjadi perubahan budaya.

Celakanya daerah seperti Papua tidak cocok untuk bercocok tanam padi. Padi susah ditanam di daerah pegunungan seperti Papua, padahal masyarakatnya sudah terlanjur bergantung pada beras. Belum lagi sarana transportasi disana belum bagus. Akibatnya pasokan beras sering tersendat, tentunya hal ini bisa mengakibatkan kelaparan. Padahal sebenarnya makanan pokok tradisional Papua seperti keladi, kentang dan sagu akan lebih efisien bagi masyarakatnya. Namun yang terjadi sebaliknya. Beras terus di subsidi sementara harga sagu selalu tinggi.

Secara nasional kondisi pangan di Indonesia pun tidak pula terlalu baik. Walaupun sempat di anugerahi penghargaan oleh FAO, saat ini kita adalah net importir untuk seluruh komoditas panganan pokok. Sebagai konsumen beras ketiga terbesar dunia, pemerintah Indonesia mengimpor 1,5 juta ton beras setiap tahunnnya. Wajar saja mengingat konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah 139 kilogram perkapita. Coba dikalikan dengan jumlah penduduk Indonesia yang hampir 250 juta jiwa.

Dari uraian diatas kita berkesimpulan, sudah saatnya diambil tindakan mengenai makanan pokok masyarakat Indonesia. Ketergantungan kepada satu bahan makanan pokok bagi ratusan juta masyarakat di negara seluas Indonesia agak kurang masuk akal sebenarnya. Sudah saatnya belajar diversifikasi pangan. Bisa saja suatu saat nanti makanan pokok Indonesia beragam dari pisang, jagung, kentang, singkong, sagu dan lain-lain, seperti nenek moyang kita dahulu. Pemerintah pun bisa melakukan himbauan kepada masyarakat untuk mengurangi konsumsi beras dan mulai mencoba makanan pokok yang lain. Jika ada “car free day”, kenapa tidak diadakan “rice free day”? Dan satu lagi kebiasaan yang harus diubah, anggapan bahwa “jika tidak makan nasi, berarti dianggap orang tak mampu”.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun